Sabtu, 19 Disember 2009

Suara Redaksi Edisi Palue

Pengalaman yang tidak pernah dihidupi tidak akan pernah memberikan perkembangan kepada diri orang yang mengalaminya. Cara menghidupi pengalaman bisa ditempuh dengan banyak cara. Ada yang mengukir indah pengalaman itu dalam rangkaian kata-kata penuh makna yang terbangun sebuah puisi atau cerita pendek. Ada pula yang mengekpresikan semuanya itu dalam lukisan jiwa di atas satu kertas gambar yang menarik. Namun ada pula yang bisa memahami semunya itu dalam suatu cara berpikir ilmiah yang dibahasnya dalam hubungan perbandingan dengan realitas lain dengan maksud mengkritisi atau memperdalam pengalaman tersebut.
Kali ini dalam pergumulan dengan pengalaman-pengalaman itu, secara khusus pengalaman hidup bersama dengan orang dari tetangga Pulau kita, Palu’e Manise, kami komunitas kelas dua Unit Arnoldus Nitapleat berkesempatan menjumpai kita semua dengan tulisan-tulisan sederhana tentang pengalaman pribadi di Pulau ini. Kami berbangga karena mampu mengekspresikan semuanya ini walaupun dalam cara yang sangat sederhana tetapi sangat mahal dalam taraf sebuah sejarah untuk kehidupan ini.
Kami mengucapkan terima kasih kepada Ketua Mading Unit Arnoldus yang telah memberikan kesempatan berekpresi ini. Ucapan yang saya juga kami berikan kepada teman-teman sesama anggota unit termasuk Anak Tanah Pulau Palu’e atas apresiasi yang diberikan kepada ekspresi-ekspresi sederhana ini. Mohon maaf kalau tidak cukup memuaskan kita semua. Dan akhirnya ucapan terima kasih untuk teman-teman kelas dua sendiri yang telah berusaha mengekspresikan pengalaman-pengalamannya dalam cara yang unik dan khas sebagai milik anda sendiri.
Selamat Menikmati!!!!!!!!!!!

Suara Redaksi Edisi Polemik Budaya

Hubungan Indonesia dengan Malaysia akhir-akhir ini tampak semakin memanas. Intervensi wilayah sekitar perbatasan laut oleh Angkatan Laut Diraja Malaysia, kekalahan Indonesia atas kepemilikan pulau Sipadan dan Ligitan di Mahkamah Internasional, penganiayaan sejumlah TKI oleh beberapa oknum warga Malaysia, klaim obyek seni dan budaya Indonesia oleh pihak Malaysia dalam rangka promosi wisata kunjungan ke sana, dan yang terakhir adalah pelecehan lagu kebangsaan Indonesia Raya oleh pihak yang tidak dikenal, adalah sederetan fakta-fakta yang menunjukkan ada upaya terencana dan sistematis untuk memperburuk hubungan kedua negara.
Menanggapi berbagai permasalahan ini, arek-arek Arnoldus tidak hanya tinggal diam. Pelbagai pikiran pun dituangkan sebagai bentuk rasa cinta terhadap budaya Indonesia. Di atas dinding ini bergantungan ide-ide tentang polemik budaya antara kedua negara yang hidup berdampingan. Ada yang menuangkan kekesalan terhadap pihak Malaysia, tetapi ada pula yang mengajak kita semua untuk berbenah dan berkaca ke dalam diri, sejauh mana kita telah menjaga dan melestarikan budaya kita. Polemik yang terjadi justru mengindikasikan bahwa kita lengah dalam usaha menjaga dan melesatrikan budaya.
Edisi madding kali ini hampir semuanya dituangkan dalam bentuk opini. Para penulis ingin secara langsung dan tajam menyampaikan sikap mereka dalam kaitan dengan polemic budaya ini. Hal ini bukan bermaksud mengesampingkan bentuk tulisan lain seperti cerpen, puisi, karikatur, dan lain sebagainya. Beberapa opini yang ditampilkan di sini, sengaja diangkat untuk memberikan ruang pemahaman bagi pembaca sekalian untuk lebih mengerti secara jelas dan tajam perihal polemi budaya ini.
Akhirnya, Pernah suatu kali ketika sedang duduk di taman, Agustinus muda yang kemudian dibaptis menjadi santo kota Milan mendengar suara “tole lege” (bangun dan membacalah). Kini kami menyarankan nasihat yang sama untuk anda sekalian. Selamat membaca!

Rukhe Woda

Suara Anak Negeri

Atel Lewokeda

I
Inflasi terpontang panting
Pedagang asongan
meninggalkan jejak terbirit-birit
Loper sembako kesepian
dalam onggokan barang-barang swalayan
pedagang kililing merayap menyusup
di atas kepingan barang-barang bekas
Si lintah darat menyelam teduh
merampas harta petani desa
Agen suara rakyat mencuci tangan
pada wadas tetesan keringan kaum tak bersuara

II
Katanya manusia beragama
Serunya beragama itu kebebasan
Nyatanya mereka mengatur agama
Beragama dalam kebebasan dan keterbelengguhan
hampir tak ada beda

Ungkapnya dosa itu wajar
Khilaf itu manusiawi
Dosa datang lalu hilang oleh tobat
Datang lagi, lalu hilang lagi
Tak pernah ada tanya kapan tidak datang lagi
Karena yang ada hanyalah tobat lagi

III
Datang dan pergi aktor Negara ini
Datang sesaat untuk merayu
Pergi seabad menikmati hasil

Pelaku senayan tergopoh-gopoh
Kelelahan di belakang meja biro
Membusung di atas tangga kemiskinan
Membelok pada tikungan gombal

Negeriku…negaraku
Negara ini milik kaum beruang
Kedamain hanya sahabat sang borjuis
Ketamakan langganan tetap akhir pekan

Ah…aktor itu
Datang dan pergi
Datang sesaat pergi seabad
Datang lalu pergi dengan segera
Tak pernah bermalam bersama yang kedinginan
Di atas dipan suara tak berdaya.


IV
Kita semua sama
Bukan lawan juga bukan musuh
Kita sesama, sama-sama hidup dan ada
Kita semua sedarajat
Kita semua sama tulisnya hari ini

Kita semua sama…
Pada duka tidak hanya dalam suka
Saat derita tak cukup dalam tawa
Semenjak terluka hingga terobati

Semua kita sama
Terpatung pada cermin canda
Meski harus tergantung
Pada langit tragedi

Semua kita sama
Kita semua sama
Sama kita semua
Kita kawan bukan lawan
Kutilis itu pada dinding bernama sesama
Atas nama sesama
Agar semua menjadi sama.


SYAIR SEORANG ATHEIS

Tuhan kekosongan
Jadi bahan tertawaan
Kata Tuhan sudah lenyap
percakapan dangan Tuhan hanya menjadi khayalam
Tuhan berseberangan dengan kebaikan
Setepi bersama kejahatan

Tuhan tragedi, rasional
Tuhan intelektual
Tuhan borjuis, patriarkat
Tuhan marginal
Tuhan orang-orang gila
Wajah Tuhan sudah hilang
Mana yang benar?? Ah..Tuhan membingungkan

a….k…..u punya Tuhan
dirinya ada segala yang dimiliki yang ada
dia ada tapi redup,suram
dia ada dekat sekali,
diriku dan dirinya hampir tak ada jarak
dia ada, ada dia, tidak hilang
tapi itu dulu.

Saat aku tidak tahu, dia bisa hilang
Dia mahal, bisa tidak ada
Dia milik mereka, milik kaum mimbar
Yang di pelataran altar
Mezbah itu jadi angker

Entah dimana sekarang
Ia hilang…hilang, lari dari diriku
Banyak manusia jadi gila
Karena tak seorang pun pernah menatap wajahnya

Banyak insan bicara sendiri dalam sepi dan kesendirian
Kidung-kidung lahir di pelosok katedra
Mereka semua jadi gila
Mereka mencari kekosongan
Tuhan tidak ada, hanya dia pernah ada
Sekarang dia hanya baying-bayang

Dia…Tuhan Kekosongan
Manusia gila karena
Dia hilang dalam bayang-bayang

PALUE : PANGGILAN MEMAKNAI HIDUP DAN PANGGILAN DALAM TERANG SEMANGAT MISI SANG MISIONARIS SULUNG SVD (sebuah goresan lepas tentang pengalaman misi tri

Oceph Namang

”Saudara-saudaraku terkasih! Tuhan Allah telah berkenan memilih orang-orang yang lemah untuk menjadi alat-alat-Nya. Karena belaskasihanNya yang tak terhingga,saya berharap agar dapat memperoleh suatu anugerahNya yang saya sama sekali tidak layak menerimanya.Berdasarkan kebaikanNya yang tak terselami,sang Gembala ilahi telah mengundang saya untuk bersama-sama dengan Dia pergi ke daerah yang jauh dan asing, serta mendampingiNya dalam mencari domba-domba yang tersesat. Jadi sekarang bagaimana saya dapat berbuat yang lain daripada menyambut dan mengecup tangan-Nya dan berkata bersama Kitab Suci; Lihatlah ya Tuhan saya datang dan bersama Abraham saya akan meninggalkan rumah kelahiranku,tanah air dan para kekasihku. Saya akan pergi menuju tanah yang akan ditunjuk oleh Tuhan kepadaku...”(J.Freinademetz, khotbah 11.08.1878).
Kutipan khotbah sang misionaris sulung SVD ini,menunjukkan demikian besar cintanya terhadap misi yang diembaninya.Karena cintanya yang demikian besar pada misi yang dipercayakan kepadanya, ia rela meninggalkan tanah airnya dan pergi ke tanah misi bahkan untuk selamanya. Lebih lanjut,konstitusi SVD no.516 $.1 menegaskan bahwa para mahasiswa hendaknya mendapat kesempatan untuk memperoleh pengalaman dalam menjalankan pekerjaan-pekerjaan praktis. Kutipan konstitusi ini mau menegaskan betapa pentingnya mengalami pengalaman-pengalaman praktis. Pengetahuan yang diperoleh melalui kuliah dan membaca buku tidaklah cukup untuk mempersiapkan kita menjadi agen pastoral kelak. Seorang agen pastoral yang handal membutuhkan pengalaman praktis untuk menjadi dasar dan landasan bagi karya pastoralnya. Pengalaman ada dan hidup di tengah umat, adalah pengalaman yang sangat istimewah. Pengalaman ini sangat membantu proses pembinaan dan pembentukan diri dan kepribadian kita sebagai calon agen pastoral. Mengapa sangat penting dan berguna?
Menjadi misionaris bukanlah suatu hal yang mudah, tapi butuh suatu proses yang panjang dan berkelanjutan. Kesempatan-kesempatan semacam ini merupakan suatu ajang latihan bagi untuk mempersiapkan dan mematangkan kepribadian demi tugas dan karya pelayanan pastoral yang bakal diembani kelak.Atas kesadaran ini, maka kegiatan sacam ini perlu ditanggapi dengan antusiasme yang tinggi dan berusaha untuk memanfaatkan kesempatan ini dengan seabaik mungkin. Bermisi di daerah-daerah sulit kadang membuat orang takut dan cemas untuk menerimanya. Ketika ditawarkan untuk bermisi di Palue awalnya perasaan ini pun muncul dalam diri. Akan tetapi berkat dorongan rasa ingin tahu yang tinggi, akhirnya tawaran ini pun diterima dengan senang hati. Sebagaimana biasanya ketika seseorang hendak masuk dan hidup bersama di suatu tempat baru tentunya memiliki kecemasan tersendiri. Perasaan serupa pun terus menghantui dan menyelimuti diri.
Semuanya seakan berputar 180 derajad ketika kami menjejakkan kaki di pulau Palue nan indah itu. Kecemasan yang menyelimuti kalbu berubah menjadi kegembiraan yang mendalam. Dengan keaslian aku disambut dan diterima bak rumah sendiri. Keramahan dan kebaikan hati umat membuatku mengerti apa artinya cinta kasih kepada sesama.
Berbicara tentang Palue, pasti setiap orang yang pernah menjejakan kaki di sana selalu mempunyai kesan tersendiri. Bagiku ini merupakan sebuah pengalaman yang indah dan menarik? Mengapa demikian? Alasannya adalah bahwa dengan keadaan alam yang demikian sulit masyarakat terus berusaha mempertahankan hidup mereka. Mereka berjuang sungguh-sungguh untuk memanfaaatkan setiap sumber daya alam yang ada dengan sebaik mungkin meskipun bagi kebanyakan orang ada begitu banyak kekurangan yang masih dialami. Akan tetapi, bagi masyarakat asli semua yang telah disediakan alam Palue itu sudah cukup untuk hidup. Selain situasi alam yang cukup menantang yang dihadapi dengan gembira hati oleh masyarakat setempat, ada juga hal-hal menarik lainnya. Masyarakat Palue juga terkenal dengan keseriusan dalam menghayati budaya kekristenan, bahkan boleh dibilang cukup “fanatik”. Hal ini menyata dalam masyarakat dimana masyarakat tidak menghendaki dan menerima kehadiran agama ataupun aliran kepercayaan lain ke tengah mereka. Ini menunjukkan bahwa tradisi kekristenan sangat mengakar dalam setiap pribadi. Dan juga menyata dalam kehidupan doa di mana mereka selalu aktif dalam mengikuti kegiatan-kegiatan rohani seperti doa, katakese, dll.
Masyarakat Palue juga sangat menjunjung tunggi hospitalitas terhadap tamu. Sikap hospitalitas yang tinggi ini membuat setiap orang yang berkunjung ke sana merasa at home karena diterima dan dihargai. Keramahan dan keceriahan masyarakat dalam menerima setiap orang yang datang membuat setiap orang merasa bahaga dan ingin untuk tinggal lebih lama lagi. Pengalaman ini menyadarkan aku bahwa menjadi seorang misionaris harus butuh pengorbanan. Ada begitu banyak tantangan dan kesulitan yang telah menanti dengan diam, akan tetapi hanya satu keyakinanku Tuhan pasti selalu menyertaiku. Sang misionaris sulung Serikat Sabda Allah telah memberikan teladan hidup yang sangat mendalam. Dalam situasi yang demikian sulit pada waktu itu di China, ia tak pernah mengeluh dan menyerah untuk mewartakan Sabda Allah. Ia begitu setia dan tabah dalam mengemban dan menjalankan misinya. Dan pada akhirnya, ketabahan dan kesetiaannya ini membuahkan hasil yang sangat memuaskan. Akhirnya dalam terang semangat misi sang misionaris sulung SVD, aku dipanggil untuk mengeemban misiku saat ini dan di tempat ini pula. Kalo bukan sekarang, kapan lagi????????

