Khamis, 29 Oktober 2009

"Main-main Kata Sadiki Dolo"

ALO : pAngan LOkal
ILO : Ikatan penjuaL Ondo
HAMA : Habis mAnis aMpas dimAkan
TKO : TuKang Ojek
FORCAM : FOrum peRebutan CAdangan Makanan
ALE : Aku Lemah-lemah lllllE……
TAMAK : Tak Ada Makan mAmpuslah Aku
OBED : Olee… BEsar Derita ee…
KARTU : KelApaRan Tanpa sesUatu
RAKUS : RAmbut KUSut
KECAP : KEnCAn Pertama
: KECelAkaan Perdana
KUMIS : Kumpulan ManusIa Sial
KORBAN : Kurangi pembORosAn Bahan makaNan
KEJO : KElaparan Jadi Objek
MD : Manusia Dugem
sapu : SarungkAnlah PedangmU brooo…
KKG : Kecil-Kecil mengGigit
MMR : Manusia-Manusia Reggae
KOS : Kurangi hOby Pesiar
KAE : Kamu Ada yang Enak ko…
TOKO : TObat Kerjain Obed..
KOPRA : Keluarga kOrban PRAsaan
KADO : KangkAng sadiki DOlo…
MAKE : MAnusia KEdelai
@@@c’d@@@
NAMA KAMU HARIMAU KAMU!?

Ama: Anak MAnja
CELO: CElana LOreng
EGAS: Ekspresi GenerAsi poSmodern
RUKE: peRkUmpulan KatakEtik
ELI: Ende Lio
: Ehm….Lirik-lIrik o….
TOI: Tampang tombOI
EJA: Ekspresi JAdul (Jaman Doeloe)
FIAN: teleFon si dIA sekaraNg
PAUL: tamPAng jadUL
CHA: Celananya HijAu la…
CIKAL: penCInta KAdaL
EGI: Emangnya Gue pIkirin
OCEP: Orangnya CakEP deh….
DIDI: Debar rIndu Desir angIn
: DIriku DIrimu
OBI: kelOmpok Bakar pIsang
TALIS: penganTAr beLIS
AIM: Anak alIM
:tAmpang IMam
: AntI Miras
GODI: GODain dIa donk…
: GOlongan penDIam
NANA: aNAk taNA
: teNAga daNsA
ATEL: mAnusia TELepon