Kebudayaan Adalah Jalan Bagi Agama

Exel Asa

Pandangan hidup setiap masyarakat selalu berbeda antara satu daerah dengan daerah yang lain. Semua pandangan itu terangkum dalam satu budaya yang di dalamnya terdapat berbagai tata cara atau nilai-nilai hidup bersama. Bagi kita orang NTT, terdapat satu pandangan hidup yang sangat religius. Itulah kekayaan kebudayaan yang tak dapat dimilki oleh orang –orang lain seperti di dunia barat. Umumnya pandangan hidup yang sangat religius itu selalu merefleksikan segala peristiwa hidup yang berkaitan dengan unsur tertinggi sebagai sumber segala sesuatu..
Selama beberapa hari mengarungi kampung Palue, hal ini terungkap jelas. Mereka masih sangat mencintai kebudayaan. Ada beberapa hal yan gmengindikasikan adanya rasa cinta mereka terhadap nilai-nilai budaya yang diwariskan, semisal tidak ada permusuhan diantara mereka, keramahtamahan, penghargaan terhadap orang asing, saling menolong dll. Dengan beberapa point diatas maka dapat disimpulkan bahwa mereka adalah orang yang baik dan bisa diandalkan
Kehidupan yang sangat religius itu membawakan kemudahan bagi agama yang mencari anggota karena pada dasarnya agama mempunyai tujuan yang sama dengan kebudayaan yakni kedua-duanya berusaha untuk menghantarkan manusia pada kebahagiaan hidup. dengan merujuk pada Allah sebagai sumber segala kebahagiaan. Agama katolik adalah agama yang dianut oleh masyarakat Palue. Mereka terkenal sebagai orang yang cukup fanatik. Alasan mendasarnya adalah terdapat kesamaan unsur-unsur tertentu dalam kebudayaan mereka dengan ajaran agama Kristen, sehingga dengan hal itu mereka merasa bahwa agama kristen katolik sungguh -sungguh menjadi miliknya.
Dalam beberapa hari bersama dengan mereka sering kali ada yang mengatakan bahwa orang-orang yang beragama lain sering dihalau keluar dari daerah Palue karena mereka ingin mengkristenkan pulau Palue, sedangkan dalam kehidupan beragama saya bisa mengambil kesimpulan bahwa mereka adalah contoh jemaat perdana masa moderen. Mereka adalah contoh umat Allah yang baik karena apa yang dengar di dalam gereja diwujudnyatakan dalam kehidupan sehari-hari sebagaimana tertera dalam keutamaan dari kebudayaan mereka itu. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kebudayaan adalah jalan bagi agama menurut konteks masyarakat Palue. karena sebelum agama masuk sebenarnya sudah tertanam iman akan Allah yang mereka praktekan dalam ritual-ritual agama asli dan juga kehidupan praktis. Namun ada kekurangan besar bagi mereka yakni imannya belum teruji dengan baik sehingga pada saat mereka berbenturan dengan dunia luar terkadang menimbulkan suatu shock budaya. Oleh karena itu perlu diupayakan suatu pembinaan yang mendalam mengenai iman dan kepercayaan.

Ahad, 15 November 2009

Sepotong Senja di Puncak Ledalero

Olu Tefa

LEDALERO !!! Sebuah nama yang menggetarkan sukma, mengulum kelabu hati, serentak memancarkan keteduhan bagi jiwa yang saat nama itu terucap di bibir nan kerontang.
Nama itu, Ledalero, serasa menyemat misteri kekuatan cinta dalam balutan aura kasih yang perlahan menyentuh inti diri manusia-manusia pengembara. Jiwa-jiwa telanjang merasa malu mengumbar nama itu dalam ingatan sekalipun walau secercah harapan tetap terpahat di sudut-sudut hatinya sembari bermimpi di akhir ceritera pilu, nama itu boleh menebar kasih bukan dalam pelukan mimpi-mimpi tapi dalam horison-horison realitas. Tapi mungkinkah nama itu, Ledalero, sungguh menyimpan misteri cinta yang misterius??Ya, barangkali !!
Sepintas telingaku merekam barisan puja-puji para musafir yang menggema bersama celoteh bising anak-anak dunia di sudut-sudut kota Jakarta; nyanyian bagi para malaikat yang bertakhta persis di puncak bukit Ledalero; pujian bagi alam Ledalero yang menebarkan wangi sakura saat mentari mengintip di bibir cakrawala; syair indah bagi Sang Khalik yang telah selipkan sepotong senja lembayung persis di antara dua puncak bukit Ledalero,bukit sandar matahari. Lantas adrenalinku tersentil nyanyian kemuliaan di tengah hiruk pikuk jantung kota metropolitan itu.
“Konon, katanya. . . ,bukit itu adalah bukit sandar matahari karena matahari akan sandar di antara dua bukit itu sebelum mahligai peraduan menjemputnya. . .”desas-desus para pemuja kelana di sela-sela kegalauan hatiku.
“Sumpah man. . .indah banget. . . !! Lho bakalan rugi man kalo ngga’ liat. . .“ seorang temanku membenarkan seolah tempat itu adalah tempat terindah yang pernah dilihatnya seumur hidupnya.
Rasa penasaran sekonyong-konyong menyelubungi seluruh diriku, mengalir di setiap tetes darah, terhembus pada ujung helaan nafasku. Ada hasrat yang jauh terkubur di hati untuk lepas bebas dari muram durja jiwaku, tapi aku takut. Takut pada kesunyian, takut pada kedamaian, takut pada cinta suci, takut pada malaikat kecil, takut pada sepotong senja di puncak Ledalero yang diceriterakan Kevin, temanku.
Aku tengah berdiri tegar di ambang kegelisahan sembari mengulum manisnya kecemasan dan ketakutan. Kugantungkan sebuah asa dalam tanya; ’ Mungkinkah suatu saat nanti aku akan bersua mimpi dan anganku di puncak Ledalero?’
* * *
Semalam kurasa tak ada angin yang menghempasku, mimpi pun enggan menghantarku ke tempat seteduh ini. Memang, angin pasti mendengar jeritan nuraniku semalam tapi tak mungkin aku dihempasnya ke dalam surga yang dikisahkan para pengembara padaku dan didendangkan hawa malam Jakarta ke telingaku. Aku juga mungkin sedang tidak bermimpi. Tapi itu sepertinya tidak penting karena yang terpenting sekarang, mimpi dan asaku menyatu bersama realitas persis di ujung hari ini, di puncak bukit Ledalero.
Wangi sakura yang hangat dan khas perlahan mulai tercium. Aromanya datang dan pergi, timbul-tenggelam seiring tarikan dan hembusan nafasku. Aromanya melebur bersama aroma tubuhku, mengalir dalam darahku, mengurai cita rasa di sekujur tubuhku yang dipasung bayangan ketakutan dan mimpi-mimpi tentang kecemasan. Kugenggam jemari lembut sakura nan wangi dan kurengkuh auranya di jiwaku. Ada ketenangan, kedamaian, kesejukan, keteduhan, kebahagiaan, kepuasan yang terpancar seketika di kalbuku.
Kuncup-kuncup dedaunan muda menyanyikan kidung Hosana in excelcis bersama malaikat-malaikat kecil dalam getaran cinta abadi. Hembusan hawa sejuk meniupkan gemanya pada setiap telinga di puncak bukit itu.
Sejenak kupejam mata ini sembari merasakan sentuhan kelembutan membelai gejolak rasaku, menembus setiap aliran darahku, menrobos hampa hatiku seketika. Aku tersentak dalam keragu-raguanku, tersadar dari lamunan panjang, dan terbuai dalam belaian sang Cinta.
Ternyata benar. Ceritera cinta yang dikisahkan oleh malam kepadaku, kisah yang dibisikkan angin persis di telingaku tentang kedamaian yang dipadukan para malaikat kecil, tentang kesunyian yang menggelantung di pucuk-pucuk pagi, tentang keteduhan yang tersemat dalam pelukan lembayung.
Hingga akhirnya di suatu senja, pada awal November, sendiri, aku berdiri tepat di puncak Ledalero dan persis saat itu mataku terhalau kemilau fajar di antara dua bukit.
Indah sekali. Sorot matanya yang putih kemerah-merahan lembut membentur bola mataku dengan senyuman paling manis dan mempesona yang pernah kulihat seumur hidupku.

Aku terpana di antara belahan bukit Ledalero. Kini, sempurnalah sudah rasa hatiku. Inikah Cinta yang terlukis dalam catatan harian sang hawa tatkala jemari lembutnya tertoreh pada ruang-ruang hampa?
Tapi, mungkinkah aku sedang bermimpi? Mungkinkah khayalku merobek realitas sejatiku? Tidak. . .!! Ini bukan mimpi.
Kulayangkan lagi pandanganku dan kudapati sepotong senja itu masih tersenyum manis padaku. Mungkin sampai ragaku mati di batas hari ini.

* * *

MITOS DALAM KONFRONTASI DENGAN SEKULARISASI DI NTT

Carol Tefa

Manusia dan dunia pada prinsipnya senantiasa mengalami reformasi dalam beragam aspek kehidupan secara kontinyu. Hal ini bergantung pada sejauh mana manusia berpretensi untuk menjadi manusia yang berinisiatif, kreatif dan inovatif. Semuanya ini diwujudkan dalam kerja kerasnya mencari tahu prinsip-prinsip hidup yang mendukung keberlangsungan dinamika kehidupan di dalam dunia dengan baik dan teratur. Selanjutnya dengan akal budi yang ada, manusia dimungkinkan untuk mengaplikasikan kreativitasnya bagi pemenuhan kebutuhan manusia sendiri.
Dalam hubungan dengan dinamika kehidupan manusia (mikrokosmos) dan dunia (makrokosmos) mestinya disadari bahwa ternyata masyarakat Nusa Tenggara Timur pada umumnya sudah dan sedang bergerak menuju sekularisasi global. Dengan ini nampak bahwa keterbukaan masyarakat NTT terhadap kultur asing berada pada taraf yang diharapkan. Budaya-budaya asing di satu sisi berdampak positif terutama dalam menstimulisasi masyarakat untuk keluar dari ketertutupan diri menuju modernitas, kebebasan dan keluasan berpikir , tanpa satu orientasi untuk mengisolasi originalitas kultur-kultur pribumi. Di sisi lain, hal ini bisa berdampak negatif karena masyarakat pribumi dalam ketidaksadaran bisa mengeliminasi kultur lokal dan melulu hidup dalam totalitas kultur asing. Karena itu, perpaduan yang proporsional antara kultur lokal dan kultur asing dibutuhkan agar dampak negatif ini bisa dihindarkan.
Dalam kaitannya dengan kultur atau kebudayaan ini kita mengenal tradisi-tradisi yang mistis-magis dalam kebudayaan kita. Tradisi ini sangat berpengaruh dalam perjumpaan kita dengan dunia yang sudah sangat rasional dan global ini. Dari padanya kita dipertemukan dengan dunia yang sudah begitu berkembang ini. Oleh karena itu, wajar kalau kita memelihara tradisi ini sebagai kekayaan pertama masyarakat budaya kita. Artinya kita tidak lekas mengeliminasi tradisi ini ketika dipertemukan dengan tradisi kedua atau ketiga lainnya yang terkesan lebih menarik. P. Drs. Ansel Doredae, SVD, MA, dalam diktat “Manusia dan Kebudayaan Indonesia” menulis bahwa kultur tertentu dari tiap-tiap individu adalah pusat atau dasar keberakaran (militansi) diri dari masyarakat per individu sehingga kultur yang telah mengakar dan membudaya dalam diri individu akan hidup sebagai keutamaan personal. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa manusia hidup dalam suatu kultur yang membentuk sikap, pola pikir dan tingkah lakunya sehingga keberakaran dirinya bertumbuh dan berkembang dalam kultur lokal tersebut. Kebudayaan seyogyanya menjadi dasar pertumbuhan diri dan kepribadian manusia. Dalam hal ini, mitos-mitos dalam suatu kebudayaan tertentu dikatakan baik (rasional dan dapat dipertanggungjawabkan) sejauh kultur tersebut dapat memberikan kesejahteraan dan kebahagiaan bagi masyarakat pemilik kebudayaan tanpa satu diskriminasi terhadapnya. Itu berarti mitos dalam suatu kultur tertentu yang lahir sebagai suatu asumsi atau prasangka terhadap realitas yang dianggap luar biasa dan dan kemudian bisa dijadikan norma yang mengatur keharmonisan hidup dalam suatu kumpulan masyarakat tertentu tidak boleh mengorbankan manusia dalam penerapannya. Ia harus ditelusuri secara mendalam agar tetap memberikan keuntungan kepada manusia tanpa menghilangkan mitos itu sendiri.
Kita melihat mitos masyarakat Palue di Kabupaten Sikka tentang Ine Pare. Masyarakat Palue yang percaya pada mitos yang mengatakan bahwa benih padi yang dibawa dari tempat lain ke tempat itu jika ditanam akan mati atau akan menelan korban jiwa. Memang mitos dalam kebudayaan tertentu mesti diakui dan diterima sebagai kekayaan tradisional suatu daerah yang khas. Tapi hemat saya, kita mesti berpikir secara rasional, dalam arti bahwa padi sebagai sesuatu yang urgen dan menjadi sumber kehidupan manusia diklaim sebagai hal yang mitis, sesungguhnya sangatlah kontradiktif terhadap rasionalitas pemikiran kita. Atau misalkan; Kultur masyarakat Boti di Kabupaten TTS yang melarang masyarakatnya untuk bekerja pada hari minggu termasuk aktivitas masak-memasak. Makanan yang menjadi jatah makan untuk hari minggu sudah disiapkan pada hari sebelumnya. Praktik ini menjadi petaka bagi masyarakat karena dapat menyebabkan mereka terserang penyakit akibat mengkonsumsi makanan yang tidak sehat.
Habermas dalam beberapa pemikirannya mengafirmasi peranan penting dari diskursus rasionalitas komunikatif. Maksudnya ialah bahwa kita sebaiknya menkonstruksi suatu realitas dalam suatu ranah yang saling memahami. Pikiran kita diharapakan tidak menterjemahkan realitas begitu-begitu saja tanpa suatu pendalaman dan pengertian yang baik terhadapnya agar realitas itu akhirnya menjad berguna bagi diri bukan sebaliknya. Dalam pemikiran seperti ini pula kita harus memahami eksistensi dari mitos-mitos yang hadir dalam kebudayaan kita masing-masing. Tentunya membuat mitos-mitos menjadi lebih rasional agar bisa diterima dengan baik bukan berarti kita telah berupaya mendiskriminasi atau bahkan mengeliminasinya dari kebudayaan kita.
Di wilayah NTT terdapat begitu banyak budaya lokal yang berpotensi memperkaya khazanah kebudayaan lokal. Akan tetapi sangat diharapkan kultur-kultur yang kompleks itu dapat memberikan andil bagi kehidupan masyarakat pada umumnya. Dengan demikian, semua kebudayaan (mitologi) kita berfungsi secara baik dalam masyarakat NTT dan dapat dipertanggungjawabkan secara rasional dalam konfrontasinya dengan sekularisasi global.


PUISI-PUISI: OLU TEFA

Pada Sebuah Nama
Mata ini terpahat pada sebuah nama,
Nama yang kian membeku
Terukir pada wajah oval sang mentari

Ingin kugenggam jemari semesta
Persis di pucuk pagi
Berhasrat memetik nama itu pada sayap-sayap mentari

Tapi. . .
Malam enggan torehkan senyum,
Terpaku dalam balutan mimpi-mimpi

Aku hendak menangkap gelegar suaraku
Yang melekat pada dinding-dinding gua
Saat nama itu kuteriakkan kemarin

Tapi sayang. . .
Malam masih bermimpi !


Sang Malam
Malam menjemputnya
Persis di batas hari ini

Menghantar dia menyongsong pagi
Terlebur dirinya dalam pelukan khayal
Di sudut malam

Malam mengulum
Malam merayu
Malam melumat

Berjuta rasa lemahkan raganya
Selaksa asa taklukkan rasanya
Terhanyut dirimya dalam selimut malam

Khamis, 12 November 2009

Risalah Diskusi Wisma Arnoldus “Globalisasi : Siapa Mendikte? (Tentang Rencana Pertambangan di Lembata)

Pemakalah: Kae Gusti Fasak
Tempat : Pendopo pav. atas wisma Arnoldus
Waktu : Jumat, 23 Oktober 2009 (pukul 20:30-22:00)

I. Suara Moderator
Diskusi seputar rencana pengembangan industri pertambangan di Flores dan Lembata terus saja menghangat. Para kapitalis dan pemilik modal yang didukung oleh pihak pemerintah belum pernah ‘jerah’ memperjungkan rancana eksploratif mereka. Meskipun perlawanan rakyat terhadap pertambangan sudah berlangsung lama, baik dalam bentuk demonstrasi, ritus penolakan, dan diplomasi tetapi kekuasaan politik-kapitalis lebih gigih dan tak ada tandingannya. Begitu juga usaha-usah dari berbagai LSM pro rakyat, , JPIC, biarawan/I, dan para pencita lingkungan terdengar hambar saja dihadapan tegarnya hati para penguasa. Pertambangan terus dijalankan. Terakhir pertambangan mangan di pulau Timor yang merenggut korban nyawa. Terhadap hal ini, seorang penulis pernah berkomentar dalam sebuah artikelnya; “mungkinkah hati mereka telah menyatu dengan tambang itu snediri, tegar seperti tembaga dank eras laksana besi berlapis baja.?”
Polemik tentang tambang pun terus menghangat, bukan hanya penolakan dalam aksi nyata tapi juga lewat buah pikiran yang tertuang dalam berbagai media masa. Kita tentu masih ingat ketika opini berjudul “jangan bertindak bodoh dari Charles Beraf mendapat reaksi protes dari banyak pihak. Kita juga tentu masih ingat opini pro tambang dari Pak Alo Basri yang diserang oleh banyak pihak termasuk di dalamnya P. Aleks Jebadu dan Sil Ule. Ataukah yang terakhir opini dari Pater Step Tupen Witin yang berisi tanggapan terhadap Opini Rungamali yang mengklaim perjuangan tolak tambang sebagai perjuangan irasional.
Lalu kita bertanya, apa perbedaan antara dua kelompok ini.? Pater Eman Embu kemudian membedakan yang satu sebagai pegiat bisinis dan yang satunya lagi sebagai pegiat pastoral. Pegiat bisnis mewakili kaum kapitalis dan orang-orang bermodal yang ingin mengeksplorasi tambang sedangkan pegiat pastoral adalah mereka yang menyuarakan penolakan tambang demi nasib hidup orang banyak dan lingkungan. Baiklah saya mengajak kita semua untuk semenjak menjadi ‘pegiat bisnis dan pegiat pastoral’ demi suatu titik cerah dari polemik yang berkepanjangan ini sekaligus pada akhirnya nanti bisa menentukan sikap kita, bertahan sebagai pegiat bisnis atau pegiat pastoral.

II. Abstraksi Makalah
III. Pertanyaan Informatif
• Merujuk pada makalah, Apakah komunisme yang diterapkan Cina berasal dari Rusia?
Jawaban: perekonomian dengan sistem komunisme yang dikembangkan di cina terlebih dahulu dikembangkan di Rusia. Sistim perekonmian ini dinilai mampu mngangkat perekonmian Rusia, dan sekaligus meningkatkan kemakmuran hidup. Cina sebagai negara tetangga ternyata mengadopsi sistem perekonomian a la komunisme ini. Sistem perekonomian ini bahkan berekembang lebih pesat di Cina ketimbang Rusia sendiri.
• Apa maksud mitos globalisasi?
Jawaban: Yang dimaksudkan dengan mythos globalisasi dalam konteks ini adalah globalisasi yang sedari awalnya bertujuan sangat mulia demi keadilan dan kesejaterahan masyarakat global ternyata berbeda dalam kenyataan. Globalisasi justru memberi tekanan terhadap kaum kecil demi mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya bagi kaum kapitalis dan orang-orang bermodal.
• Apakah kaum kapitalis itu buruk?
Jawaban: Kapitalisme tidak selamanya buruk, hanya ideologi yang di dalamnya yang tidak baik (penjelasan selanjutnya tanya pemakalah)

IV. Pertanyaan Diskusi
1. Gubernur NTT pernah mengeluarkan izin petrambangan di pulau Timor. Apakah sikap ini pantas dibuat ketika polemik tentag tambang masih hangat diwacanakan?
Jawaban:
• Tidak pantas dengan alasan karena terkesan terlalu terburu-buru. Ada kecurigaan bahwa ada kerja sama antara pihak pemerintah dan kaum kapitalis. Hal ini bisa terlihat dalam undang-undang Minerva yang masih mendukung posisi kaum kapitalis dan pemilik modal. Posisi gubernur sebagai birokrat disinyalir mendukung kepentingan kaum kapitalis dan pemilik modal.
• Keputusan yang dikeluarkan gubernur bukan hanya tidak pantas tapi juga tidak adil secara khusus terhadap masyarakat di Flores dan Timor. Keputusan ini diambil setelah rencana pertambangan di Flores belum terealisasi secara maksimal.
• Sikap gubernur di satu sisi dianggap pantas, karena tambang pada hakikatnya dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kesejarahan rakyat. Jika tidak dimanfaatkan tentunya akan sangat disayangkan, apalagi hasil survai mengatkan bahwa pertambangan di Flores dan Lembata sangat profitable, yang potensial mendatangkan keuntungan.
• Posisi gubernur tidak salah di sini, hanya saja pihak pemilik modal yang cenderung mengambil keuntungan yang lebih besar ketimbang sumbangan untuk kesejaterahan masyarakat.
• Sikap Gubernur tidak bisa dikatakan salah. Yang harus diperhatikan apakah keuntungan dan kerugian yang ditampilkan bagi masyarakat. Karena itu pemimpin harus memperhatikan kontrak kerja, sumbangan bagi masyarakat dan juga soal waktu pertambangan, serta efek terhadap lingkungan sekitarnya.
• Sikap Gubernur dinilai tidak berkaca pada realitas yang ada. Kegiatan pertambaagan banyak mendatangkan kerugian. Karena itu pertambangan harus memihak pada rakyat dan memperhatikan etika lingkungan hidup. Keputusan ini dinilai sangat tergesa-gesa.
• Akhirnya, tambang adalah lubang besar ternganga yang ditinggalkan para kapitalis. Sikap gubernur dinilai pantas jika telah ada pengkajian yang komprehensif terhadap efek dan kontribusi pertambangan terhadap masyarakat. Dan, sikap ini dinilai tidak pantas karena masih dalam polemik yang terus hangat dibicarakan. Dalam kaitannya dengan pertambangan di Flores dan Lembata, apabila Gubernur memberi izinan pertambangan, tentu saja ini dinilai tidak pantas karena masalah tambang masih hangat dibicarakan.
2. Kapitalisme a la komunisme macam mana yang bisa dikembangkan di Indonesia. Pengalaman menunjukkan bahwa paham komunisme telah meninggalkan kesan buruk di bumi Indonesia, dan bagaimana membalikan image buruk komunisme ini?
Jawaban:
• Sistim komunisme pertma sekali harus dibedakan dengan ideologi yang terkeandung di dalamnya. Bangsa Indonesia memang mempunyai catatan sejarah yang buram dengan segala sesuatu yang berbau komunisme tetapi sistim perekonomiannya tidak melulu diperhitungkan segala sesuatu yang amat negative. Dasar pemikirannya merujuk pad ide Karl Marx tentang teori upah buruh dimana hasil atau laba yang dibagikan secara bersama.
• Sistim komunisme tidak bisa diterapkan secara mutlak di Negara kita. Tetapi hal ini tidak menutup kemungkinan bagi kita untuk menimba hal-hak yang baik (postif) dari sistim ini demi suatu kebaikan bersama. Jika sisitim tersebut sangat postif untuk perkembagan tingkat kemakmuran, why not?
• Hanya kita perlu membedakan sistim perekonomian a la komunisme dan sistim politiknya. Perekonomian di Cina memang sudah cukup maju tetapi itu dibarengi dengan sistim politik yang juga berbau komunis. Negara Indonesia tidak menganut paham komunisme karena itu kita cukup pesimis apakah sistim perekomian a la komunisme bisa dikembangkan di Indonesia.
• Sebuah pertanyaan lanjutan muncul, apakah perlu sistim perekonomian yang jelas dan pasti bagi Indonesia? Indonesia tidak mesti menerapkan suatu sistim perekonomian yang mutlak tetapi bisa menimba unsur-unsur atau nilai-nilai yang baik dari setiap sistim perekonomian yang bisa mendongkrak perkembangan ekonomi kita.
3. Di dalam makalah yang dipaparkan dua term yang menjadi kata kunci yakni globalisasi dan kapitalisme. Ada kesan bahwa pemakalah mereduksi makna globalisasi ke dalam kapitalisme?
Jawaban:
Berbicara tentang globalisasi tidak bisa dilepaspisahkan dari kapitalisme. Bagaimana pun juga globalisasi diatur dalam suatu skenario yang dimainkan oleh para kapitalis. Misalnya perusahan-perusahan besar yang memproduksi handphone dan berbagai barang produksi lainnya yang dipakai oleh masyarakat luas. Secara tidak langsung para pemilik modal mengatur globalisasi yang juiga turut mempengaruhi peradaban global. (Jawaban lebih lengkap silakan tanya ke pemakalah).
4. Sikap yang disepakati dalam kaitan dengan pertambangan ini?
Jawaban: TETAP MENOLAK, dengan alasan:
• Merujuk pada fakta empiris yang ada, pertambangan ternyata tidak memberikan banyak keuntungan tetapi malah mendatangkan kerugian, penindasan terhadap masyarakat kecil.
• Kesejaterahan ekonmomi bisa dikembangkan dalam sektor lain, bukan hanya pertambangan, semisal pertanian dan perkebunan.
• Ada indikasi kawin politik antara pemerintah dengan kaum kapitalis dan pemilik modal.
• Pertambangan meninggalkan kerusakan lingkungan dan hasil pembungannya (limbah) berdaya mematikan makhluk hidup lainnya.
• Pertambangan mesti selalu terlebih dahulu lewat observasi yang meyakinkan dan disertai dengan sosialisasi terhadap masyarakat.

5. Penutup (penegasan)
Tambang adalah lubang besar ternganga yang ditinggalkan oleh para kapitalis. Usaha kita sekarang adalah menutupi lubang besar ternganga itu, bukan sebaliknya membiarkan bumi kita terus ternganga di tangan kaum kapitalis dan pemilik modal. Karena itu kita sepakat untuk menolak tambang baik di NTT umumnya maupun di Lembata khususnya. Tambang bukan satu-satunya sektor vital yang mampu mengangkat tingkat kemakmuran kita.

V. Kata Akhir (ucapan terima kasih dan pemberitahuan dari seksi akademi)

Sie Akademi

“Lupa-lupa Ingat” Budaya Bangsa Kita

Rukhe Woda

Bangsa Indonesia mungkin lupa ketika Presiden Soekarno memutuskan hubungan diplomatik secara sepihak dengan pemerintahan Sebuah slogan, ”Ganyang Malaysia” pun dicetuskan sebagai bentuk nasionalisme terhadap bangsa.. Bangsa Indonesai juga mungkin sedang ‘pikun’ untuk mengingat kembali dua pulau, ipadan dan Sigitan, yang diambil alih oleh Malaysia enam tahun silam. Dan sekarang ketika pemutilasian budaya yang dilakukan Malaysia kian menjadi-jadi, semuanya kembali teringat akan sejarah kelam itu.
Kita toh tidak melulu mempersalahkan Malaysia sebagai biang keladinya tetapi adalah lebih baik jika kita tanyakan ke dalam diri kita terlebih dahulu sejauh mana kita telah menjaga dan melestarikan budaya bangsa kita. Ketika ada pengklaiman budaya dari negeri tetangga, semua ingatan dan kesadaran tentang kepemilikan mulai muncul kembali. Apakah bangsa kita sedang mengidap sindrom “lupa-lupa ingat” a la Kuburan Band? Ataukah ini justifikasi atas tesis bahwa masalah kita adalah sulitnya mempertanggungjawabkan memoria, ingatan (Edy Kristianto, Sakaramen Politik, 2008)?
Lupa adalah gerakan tidak sadar. Leo Tolstoy dalam Diary (1897) menulis, jika kehidupan berlalu tanpa disadari, kehidupan itu tidak pernah terjadi. Secara psikologis lupa adalah peristiwa yang menyusup dalam arus kesadaran sehingga ada di luar kendali. Sementara itu Edmuns Husserl, seorang yang pertama kali mengembangkan metode fenomenologi, melihat, saat peristiwa lupa berlalu, kesadaran pun melakukan refleksi. Hasil refleksi memutuskan bahwa kejadian sebelumnya telah melupakan sesuatu. Keputusan lupa adalah produk sadar, sedangkan peristiwa lupa itu kejadian di luar sadar.
Dalam kajian antropologis terungkap sebuah ritus yang dijalankan dengan tingkat duplikasi yang tinggi dari waktu ke waktu yakni gerakan sadar untuk melawan lupa. Dalam perspektif kebudayaan, pelestarian tradisi pada zaman yang terus berubah bukan melawan perubahan, tetapi melawan diri sendiri agar tidak lalai. Di sinilah letak permasalahan yang dialami oleh bangsa Indonesia. Kita lemah dalam menjaga dan melestarikan budaya kita sendiri.
Hemat saya ada tiga indikator yang menunjukkan dengan jelas bahwa bangsa kita sekarang sedang “lupa-lupa ingat” terhadap budaya sendiri. Pertama, Indonesia sudah menjadi bangsa pelupa yang mudah sekali melupakan dan menenggelamkan sesuatu dalam dunia keterlupaan. Dalam kaitannya dengan polemik budaya yang sekarang sedang terjadi, bangsa Indonesia cukup merasa risih ketika orang mengatakan bahwa Indonesia hanya memiliki masa lalu tetapi tidak memliki masa depan (Bdk. Kompas, 7 September 2009). Pernyataan ini terkesan amat miris jika ditafsir lebih jauh. Hemat saya, memiliki masa lalu tetapi tidak memiliki masa depan sama dengan menenggelamkan separuh masa lalu. Masa lalu tidak lagi menjadi “the best teacher” bagi kita untuk membangun masa depan.
Kedua, kelupaan akan budaya bangsa nampak dalam ketidaktegaran dan ketidaktegasan untuk menyelesaikan persoalan yang mencuat di negeri ini. Indonesia menjadi ruang yang sesak dan pengap oleh kompleksitas persoalan yang tidak bisa sama sekali atau belum sepenuhnya dituntaskan. Karena itu ketika Malaysia pertama kali mengklaim produk budaya kita sebagai milik mereka, bangsa kita masih ‘adem-ayem’ untuk menanggapinya. Barulah belakangan muncul banyak gerakan melawan aksi brutal Malaysia termasuk beberapa stasiun TV Indonesia mulai dengan iklan pelestarian produk budaya bangsa.
Ketiga, kelupaan budaya Indonesia ditandai pula oleh ketidaksanggupan (impotensi) untuk memproduksi para pemimpin, pejabat publik yang memiliki sensitivitas terhadap kepentingan budaya. Kita butuh pemimpin yang berpegang teguh pada prinsip-prinsip nasionalisme. Pengalaman kekalahan di mahkamah internasioanal atas kedua pulau, Sipadan dan Sigitan, merupakan indikasi ketidaksanggupan para pemimpin dalam menyelesaikan masalah.
Meskipun demikian kelupaan terhadap budaya bangsa Indonesia ini merupakan persoalan bangsa yang meminta penyembuhan dan penanganan yang serius dari kita semua yang menanamkan diri sebagai anak-anak bangsa. Penanganan yang serius berarti berangkat dari pluralitas peran dan tanggung jawab, yakni dari rakyat melalui partisipasi dan kontrol yang kuat terhadap para pejabat publik dan setiap kebijakan yang diambil. Atau juga dari pejabat publik lewat mengembangkan amanat dan aspirasi rakyat yang ia wakili dengan penuh tanggung jawab. Penanganan yang demikian memungkinkan Indonesia kembali berdiri tegak bak seorang anak muda yang tengah melangkah, menyongsong hari esok Indonesia baru sembari membuang jauh-jauh kebiasaan kita untuk “lupa-lupa ingat” terhadap budaya kita sendiri.
Ruke

KELEMAHAN KITA SEBAGAI BANGSA INDONESIA (Sebuah Umpan Balik Untuk Berbenah Kembali Sebagai Bangsa Yang Kaya)

Egi Binsasi

Kebudayaan merupakan suatu yang hidup dan berkembang dalam masyarakat serta tidak dapat terlepas dari masyarakat. Kebudayaan itu meliputi sesuatu yang abstrak (berpikir) sampai pada bentuk yang kongkrit seperti seni tari, arsitektur, lagu, dll. Di mana terdapat manusia, maka dengan sendirinya kebudayaan ada dengan sendirinya. Kebudayaan setiap masyarakat pada suatu wilayah berbeda dengan kebudayaan masyarakat pada wilayah lain.
Beberapa minggu terakhir ini, muncul berbagai berita mengenai tindakan-tindakan pengklaiman sepihak terhadap karya seni budaya bangsa Indonesia. Malaysia yang merupakan Negara tetangga, secara sepihak mengklaim beberapa budaya bangsa Indonesia. Tindakan tidak terpuji ini mengundang amarah dari seluruh masyarakat yang merasa tidak dihargai dan dihormati kreativitas mereka. Meskipun demikian kita juga perlu bertanya da berbenah diri, mengapa budaya kita dipakai Malaysia iklan promosi budaya mereka

Kelemahan Kita Sebagai Bangsa Indonesia
Ada beberapa indikator yang memperlihatkan bahwa bangasa kita ‘lemah’ dalam pelestarian budaya. Pertama. Ketidakseriusan dalam usaha menjaga dan melestarikan budaya. Dalam UU No. 19 tahun 2002 tentang Hak Cipta pada pasal 10 ayat 2 berbunyi Negara sebagai pemegang hak cipta atas folklor dan hasil kebudayaan masyarakat yang merupakan kekayaan bersama (cerita, hikayat, dongeng, legenda, tarian, koreografi, kaligrafi, dan karya seni lainnya). Meskipun telah ada peraturan dan undang-undang perlindungan budaya tetapi tetap terjadi pembajakan terhadap karya cipta bangsa kita. Hal ini mengindikasikan bahwa pemerintah tidak mendalaminya secara serius bahkan kelihatannya membiarkan saja hal itu terjadi.
Kedua, ketiadaan inventarisasi kebudayaan di seluruh wilayah Indonesia. Sampai saat ini (per KOMPAS, 31 Agustus 2009) baru tercatat tiga propinsi (Bali, Daerah Istimewa Jogjakarta, dan Nusa Tenggara Barat ) yang memasukan daftar khasanah seni dan budayanya dari tiga puluh tiga propinsi yang ada di Indonesia. Akibatnya mudah ditebak bahwa sampai saat ini bangsa kita belum memiliki draf atau daftar inventarisasi seluruh kekayaan budayanya mulai dari Sabang sampai Merauke. Tidak heran bila kasus ini merebak di permukaan Indonesia sebagai Negara yang merdeka tidak dapat menggugat Malaysia secara hokum melalui Lembaga Internasional Perlindungan Hak Cipta di Genewa karena belum mendaftarkan seluruh aset seni dan budaya pada lembaga tersebut.
Ketiga, birokrasi yang panjang dan rumit. Masyarakat yang berkarya menghasilkan sesuatu yang berhubungan dengan seni budaya diminta melakukan pendaftaran pada pemerintah melalui Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual Depertemen Hukum dan Hak Asasi Manusia untuk memperoleh hak paten atas karyanya itu. Birokrasi pendataan hak cipta sejak 2002 sampai 2009 ada 24.603 permintaan untuk memperoleh hak patent yang belum terselesaikan. Mengapa didaftar sejak tahun 2002 hingga 2009 belum kelar juga urusannya? Rupanya birokrasi yang panjang dan rumit menjadi momok serius. Bukan menjadi hal yang baru bila ada uang semua urusan yang berkaitan dengan administrasi akan selesai dengan cepat, sekali masuk membawa setumpuk uang, maka pulang dengan membawa hak patent atas karyanya itu.
Keempat, promosi budaya yang tidak efektif. Pemerintah harus melakukan promosi budaya. Menurut Jero Wacik (Menteri Kebudayaan dan Pariwisata) biasanya dibuat pementasan di luar negeri. Menurut saya merupakan pernyataan yang kurang luas, sempit, dan terbatas. Pementasan di luar negeri dinilai sangat tidak efektif baik dari segi ketenagaan, waktu dan, biaya. Kita dapat memasang iklan di media massa dan elektronik bahkan melalui internet yang sekarang dapat diakses dengan mudah dan cepat oleh semua orang.
Kelima, enggan mengkonsumsi produk budaya sendiri. Di era globalisasi sekarang ini, orang cendeerung lupa pada budaya sendiri. Westernisasi terjadi di mana-mana. Orang lebih suka pada warna rambut yang pirang, pintal, dan memakai pakaian luar negeri dibandingkan dengan warna rambut hitam, atau pakaian dengan merek dalam negeri. Demikian pula yang terjadi dengan kecintaan pada budaya kita. Paranawe, dance, judo dipelajari dan didalami sedangkan tari bidu, caci, silat kampong merana tak tentu rimbanya
Malaysia sendiri kelihatannya proaktif publikasi, lewat media massa dan elektronik juga lewat buku seni budaya (terbitan swasta dan negeri) termasuk melakukan promosi tari pendhet dari Bali sebagai kekayaan budaya negerinya melalui internet. Buku Spirit of Wood, The Art Malay Woodcarfing: seni budaya di Kelantan, Terengganu, Pattani sepeerti seni ukir kayu, pembuatan keris, penggunungan wayang, mebel, hiasan dinding, arsitektur rumah, dan perkakas rumah tangga, batik, tarian, maupun kesenian rakya. Ini mirip dengan buku-buku Indonesia Ensiklopedi wayang, teater tradisional Indonesia, kain nontenun Indonesia.
Akhir kata, sebagai warga negara, kita perlu menumbuhkan minat dan cinta pada produk, seni dan budaya bangsa kita. Pemerintah perlu membuat inventarisasi seluruh seni dan budaya secara serius yang kemudian diteruskan pada lembaga atau instansi terkait, merampingkan dan memudahkan proses birokrasi untuk memperoleh hak paten atas karya seni yang dihasilkan dengan kemampuan sendiri. Dengan demikian kita tidak perlu ragu melainkan secara tegas dan berani menuntut kembali milik kita yang diklaim secara sepihak oleh pihak asing.

Binzar

BUDAYAKU MATI LEMAS KARENA AKU

Egas Foni

Bangsa indonesia adalah bangsa yang kaya. Kekayaan itu nampak dari banyaknya pulau, barang tambang, adat istiadat, kekayaan alam dan budaya. Sebagai warga negara Indonesia, sudah sepantasnya kita bangga dengan keanekaan ini. Keanekaan ini harus dilestarikan. Upaya pelestariannya yakni merawat dan memamerkannya kepada dunia. Cara ini dimaksudkan agar apa yang menjadi milik kita diketahui dan dihormati oleh dunia.
Menangapi persoalan yang lagi hangat dibicarakan di indonesia perihal polemik budaya antara indonesia-malaysia, kesan penulis sebenarnya tidak terjadi apa yang disebut mutilasi budaya. Penulis beranggapan bahwa pendapat yang dikemukakan oleh Ahmad Nyarwi dalam kompas, senin 7 september 2009 tentang mutilasi budaya indonesia oleh Malaysia adalah pemikiran yang gegabah dan terlalu terburu-buru. Penulis melihat bahwa klaim ini muncul karena luapan kekesalan terhadap tayangan tari pendet asal Bali dalam promosi tahun kunjungan Malaysia.
Luapan kekesalani ini ditambah opini-opini yang menyudutkan malaysia membuat warga indonesia belum lama ini mengadakan aksi sweeping WN Malaysia di Jakarta dan daerah lainnya. Sementara itu, Malaysiakini.com menulis, kemarahan rakyat Indonesia sudah memuncak disusul berita TV mengenai lebih 360 sukarelawan ilmu kebal sudah mendaftar dan bersedia untuk mengganyang Malaysia. Apakah tindakan seperti ini pantas dilakukan dan sekaligus bisa menyelesaikan maslah antara kedua negara ini?
Juru Bicara Kelompok Pakar (Eminent Person Group/EPG) Indonesia-Malaysia, Musni Umar,
EPG Indonesia-Malaysia, berpendapat bahwa masalah isu klaim budaya dapat diselesaikan dengan win-win solution (saling menguntungkan) melalui kolaborasi promosi pariwisata Indonesia-Malaysia. Untuk masalah budaya yang masuk dalam wilayah abu-abu kedua pihak sepakat untuk saling meminta izin apabila akan digunakan dalam iklan komersial. Hal ini sesuai dengan kesepakatan antara Menteri Kebudayaan dan Pariwisata RI Jero Wacik dan Menteri Malaysia Rais Yatim di Kuala Lumpur pada 10 November 2007. Permasalahan muncul ketika Malaysia menggunakan tarian pendet dan batik dalam promosi budaya mereka. Hal ini tentunya berada di luar kesepakatan itu karena tarian pendet merupakan kebudayan asli Indonesia asal Bali.
Terhadap masalah ini, Norman Abdul Halim, produser film dokumenter Malaysia, meminta maaf atas klaim batik dan tari pendet serta menghentikan iklan enigmatik Malaysia. Bahkan Menlu Malaysia, Dina Pati Djalal, dalam pertemuan dengan Presiden Susilo Bambang Yudoyono, mengungkapkam apresiasi dan kebanggan Malaysia yang mengakui banyak budaya mereka berasal dari Indonesia. Menurut saya, hal ini sebenarnya bisa “dimaklumi” mengingat penduduk Malaysia dulunya adalah orang Indonesia yang kemudian terpisahkan karena imperialisme. Jadi wajar bila budaya Indonesia diamalkan di Malaysia dan diturunkan ke generasi mereka selanjutnya. Ada dua hal yang jadi masalah di sini yakni; pertama, ketika budaya tersebut tidak di-acknowledge dengan jelas sebagai budaya milik Indonesia. Kedua, budaya tersebut dimanfaatkan hanya untuk kepentingan intern Malaysia. Ini tentu tidak bisa dibenarkan.
Meskipun demikian, kita tentu tidak melulu mempersalahkan Malaysia. Sudah saatnya kita berbalik dan berbenah diri. Salah satu penyebab mati lemasnya budaya kita adalah kaum hedonisme yang semarak subur di kota-kota besar lebih memilih mengkonsumsi barang-barang luar negeri ketimbang produk dalam negeri. Bagaimana mau bangga dengan hasil produk negeri sendiri kalau menggunakan saja masih gengsi?
Masyarakat Indonesia bersikap acuh tak acuh akan seni dan kebudayaannya sendiri. Kita merasa marah ketika ada yang mencuri identitas bangsa kita. Namun mengapa sebelum kejadian ini, kita seakan tak mengenal seni dan budaya kita sendiri, bahkan lebih menyukai dan mencintai budaya asing. Karena itu, hal yang harus dibenahi ialah masalah identitas diri yang sempit. Kita lebih bangga dengan daerah, budaya, suku, dan agama kita daripada memeyebutkan diri sebagai orang Indonesia. Kecendrungan yang besar selalu tampak dalam pengkotak-kotakan menurut suku, agama, dan daerah.
Lalu apa yang harus kita lakukan? Hal yang harus dilakukan yakni terbuka dan kritis terhadap budaya sendiri. Setiap budaya tentu memiliki kekurangan, Tips mendewa-dewakan budaya sendiri dan mengaanggap rendah budaya lain adalah tindakan kekanak-kanakan. Selain itu, nasionalisme juga perlu dipupuk. Memperkuat nasionalisme dapat dilakukan dengan meningkatkan penghargaan terhadap kekuataan budaya sendiri. Bukannya dengan mengadakan aksi sweeping terhadap warga negara Malaysia. Menghargai budaya sendiri tidak berarti mengatakan bahwa budaya kita adalah pusat segala peradapan .
Egaz

Terima Kasih Malaysia

Obeth Oula'a

Dalam beberapa bulan terakhir, polemik budaya Malaysia-Indonesia meramaikan berbagai media massa. Polemik ini terjadi karena pihak Malaysia menggunakan tari Pendet dalam iklan kebudayaan mereka. Menilik dari sudut terbentuknya, budaya lahir dan seumur masyrakat yang merupakan empunya budaya tersebut. Ia lahir dan terbentuk bukan seperti proses penemuan alat-alat teknologi atau penemuan ilmiah lain yang yang diperoleh melalui eksperimen atau penelitian ilmiah. Dengan demikian budaya merupakan kekhasan suatu masyrakat, kelompok , daerah atau bahkan Negara tertentu.
Berkaca pada realitas yang terjadi saat ini, pihak Malaysia mengklaim bahwa tarian Pendet merupakan budaya mereka. Tarian Pendet bukan satu-satu produk budaya yang diklaim karena sebelumnya beberapa produk budaya seperti tari Reog Ponorogo, batik, dan sebuah lagu daerah Nias mengalami nasib yang sama. Pengklaiman dari Malasyia ini sesungguhnya telah menimbulkan reaksi yang sangat kurang positif dari bangsa Indonesia. Ada begitu banyak komentar dengan nada yang beragam pula; ada yang menyesali perbuatan itu, ada yang mengutuk dengan keras bahkan ada yang menganggap bahwa Negara Malaysia adalah Negara yang sedang mencari identitas diri karena tidak mempunyai masa lalu
Terhadap berbagai respon kekesalan itu, saya dapat menyimpulkan bahwa masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang sungguh mencintai budayanya sekaligus mempunyai rasa nasionalismen yang tinggi. Saya katakan demikian karena tari pendet itu hanya merupakan tarian khas milik masyrakat Bali. Meskipun demikian reaksi protes bukan hanya dari masyarakat Bali tetapi semua warga negara Indonesia. Intinya hanya satu yaitu tari Pendet adalah milik bangsa indonesia dan bukan milik bangsa Malaysia. Dari reaksi ini juga kita boleh katakan bahwa bangsa indonesia adalah bangsa yang lahir dan dibesarkan dalam budaya budaya. Bukti nyata dari pernyataan ini adalah adanya upaya untuk mempertahankan dan melestarikan budaya masing-masing.
Dari sekian banyak komentar yang diposting dalam internet, surat kabar baik yang dalam bentuk berita maupun opini dan juga melalui siaran televisi, yang paling menarik bagi saya adalah opini pada tanggal 7 september yang berbunyi, “ bangsa Indoneisa adalah bangsa yang hanya memiliki masa lalu dan tidak memiliki masa depan sedangkan negara Malaysia adalah negara yang hanya memiliki masa depan dan tidak memiliki masa lalu.
Ada dua hal yang perlu dikritisi dalam pernyataan ini. Pertama, negara Indonesia adalah negara yang hanya memiliki masa lalu. Pernyataan ini sepertinya sengaja untuk memancing emosi bangsa indonesia supaya bertindak secara cepat dan mampu membaca tanda-tanda zaman. Memang tak dapat dipungkiri bahwa bangsa indonesia termasuk negara yang belum mempunyai pengaruh dalam kancah internasional. Mungkin hal ini yang menjadi salah satu faktor yang menyebabkan mengapa Malaysia dengan mudah mengklaim kebudayaan bangsa indonesia sebagai milik mereka. Kedua, negara Malaysia adalah negara yang tidak mempunyai masa lalu. Pernyataan ini mengibaratkan pohon yang tak berakar, suatu negara tanpa sejarah. Sebagai negara yang tidak mempunyai masa lalu, tentunya ia selalu berada dalam krisis seperti krisis identitas dan jati diri. Pada saat ia menyadari ketakberakarnya itu ia bisa melakukan apa saja agar tetap diakui oleh bangsa atau negara lain, termasuk mengadopsi budaya orang lain.
Terlepas dari komentar terhadap tindakan pemerintah Malaysia, kita juga mesti kembali berkaca dan berbenah diri. Namun sebelumnya kita juga perlu melihat bagaimana hubungan antara ke dua bangsa ini? Mereka mengirim teroris untuk memporak-porandakan Indonesia, mereka mencuri kebudayaan Indonesia. Sedangkan Indonesia sendiri baru sadar ketika segalanya sudah menjadi masalah. Pengklaiman terhadap budaya Indonesia di satu sisi merupakan masukan bagi bangsa Indonesia supaya negara Indonesia bisa mempromosikan kebudayaannya itu ke panggung internasional. Keuntungan dari pengklaiman ini juga adalah bahwa dengan ini bangsa Indonesia ternyata punya rasa nasionalisme yang tinggi.
Obeth

Puisi-puisi Thoy Hale

PERTEMUAN

Kalau kata lepas tak sangka

Biarlah!
Ia telah kembali

Kepada sunyi

Di suatu lembah tak berkaki.

inspirasi
aku selalu menulis dalam malam
melukis gelap yang tak terbaca
merangkai kata yang tak bermakna
di sana kutemukan syair untuk mengurai rasa

Warisan terakhir dari kakak kakek adalah KATA

rindu
I
hujan yang menghujam
kepagi-pagian
merebut angan yang terencana
II
untuk masa yang belum tiba
kita menanti dan berharap
III
O, Tuhan yang tak terduga
datanglah di pagi yang lelah ini
bebaskan niat yang terbelenggu raga

DI RUMAH RENTA
Sepanjang waktu
Ketika gigi-gigi tanggal
Oleh usia
Suara kematian itu mendekat
Rapat!

Diam-diam
Kenangan mencairkan mata
Kesadaran berujar bahasa yang sama
: Nasib telah dipangkas
Yang terbaik telah usai
Senja telah terbuka…

KETIKA INDONESIA DITANTANG

Thoy Hale

Persoalan klaim tarian pendet dan beberapa aset kultur lain yang dilakukan oleh saudara serumpun menjadi top topic beberapa waktu terakhir ini. Berbagai lapisan masyarakat Indonesia yang tidak mau ketinggalan untuk mengikuti perkembangan berita demi berita tentang topik ini dan tidak sedikit pula yang melayangkan protes terhadap klaim Malaysia tersebut. Pertanyaan untuk bangsa Indonesia, apa yang ada di balik semua klaim ini?
Kalau kita mengamati problem ini dan bercermin kembali ke dalam diri, pasti kita akan merasa malu. Budaya yang lahir dari rahim Ibu Pertiwi kini diklaim Negara tetangga sebagai produk masyakarat mereka. Ini tentunya menjadi kritik pedas dan pukulan hebat terhadap strukturalisme amburadul Negara Indonesia. Amburadulisme yang terjadi bukan karena Indonesia tidak memiliki sistem pemerintahan yang terstruktur secara baik tetapi bisa dibaca sebagai Negara yang ‘selalu terlambat’. Setelah semuanya terjadi baru bangsa Indonesia sadar kalau memiliki ragam budaya yang khas.
Bangsa Reaktif
‘Mencegah lebih baik daripada mengobati’. Suatu ungkapan yang bagus dari para pendahulu kita. Tetapi kita cenderung untuk membaliknya, Rupanya bangsa Indonesia lebih membudayakan ‘pengobatan’ ketimbang ‘pencegahan’. Karena itu sepatutnya kalau kita juluki bangsa kita ini sebagai bangsa reaktif. Bangsa yang hanya memberi reaksi terhadap aksi dari bangsa lain. Bencana alam, terorisme, dan klaim budaya yang terjadi sekarang ini menjadi alasan mendasar untuk membuat otokritik terhadap bangsa kita sendiri. Kita cenderung untuk ‘menunggu’ bukannya proaktif untuk memulai terlebih dahulu.
Kalau sepenuhnya kita bebankan seluruh persoalan klaim ini sebagai kesalahan struktural, maka sebenarnya sence of belonging (rasa memiliki) budaya kita patut dipertanyakan. Kita adalah pewaris atas apa yang telah dilahirkan oleh nenek moyang kita. Ketika kita saling melempar tanggung jawab penanganan aset budaya lokal yang kita miliki maka sebenarnya kita memamerkan salah satu titik lemah yang kita miliki. Kita membuka peluang untuk bangsa lain ‘mengambil alih’ apa yang kita miliki. Fakta yang membanggakan bahwa Indonesia sangat kaya akan budaya lokal yang indah dan mengesankan. Namun dibalik kekayaan yang membanggakan ini, justru ada satu kelemahan besar yang dilihat sebagai ‘lubang’ yaitu pemerintah dan perangkat bangsa lainnya yang tidak punya komitmen untuk mematenkan apa yang menjadi hak bangsa Indonesia.
Nasionalisme dadakan
Ketika masyarakat Indonesia melayangkan berbagai macam aksi protes, ada satu perasaan yang muncul bersamaan. Nasionalisme muncul serentak di berbagai daerah. Nasionalisme yang muncul secara tiba-tiba ini memang menggegerkan dan sempat membuat Negara tetangga tersebut was-wasan, tetapi kita patut mempertanyakan nasionalisme jenis ini. Tari pendet yang dicuri menjadi puncak kemarahan semua suku bangsa Indonesia. Sebelumnya, sudah terlalu banyak budaya yang diklaim oleh daerah atau Negara lain sebagai milik mereka. Polemik dan kemarahan ini rupanya menjadi klimaks dari semua ketidakharmonisan politis antar kedua Negara serumpun ini. Akumulasi kemarahan ini bukan saja karena masalah tari pendet, tetapi masalah-masalah lain seperti persoalan TKI yang dianiaya, persoalan Ambalat, dan lain sebagainya.
Apabila kita membaca persoalan ini secara lurus, menurut saya kita akan sampai pada satu kesimpulan bahwa kita (Negara Indonesia) terlalu diremehkan. Kita ditelanjangi secara politis atau dalam bahasa Baskara T Wardaya “kita adalah Singa yang tak bergigi. Memang ini sedikit berbau provokatif, tetapi kalau kita mau mengerti secara terbalik sudah sepatutnya kita merasa malu dan segera berbenah diri. Sekiranya kita punya cara untuk membangkitkan rasa nasionalisme yang benar. Hal ini bukan bermaksud untuk menganggap aksi protes yang terjadi ini sebagai suatu sempalan tanpa makna, tetapi semata-mata hanya mau mencari tahu seberapa dalam kualitas semangat nasionalisme yang kita miliki.
Pengalaman klaim tari pendet dan aset budaya Indonesia lainnya ini sudah seharusnya menjadi pelajaran yang sangat berharga untuk kita. Dalam konteks lokal, masyarakat dan pemerinth daerah dituntut untuk menggali kembali apa yang menjadi kekhasan budaya kita. Seandainya kita mau supaya jangan ada pencuri yang menyusup masuk lagi, hemat saya kita perlu membangun suatu sistem yang memberi peluang dilestarikannya budaya bangsa kita. sebut saja sanggar-sanggar lokal yang ada di daerah kita masing-masing.
Nasionalisme yang saya maksudkan adalah membina suatu sikap memiliki apa yang menjadi budaya lokal, apa yang menjadi kekayaan lokal. Saya berani menyalahkan bangsa Indonesia karena kelambanan birokratif yang kita miliki. Kita selalu berkoar-koar tentang pengembangan pariwisata di berbagai daerah, tetapi pelaksanaan lapangan adalah ketidakadilan perhatian. Kalau tidak mau ada pencuri yang menyusup masuk lagi, mari kita bersama-sama membudayakan harta milik masyarakat kita yang telah turun- temurun dihidupi sejak nenek moyang kita.
Th-lee

Khamis, 29 Oktober 2009

"Main-main Kata Sadiki Dolo"

ALO : pAngan LOkal
ILO : Ikatan penjuaL Ondo
HAMA : Habis mAnis aMpas dimAkan
TKO : TuKang Ojek
FORCAM : FOrum peRebutan CAdangan Makanan
ALE : Aku Lemah-lemah lllllE……
TAMAK : Tak Ada Makan mAmpuslah Aku
OBED : Olee… BEsar Derita ee…
KARTU : KelApaRan Tanpa sesUatu
RAKUS : RAmbut KUSut
KECAP : KEnCAn Pertama
: KECelAkaan Perdana
KUMIS : Kumpulan ManusIa Sial
KORBAN : Kurangi pembORosAn Bahan makaNan
KEJO : KElaparan Jadi Objek
MD : Manusia Dugem
sapu : SarungkAnlah PedangmU brooo…
KKG : Kecil-Kecil mengGigit
MMR : Manusia-Manusia Reggae
KOS : Kurangi hOby Pesiar
KAE : Kamu Ada yang Enak ko…
TOKO : TObat Kerjain Obed..
KOPRA : Keluarga kOrban PRAsaan
KADO : KangkAng sadiki DOlo…
MAKE : MAnusia KEdelai
@@@c’d@@@
NAMA KAMU HARIMAU KAMU!?

Ama: Anak MAnja
CELO: CElana LOreng
EGAS: Ekspresi GenerAsi poSmodern
RUKE: peRkUmpulan KatakEtik
ELI: Ende Lio
: Ehm….Lirik-lIrik o….
TOI: Tampang tombOI
EJA: Ekspresi JAdul (Jaman Doeloe)
FIAN: teleFon si dIA sekaraNg
PAUL: tamPAng jadUL
CHA: Celananya HijAu la…
CIKAL: penCInta KAdaL
EGI: Emangnya Gue pIkirin
OCEP: Orangnya CakEP deh….
DIDI: Debar rIndu Desir angIn
: DIriku DIrimu
OBI: kelOmpok Bakar pIsang
TALIS: penganTAr beLIS
AIM: Anak alIM
:tAmpang IMam
: AntI Miras
GODI: GODain dIa donk…
: GOlongan penDIam
NANA: aNAk taNA
: teNAga daNsA
ATEL: mAnusia TELepon

Kembali ke Pangan Lokal

Charles DM

Warta agar kembali ke pangan lokal sedang gencar-gencarnya dikumandangkan di NTT. Oleh banyak pihak, di berbagai fora dan dalam aneka kesempatan, resonansi seruan tersebut dipertegas. Ada sejumlah alasan di baliknya.
Pertama, menggejalanya berasisasi. Beras menjadi makanan pilihan nomor satu yang menggeser posisi makanan lokal: ubi-ubian, jagung, kacang-kacangan, dll dari daftar menu harian masyarakat kita. Statistika nasional menunjukan, beras menempati 50% total konsumsi nasional. Sementara itu, masyarakat NTT termasuk dalam 96% penduduk Indonesia yang keranjingan beras ketimbang sumber pangan lainnya.
Tidaklah sulit menggarisbawahi kebenaran data tersebut. Variabel pengukur sederhana yang bisa dipilih, diantaranya, nilai rasa konsumsi masyarakat dan tingkat pemanfaatan lahan pertanian yang ada. Masyarakat kita lebih merasa prestisius dan afdol jika sari-sari karbohidrat diasup dari sajian bertangkup-tangkup nasi. Sebaliknya, akan terasa inferior jika mengkonsumsi makanan lokal. Lantas, tinggi-rendah derajat kesejahteraan masyarakat diindikasi oleh mampu-tidaknya mereka mengkonsumsi beras saban hari. Indikator beras-sentris ini dengan mudah mem-black list-kan masyarakat pro-pangan lokal sebagai khalayak kurang mampu lagi melarat.
Dengan semakin didorongnya beras sebagai sumber pangan dominan maka tingkat ketersediaan beras di gudang Bulog menentukan kondisi ketahanan pangan pada berbagai level masyarakat. Beras pun “dibaptis” menjadi barometer pembangunan ekonomi. Maka ketika kondisi ketidakamanan pangan terjadi, yang sesungguhnya mengemuka adalah soal defisit beras dan bukan defisit ketersediaan karbohidrat.
Ekses yang ditimbulkan dari pola pikir seperti ini akan dengan mudah ditebak. Mendapatkan beras adalah harga mati yang harus dibayar dari setiap perjuangan hidup. Selagi beras bisa didapat, ubi-ubian, jagung, dll terkubur dalam alam kelupaan.
Kondisi ini diperparah dengan fenomena beras miskin (raskin). Ketika pemerintah datang dengan derma raskin, masyarakat akan dengan senang hati memperpanjang daftar antrian. Nafas hidup mereka seakan hanya dapat diperpanjang oleh butir-butir beras murah apapun jenis dan kualitasnya. Mereka lupa akan lahan pertaniannya yang semakin langka ditumbuhi jagung, ubi-ubian, dll.
Adalah ironi jika NTT dengan 89% penduduk bermata pencaharian sebagai petani (79% diantaranya sebagai petani lahan kering dengan jagung sebagai tanaman utama) menjadi propinsi dengan tingkat konsumsi beras yang tinggi. Potensi pertanian lahan basah yang mencapai 262.407 hektar dengan lahan fungsional 127.208 hektar (48,48%) serta potensi lahan kering 1.525.258 hektar dengan luas fungsional 689.122 hektar (45,09%) hanya mendaftarkan masyarakat kita pada kelompok busung lapar serta gizi buruk dan dengan tingkat rawan pangan tinggi. (PK, 30/8/2009, hal. 14).
Kedua, ikhtiar kedaulatan pangan. Inilah salah satu cara membalikan keadaan masyarakat kita. Pertanyaan, mengapa harus kedaulatan pangan?
Kedaulatan pangan mengandung arti bahwa kita berhak mengolah sumber daya yang kita miliki. Kita tidak dapat menggantungkan masa depan kita semata-mata pada beras. Isidorus Lilijawa menjelaskannya dalam beberapa alasan (PK, 29/6/2009). Pertama, dengan kondisi alam yang kering, produksi padi bukanlah produksi andalan. Sekalipun bisa tetapi produksinya tidak mencukupi karena tidak semua orang di NTT memiliki sawah. Selain itu banyak areal persawahan di NTT yang tidak dikelola secara baik atau mengalami kekurangan air.
Kedua, karena produksi sendiri tidak mencukupi, maka pasokan beras dari luar tidak bisa dihindarkan. Masyarakat pun 'dididik' untuk berharap pada pasokan pangan dari luar, yang niscaya sangat bergantung pada fluktuasi pasar dan situasi (tekanan) politik. Itu berarti kita tidak bisa mandiri dalam memproduksi dan menyediakan pangan. Coba kita amati beras yang ada di pasar dan toko saat ini. Apakah itu beras dari Lembor, Mbay atau Oesao? Banyak kali kita mendapatkan beras itu justru dari Makasar, Jawa dan bahkan Thailand.
Ketiga, berasisasi mengharuskan petani kita menanam "hanya padi". Keharusan imperatif ini menempatkan petani kita sangat rentan terhadap dampak variasi musiman dan siklus tahunan yang tidak menentu; yang diperparah dengan serangan hama/penyakit lainnya. Kegagalan panen (padi) langsung berdampak pada kekurangan pangan yang berdampak langsung pada kelaparan. Untuk mengatasinya tidak ada cara lain, selain mendatangkan beras dari luar entah dalam bentuk beras murah atau beras miskin.
Dengan demikian kita mesti memanfaatkan lahan pertanian kita untuk memroduksi berbagai potensi makanan lokal. Ada banyak jenis umbi-umbian yang dibudidayakan di kampung-kampung kita. Ada juga hasil hutan berupa putak di Timor, ondo di Flores dan iwi di Sumba. Semuanya jika dikelola secara baik akan menghasilkan stok pangan yang cukup bagi masyarakat kita.
Untuk mencapai maksud tersebut rasa kepemilikan atas sumber daya alam perlu dipupuk. Agar masyarakat dapat berdaulat atas pangan maka perlu ada basis kesadaran untuk tidak menjual hak pengelolaan atas sumber daya yang kita miliki pada kekuatan lain. Kita tidak bisa membiarkan orang lain menentukan apa yang mesti kita tanam. Kita berhak menuai apa yang telah kita tabur di atas kebun-kebun kita. Di banyak tempat kita konversikan lahan pertanian kita untuk perkebunan. Lalu, kita “makan gaji” dari perkebunan. Gaji sebagai buruh tani tidak cukup untuk membeli rupa-rupa kebutuhan. Kita jatuh miskin di atas kelimpahan sumber daya kita. Kita diajarkan tanam ubi aldira melalui proyek, misalnya, tapi sawah-sawah kita tidak diolah dengan cara yang lebih baik. (FP, 1/8/2009)
Para pemimpin mesti prorakyat dan pangan lokal. Kebijakan yang ditempuh para stakeholders amat menunjukan pada posisi mana mereka berada: rakyat, diri mereka atau pihak asing (rekomendasi kebijakan dapat ditemukan dalam Kompas, 8/9/2009, hal.6). Cara hidup merekapun mencitrakan orientasi hidup mereka. Dengan berbagai regulasi, kucuran dana, input teknologi, dan teladan hidup diharapkan produksi pangan berbasis sumber daya lokal dapat didongkrak.
Akhirnya, kerja sama lintas elemen perlu dirajut. Para petani mesti merapatkan barisan, menggalang kekuatan bersama untuk memerangi segala bentuk tindakan dan kebijakan yang merampas kedaulatan mereka atas pangan. Para petani perlu membangun jejaring dengan organisasi-organisasi swasta dan pemerintah untuk mengakarkan program kembali ke pangan lokal.

Jangan Mau Jadi Manusia Instan

Chelo Tanik


Masalah pangan lokal menjadi suatu masalah yang penting. Hal ini berkaitan erat dengan hidup manusia.Menyikapi hal ini, pemerintah kemudian berpikir untuk membangun ketahanan pangan sehingga masyarakat Indonesia terhindar dari ketiadaan pangan. Di lain pihak pemerintah juga mencari jalan agar masyarakat Indonesia tidak menjadi “manusia instan” yang selalu menggantungkan harapannya pada barang-barang siap pakai. Jika tidak disikapi, mental seperti ini akan terus bertumbuh-kembang.

Senjata penangkal pangan
Karena kian merumitnya kondisi pangan di tanah air, pemerintah kemudian menciptakan senjata penangkal pangan.Senjata ini dibuat juga untuk menyikapi tingginya impor yang memakan biaya yang mahal serta terbentuknya masyarakat instan. Masyarakat Indonesia sekarang nampaknya lebih dikenal sebagai “manusia instan”. Artinya, masyarakat yang hanya mengkonsumsi barang-barang siap pakai. Kebanyakan barang-barang itu diimpor dari luar negeri. Kualitasnyapun sebenarnya sebanding dengan barang-barang produksi sendiri. Barang impor inilah yang menciptakan masyarakat bermental santai serta malas bekerja. Mereka hanya mengkonsumsi barang-barang yang sudah jadi.

Hal ini mendorong tekad Presiden terpilih Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) untuk mengurangi kegiatan impor dan memanfaatkan pangan lokal masyarakat Indonesia. Dalam masa pemerintahannya, SBY, menugaskan menteri pangan untul membangkitkan produksi pangan berbasis sumber daya lokal guna mewujudkan kedaulatan lokal. Acuannya, peraturan presiden Nomor 22 tahun 2009 terkait perencanaan, penyelenggaraan, dan evaluasi pengembangan diversifikasi pangan, dari sisi produksi maupun konsumsi. Dalam hal ini, diversifikasi menjadi “senjata penangkal” dalam upaya memutuskan rantai impor dan kembali ke pangan lokal. Ada 4 hal yang coba ditawarkan pemerintah, yakni: pertama, pengembangan pangan lokal yang kaya akan karbohidrat (singkong, ubi jalar, sukun, talas, sagu dan jagung). Kedua, pengembangan produksi pangan lokal dengan memperhatikan selera para pembeli/konsumen sehingga mereka juga merasa senang dan cinta akan


produksi sendiri. Ketiga, melibatkan industri pangan nasional dalam meningkatkan cita rasa dan citra makanan tradisional. Keempat, peningkatan produksi dan ketersediaan sumber pangan protein (ikan, ternak, kacang-kacangan) serta zat gizi mikro/ hortikultura (Kompas,08/09/ 2009).

Menyudahi kiat-kiat tersebut timbul sejumlah pertanyaan susulan: sudah sejauh mana pelaksanaannya? Apakah ini bisa menjamin perkembangan dan kestabilan pangan lokal?

Jawaban atas pertanyaan inilah yang perlu ditelusuri sekarang. Hemat saya ada satu hal yang perlu dibuat yakni membaca guratan di balik program pembagian beras miskin, beras murah, dll oleh pemerintah. Di satu pihak sikap pemerintah yang tdak tutup mata dan telinga dari jeritan dan keluhan dari masyarakat miskin terbaca jelas. Di sini, pemerintah mepraktekkan sikap saling membantu seperti yang tertera dalam mata pelajaran PPkn, atau agama. Inilah sikap terpuji yang harus ditiru. Namun di pihak lain, program yang dijalankan itu bisa membuat masyarakat menjadi “anak manja”. Mereka akan selalu berpikir, bantuan selalu ada, karenanya tidak perlu bekerja keras. Akibatnya, pangan lokal yang sebenarnya bisa diproduksi sendiri tidak mereka lakukan. Menurut mereka bantuan dari pemerintah adalah hak yang harus diperoleh.

Oleh karena itu, hal ini perlu dipertimbangkan lagi. Kalau saja masih mau dipertahankan, maka satu hal yang perlu dibuat adalah meminimalisasi frekuensi pemberian bantuan. Dengan demikian masyarakat masih mempunyai kesempatan untuk berusaha sendiri dalam mengisi kekurangan yang terjadi.

Akhirnya, untuk bisa berhasil dalam tugas, seseorang perlu mencintai pekerjaannya dan bekerja keras agar bisa mencapai hasil maksimal. Demikianpun kerja keras itu dibutuhkan untuk kembali ke pangan lokal. Rasa cinta terhadap produk lokalpun perlu dibangun. Makanan tradisional harus kembali diperkenalkan kepada anak-anak sejak dini dan kepada generasi muda sekarang. Sekali lagi, jangan mau menjadi “manusia instan” dan pencinta barang impor. Berbaliklah untuk mencintai produk daerah sendiri.

Pangan Lokal: Mengapa Risih?

Vianney Leyn

Pada kesempaan liburan beberapa waktu lalu, saya bertamu ke rumah tetangga yang adalah juga keluarga saya. Pada saat makan siang kami dijamu dengan menu beras yang dicampur dengan jagung, sayur rumpu rampe, dan ikan kering bakar. Sambil menghidangkan semuanya itu, dengan malu tuan rumah menguc¬apkan kata-kata ini: “No frater, jangan marah, kita makan hanya ini saja. Nasi kita kuning sekali”, (maksudnya karena sudah tercampur dengan jagung). Pengalaman yang sama dengan ungkapan yang sama pula kembali dilontarkan ketika sya berrtamu dan makan di ruma keluarga yang lain.
Ketika membaca beberapa berita dan opini tentang pangan lokal yang dilansir beberapa koran lokal (Pos Kupang dan Flores Pos) maupun nasional (Kompas), saya teringat akan pengalaman kecil di atas. Pengalaman tersebut menunjukkan bahwa masyarakat kita merasa rendah diri atau malu bila mengkonsumsi pangan lokal seperti jagung, ubi kayu, jagung titi atau pangan lokal lainnya; terlebih lagi jika pangan lokal itu dihidangkan untuk tamu. Hal ini disebabkan oleh kebiasaan masyarakat kita yang sering mengkonsumsi beras yang pada umumnya diimpor dari luar negeri.
Republik ini telah terjebak dalam sistem pangan impor yang amat mahal. Lebih dari Rp. 50 Triliun (setara 5,0% APBN) dihabiskan untuk mengimpor pangan (Posman Sibuea, Bangkitkan Pangan Lokal dalam Kompas, 08 September 2009). Pada titik ini muncul sebuah pertanyaan: apakah bangsa kita, Indonesia, terkhusus NTT, tidak bisa memproduksi beras sendiri atau pun pangan lokal lainnya? (Sementara itu sebanyak 89% penduduk NTT bermata pencaharian sebagai petani dengan 79% di antaranya sebagai petani lahan kering dengan jagung sebagai tanaman utama, Isidorus Lilijawa, Makan Pangan Lokal dalam Pos Kupang, Senin 29 Juni 2009). Dan menurut laporan Badan Bimas Ketahanan Pangan NTT, ketersediaan pangan lokal di NTT khusunya umbi-umbian hingga Juli 2009 mencapai 46,757 ton, sedangkan kebutuhan perbulan 3, 271 ton atau 14,3 ton. Data ini sesungguhnya mengungkapkan bahwa masyarakat NTT tidak miskin pangan lokal apalagi mendapat stigma “daerah rawan pangan”.
Menurut saya, ini merupakan sebuah kasalahan berpikir (logical fallacy) atau berani saya katakan sebagai sebuah kebodohan untuk orang-orang yang menyematkan stigma ini pada daerah NTT (bila orang NTT tidak begitu mudah menerima begitu saja stigma yang terkesan dipaksakan ini). Mengapa saya berani katakan bodoh? Apakah dapat dibenarkan dan dipertanggung jawabakan secara etis bila melihat sekelompok masyarakat mengkonsumsi ubi, jagung ataupun makanan lokal lainnya lantas itu dikatakan sebagai sebuah realitas rawan pangan? Kita mesti menukik lebih ke dalam untuk melihat apa sesungguhnya yang menjadi parameter suatu daerah dikatakan rawan pangan. Di sini kita melihat bahwa pangan telah direduksi menjadi beras, berikut program seperti swasembada pangan juga mengalami pereduksian menjadi swasembada beras.
Dari fenomen di atas, ada satu catatan penting yang mesti kita perhatikan sebelum melangkah lebih jauh untuk meyakinkan masyarakat agar mengkonsumsi pangan lokal. Pertama–tama kita mesti mengubah paradigma berpikir masyarakat kita bahwa pangan tidak hanya menyangkut beras tetapi juga mencakup semua pangan lokal seperti jagung, ubi, sagu, dan lain-lain. Oleh karena itu kita tidak perlu merasa risih bila mengkonsumsi pangan lokal yang dihasilkan dari tanah kita sendiri dan dari keringat kita sendiri. Bahkan, bila perlu pangan lokal juga diperkenalkan kepada publik tanpa terlalu banyak mengharapkan pengakuan akan keunggulannya. Tapi serentak dengan itu, kita mesti bangga dengan pangan lokal kita sendiri.
Lebih lanjut, Wakil Gubernur, Esthon Foenay pada kesempatan workshop hasil kajian pangan oleh lembaga-lembaga kemanusiaan PBB (WHO, FAO, WFP dan Care Internasional) bekerja sama dengan Badan Bimas Ketahanan Pangan Provinsi NTT, mengatakan, pemanfaatan pangan lokal perlu terus ditingkatkan sebagai salah satu solusi dalam memperkuat upaya ketahanan pangan. Berkaitan dengan hal ini, pemerintah NTT telah mengeluarkan kebijakan memantapkan ketahanan pangan melalui diversivikasi produksi dan konsumsi yang terfokus pada pemanfaatan potensi pangan lokal, seperti jagung dan umbi-umbian.
Mari kita ciptakan budaya mencintai pangan lokal dengan mengkonsumsinya. Kita tidak perlu merasa risih bila mengkonsumsi pangan lokal; justu sebaliknya kita semestinya malu bila tidak mengkosumsi pangan lokal sendiri karena sampai dengan isi perut kita pun ditentukan oleh orang lain. Saya yakin, semua kita tentu tidak mau dikatakan seperti itu. Adanya UU anti pornografi telah membuat kita merasa diusil karena budaya dan ruang privasi kita seakan dibongkar. Sebuah problem baru lagi akan muncul bila isi perut kita juga ditentukan oleh orang lain dengan beras, sarimi, atau berbagai jenis makanan instant lainnya yang diimpor dari luar negeri. Konsumsi pangan lokal sendiri: mengapa risih?

Khamis, 22 Oktober 2009

Suara Anak Negeri

Atel Lewokeda

I
Inflasi terpontang panting
Pedagang asongan
meninggalkan jejak terbirit-birit
Loper sembako kesepian
dalam onggokan barang-barang swalayan
pedagang kililing merayap menyusup
di atas kepingan barang-barang bekas
Si lintah darat menyelam teduh
merampas harta petani desa
Agen suara rakyat mencuci tangan
pada wadas tetesan keringan kaum tak bersuara

II
Katanya manusia beragama
Serunya beragama itu kebebasan
Nyatanya mereka mengatur agama
Beragama dalam kebebasan dan keterbelengguhan
hampir tak ada beda

Ungkapnya dosa itu wajar
Khilaf itu manusiawi
Dosa datang lalu hilang oleh tobat
Datang lagi, lalu hilang lagi
Tak pernah ada tanya kapan tidak datang lagi
Karena yang ada hanyalah tobat lagi

III
Datang dan pergi aktor Negara ini
Datang sesaat untuk merayu
Pergi seabad menikmati hasil

Pelaku senayan tergopoh-gopoh
Kelelahan di belakang meja biro
Membusung di atas tangga kemiskinan
Membelok pada tikungan gombal

Negeriku…negaraku
Negara ini milik kaum beruang
Kedamain hanya sahabat sang borjuis
Ketamakan langganan tetap akhir pekan



Ah…aktor itu
Datang dan pergi
Datang sesaat pergi seabad
Datang lalu pergi dengan segera
Tak pernah bermalam bersama yang kedinginan
Di atas dipan suara tak berdaya.


IV
Kita semua sama
Bukan lawan juga bukan musuh
Kita sesama, sama-sama hidup dan ada
Kita semua sedarajat
Kita semua sama tulisnya hari ini

Kita semua sama…
Pada duka tidak hanya
dalam suka
Saat derita tak cukup dalam tawa
Semenjak terluka hingga terobati

Semua kita sama
Terpatung pada cermin canda
Meski harus tergantung
Pada langit tragedi

Semua kita sama
Kita semua sama
Sama kita semua
Kita kawan bukan lawan
Kutilis itu pada dinding
bernama sesama
Atas nama sesama
Agar semua menjadi sama.


SYAIR SEORANG ATHEIS

Tuhan kekosongan
Jadi bahan tertawaan
Kata Tuhan sudah lenyap
percakapan dangan Tuhan hanya menjadi khayalam
Tuhan berseberangan dengan kebaikan
Setepi bersama kejahatan

Tuhan tragedi, rasional
Tuhan intelektual
Tuhan borjuis, patriarkat
Tuhan marginal
Tuhan orang-orang gila
Wajah Tuhan sudah hilang
Mana yang benar?? Ah..Tuhan membingungkan

a….k…..u punya Tuhan
dirinya ada segala yang dimiliki yang ada
dia ada tapi redup,suram
dia ada dekat sekali,
diriku dan dirinya hampir tak ada jarak
dia ada, ada dia, tidak hilang
tapi itu dulu.

Saat aku tidak tahu, dia bisa hilang
Dia mahal, bisa tidak ada
Dia milik mereka, milik kaum mimbar
Yang di pelataran altar
Mezbah itu jadi angker

Entah dimana sekarang
Ia hilang…hilang, lari dari diriku
Banyak manusia jadi gila
Karena tak seorang pun pernah menatap wajahnya

Banyak insan bicara sendiri dalam sepi dan kesendirian
Kidung-kidung lahir di pelosok katedra
Mereka semua jadi gila
Mereka mencari kekosongan
Tuhan tidak ada, hanya dia pernah ada
Sekarang dia hanya baying-bayang

Dia…Tuhan Kekosongan
Manusia gila karena
Dia hilang dalam bayang-bayang
***

PANGAN LOKAL; HARTA KARUN YANG TERPENDAM (Komentar Atas Terlantarnya Pangan Lokal Kita)

Paul Lamawitak

Dalam harian Kompas, juga Pos Kupang, sering muncul opini-opini yang membahas tentang masalah pangan lokal kita yang sedang dalam keadaan memprihatinkan. Banyak golongan masyarakat yang menaruh perhatian terhadap nasib pangan lokal kita. Beberapa tahun terakhir, kesadaran masyarakat akan adanya pangan lokal menjadi semakin tinggi. Mengapa? Selama bertahun-tahun, bangsa kita, yang katanya, menjadi penghasil tanaman pangan yang berkelimpahan masih saja mengimpor makanan. Ini hal yang cukup ironis. Ada kesan klasik, orang gengsi mengkonsumsi pangan lokal. Kita sebenarnya harus realistis dengan apa yang kita punyai dan hasilkan. Mengapa takut mengkonsumsi pangan lokal?

Ada cukup banyak penyebab yang mengharuskan para pengambil keputusan untuk mengimpor hasil pangan dari luar. Salah satunya adalah kepatuhan terhadap keputusan dalam forum perdagangan dunia seperti WTO. Indonesia menjadi salah satu negara yang amat mematuhi keputusan tersebut. Karena itu yang perlu dibenahi adalah sikap dan tindakan para pengambil keputusan tersebut.

Dalam sejarah Indonesia, para pendiri bangsa dan negara ini sudah menyadari betapa pentingnya pangan lokal itu. Usaha ke arah ketahanan pangan menjadi bukti bahwa pemerintah memperhatikan rakyatnya yang bermata pencaharian petani dan pedagang. Para petani kita akan menjadi terlantar dan akan terus terlantar jika pemerintah terus meningkatkan frekuensi impor. Dengan demikian, hasil para petani miskin akan dibeli dengan harga yang tak pantas.

Ihwal ketahanan pangan hendaknya kita, terutama, para pengambil keputusan perhatikan secara serius. Hal ini menyangkut hajat hidup orang banyak. Kesejahteraan rakyat hendaknya menjadi prioritas dalam setiap pengambilan keputusan. Bukan sebaliknya menjadi yang terakhir setelah kepentingan pribadi atau kelompok tertentu.

Banyak yang menjadi harapan tetapi sedikit yang menjadi kenyataan. Demikian pula yang terjadi atas diri para petani kita. Banyak yang mereka harapakan namun sedikit yang menjadi kenyataan. Kebijakan yang demikian berat sebelah telah menjadi pemicu terjadinya perebutan raskin atau sembako di mana-mana. Orang Indonesia, khususnya NTT masih „doyan“ mengkonsumsi beras dibanding pangan lokal seperti jagung dan umbi-umbian. Kita merasa malu jika makanan harian kita adalah umbi-umbian. Namun jika dilihat dari segi gizi, makanan lokal kita mempunyai nilai gizi yang tinggi.

Salah satu hal yang bisa dilakukan adalah menghentikan impor. Inilah langka berani yang harus diambil pemerintah agar pangan lokal kita menjadi semakin dekat di hati segenap warga negara Indonesia. Langkah berani ini hendaknya juga menjadi agenda penting pemerintah dan para wakil rakyat yang baru terpilih di beberapa daerah. Hanya dengan berjuang meningkatkan konsumsi pangan lokal, para petani miskin dapat dibantu, selain menumbuhkan kecintaan terhadap produk dalam negeri.

Impor yang terus dilakukan akan menambah beban dan utang negara. Bayangkan, setiap kali mengimpor pangan, biaya yang dikeluarkan bisa mencapai lebih dari Rp. 50 triliun. Jika hal ini terus dilakukan apa yang akan terjadi? Tentunya, rakyat miskin tetap menjadi miskin dan yang kaya tetap menjadi kaya. Hasil kebun para petani akan dibeli dengan harga rendah, tidak sebanding harga pangan impor. Seperti yang diungkapkan Posman Sibuea, saya juga menjadi pesimis dengan setiap program kesejahteraan yang dicanangkan pemerintah. Jika impor pangan masih terus dilakukan bukan tidak mungkin kita akan mengalami rawan pangan.

Masalah pangan adalah masalah mati hidupnya bangsa dan negara kita. Karena itu, hendaknya ada kepedulian yang serius dari pemerintah untuk mempertahankan pangan lokal kita agar tetap menjadi salah satu makanan yang dikonsumsi masyarakat umum. Kebijakan yang bijaksana adalah kebajikan yang tertinggi yang dipersembahkan kepada masyarakat. Kebijakan yang bajik adalah juga menyangkut keadilan dalam memperhatikan nasib setiap rakyat yang miskin.

Hal yang perlu dilakukan adalah menyadarkan masyarakat akan nilai gizi yang terkandung dalam setiap pangan lokal yang dikonsumsi. Selain mudah diperoleh, tidak membutuhkan pengeluaran yang banyak karena harga murah juga yang tidak kalah penting, mengandung nilai gizi yang tinggi.

Selain ketiga hal di atas, ada satu keuntungan lain, yakni dengan mengkonsumsi pangan lokal, kita membantu diri sendiri dan juga sesama. Kita dapat meningkatkan penghasilan lewat pemberdayaan pangan lokal itu. Orang tidak lagi membeli pangan lokal dengan harga murah tetapi membelinya dengan harga yang pantas. Hal yang sangat menguntungkan ini, mengapa tidak dilakukan? Pertanyaan untuk kita, para pencinta dan pejuang nasib kaum kecil: apakah kita juga berjuang untuk meningkatkan pangan lokal kita?

Kita harus sadar dan mengakui bahwa masyarakat NTT adalah masyarakat yang bermata pencaharian sebagai petani. Para petani kitapun masih menggunakan peralatan yang sederhana. Karena itu, yang harus diperhatikan adalah kerja sama yang baik antara pemerintah dan para petani. Para petani kita sudah berinisiatif untuk membentuk perhimpunan para petani, yang masing-masing daerah mempunyai namanya masing-masing. Ini menjadi salah satu titik terang. Para petani kita menjadi semakin mandiri dengan usaha-usaha kecil secara bersama-sama.

Kita hendaknya kian sadar bahwa sektor pertanian adalah sektor fital bagi seluruh perkembangan dan kemajuan di daerah kita. Kita tidak boleh menutup mata terhadap realitas hidup kita. Kita diharapkan menjadi orang yang tahu memanfaatkan apa yang sudah ada dan yang sedang kita miliki sekarang: ubi, jagung dan juga hasil perkebunan nonberas lainnya. Inilah pangan lokal yang paling dekat dengan kita.

Usaha yang dilakukan tidak sampai di situ. Hal lain yang perlu dilakukan adalah mengolah dan memproduksi pangan lokal secara baik agar bisa dinikmati setiap lapisan masyarakat: kaya maupun miskin.

Hal ini ditegaskan pula oleh Posman Sibuea dalam Kompas, 8 Agustus 2009. Produksi yang dimaksud adalah bagaimana kita mengolah setiap aset lokal kita. Jika dikelolah secara baik dan benar akan menghasilkan produk panen yang bisa diandalkan. Dengan demikian kita bisa mengangkat taraf hidup para petani miskin ke taraf yang lebih baik dan sejahtera.

Apa yang telah dipaparkan di atas hendaknya menjadi bahan acuan bagi kita untuk sejenak berefleksi tentang pentingnya pangan lokal yang menjadi tulang punggung bangsa dan negara kita. Mari kita tingkatkan pangan lokal kita, agar tidak menjadi harta karun yang terpendam. Sebaliknya, itulah harta yang bisa dimanfaatkan demi kesejahteraan kita semua.

***PaUluZ WiTAK***