Kembali ke Pangan Lokal

Charles DM

Warta agar kembali ke pangan lokal sedang gencar-gencarnya dikumandangkan di NTT. Oleh banyak pihak, di berbagai fora dan dalam aneka kesempatan, resonansi seruan tersebut dipertegas. Ada sejumlah alasan di baliknya.
Pertama, menggejalanya berasisasi. Beras menjadi makanan pilihan nomor satu yang menggeser posisi makanan lokal: ubi-ubian, jagung, kacang-kacangan, dll dari daftar menu harian masyarakat kita. Statistika nasional menunjukan, beras menempati 50% total konsumsi nasional. Sementara itu, masyarakat NTT termasuk dalam 96% penduduk Indonesia yang keranjingan beras ketimbang sumber pangan lainnya.
Tidaklah sulit menggarisbawahi kebenaran data tersebut. Variabel pengukur sederhana yang bisa dipilih, diantaranya, nilai rasa konsumsi masyarakat dan tingkat pemanfaatan lahan pertanian yang ada. Masyarakat kita lebih merasa prestisius dan afdol jika sari-sari karbohidrat diasup dari sajian bertangkup-tangkup nasi. Sebaliknya, akan terasa inferior jika mengkonsumsi makanan lokal. Lantas, tinggi-rendah derajat kesejahteraan masyarakat diindikasi oleh mampu-tidaknya mereka mengkonsumsi beras saban hari. Indikator beras-sentris ini dengan mudah mem-black list-kan masyarakat pro-pangan lokal sebagai khalayak kurang mampu lagi melarat.
Dengan semakin didorongnya beras sebagai sumber pangan dominan maka tingkat ketersediaan beras di gudang Bulog menentukan kondisi ketahanan pangan pada berbagai level masyarakat. Beras pun “dibaptis” menjadi barometer pembangunan ekonomi. Maka ketika kondisi ketidakamanan pangan terjadi, yang sesungguhnya mengemuka adalah soal defisit beras dan bukan defisit ketersediaan karbohidrat.
Ekses yang ditimbulkan dari pola pikir seperti ini akan dengan mudah ditebak. Mendapatkan beras adalah harga mati yang harus dibayar dari setiap perjuangan hidup. Selagi beras bisa didapat, ubi-ubian, jagung, dll terkubur dalam alam kelupaan.
Kondisi ini diperparah dengan fenomena beras miskin (raskin). Ketika pemerintah datang dengan derma raskin, masyarakat akan dengan senang hati memperpanjang daftar antrian. Nafas hidup mereka seakan hanya dapat diperpanjang oleh butir-butir beras murah apapun jenis dan kualitasnya. Mereka lupa akan lahan pertaniannya yang semakin langka ditumbuhi jagung, ubi-ubian, dll.
Adalah ironi jika NTT dengan 89% penduduk bermata pencaharian sebagai petani (79% diantaranya sebagai petani lahan kering dengan jagung sebagai tanaman utama) menjadi propinsi dengan tingkat konsumsi beras yang tinggi. Potensi pertanian lahan basah yang mencapai 262.407 hektar dengan lahan fungsional 127.208 hektar (48,48%) serta potensi lahan kering 1.525.258 hektar dengan luas fungsional 689.122 hektar (45,09%) hanya mendaftarkan masyarakat kita pada kelompok busung lapar serta gizi buruk dan dengan tingkat rawan pangan tinggi. (PK, 30/8/2009, hal. 14).
Kedua, ikhtiar kedaulatan pangan. Inilah salah satu cara membalikan keadaan masyarakat kita. Pertanyaan, mengapa harus kedaulatan pangan?
Kedaulatan pangan mengandung arti bahwa kita berhak mengolah sumber daya yang kita miliki. Kita tidak dapat menggantungkan masa depan kita semata-mata pada beras. Isidorus Lilijawa menjelaskannya dalam beberapa alasan (PK, 29/6/2009). Pertama, dengan kondisi alam yang kering, produksi padi bukanlah produksi andalan. Sekalipun bisa tetapi produksinya tidak mencukupi karena tidak semua orang di NTT memiliki sawah. Selain itu banyak areal persawahan di NTT yang tidak dikelola secara baik atau mengalami kekurangan air.
Kedua, karena produksi sendiri tidak mencukupi, maka pasokan beras dari luar tidak bisa dihindarkan. Masyarakat pun 'dididik' untuk berharap pada pasokan pangan dari luar, yang niscaya sangat bergantung pada fluktuasi pasar dan situasi (tekanan) politik. Itu berarti kita tidak bisa mandiri dalam memproduksi dan menyediakan pangan. Coba kita amati beras yang ada di pasar dan toko saat ini. Apakah itu beras dari Lembor, Mbay atau Oesao? Banyak kali kita mendapatkan beras itu justru dari Makasar, Jawa dan bahkan Thailand.
Ketiga, berasisasi mengharuskan petani kita menanam "hanya padi". Keharusan imperatif ini menempatkan petani kita sangat rentan terhadap dampak variasi musiman dan siklus tahunan yang tidak menentu; yang diperparah dengan serangan hama/penyakit lainnya. Kegagalan panen (padi) langsung berdampak pada kekurangan pangan yang berdampak langsung pada kelaparan. Untuk mengatasinya tidak ada cara lain, selain mendatangkan beras dari luar entah dalam bentuk beras murah atau beras miskin.
Dengan demikian kita mesti memanfaatkan lahan pertanian kita untuk memroduksi berbagai potensi makanan lokal. Ada banyak jenis umbi-umbian yang dibudidayakan di kampung-kampung kita. Ada juga hasil hutan berupa putak di Timor, ondo di Flores dan iwi di Sumba. Semuanya jika dikelola secara baik akan menghasilkan stok pangan yang cukup bagi masyarakat kita.
Untuk mencapai maksud tersebut rasa kepemilikan atas sumber daya alam perlu dipupuk. Agar masyarakat dapat berdaulat atas pangan maka perlu ada basis kesadaran untuk tidak menjual hak pengelolaan atas sumber daya yang kita miliki pada kekuatan lain. Kita tidak bisa membiarkan orang lain menentukan apa yang mesti kita tanam. Kita berhak menuai apa yang telah kita tabur di atas kebun-kebun kita. Di banyak tempat kita konversikan lahan pertanian kita untuk perkebunan. Lalu, kita “makan gaji” dari perkebunan. Gaji sebagai buruh tani tidak cukup untuk membeli rupa-rupa kebutuhan. Kita jatuh miskin di atas kelimpahan sumber daya kita. Kita diajarkan tanam ubi aldira melalui proyek, misalnya, tapi sawah-sawah kita tidak diolah dengan cara yang lebih baik. (FP, 1/8/2009)
Para pemimpin mesti prorakyat dan pangan lokal. Kebijakan yang ditempuh para stakeholders amat menunjukan pada posisi mana mereka berada: rakyat, diri mereka atau pihak asing (rekomendasi kebijakan dapat ditemukan dalam Kompas, 8/9/2009, hal.6). Cara hidup merekapun mencitrakan orientasi hidup mereka. Dengan berbagai regulasi, kucuran dana, input teknologi, dan teladan hidup diharapkan produksi pangan berbasis sumber daya lokal dapat didongkrak.
Akhirnya, kerja sama lintas elemen perlu dirajut. Para petani mesti merapatkan barisan, menggalang kekuatan bersama untuk memerangi segala bentuk tindakan dan kebijakan yang merampas kedaulatan mereka atas pangan. Para petani perlu membangun jejaring dengan organisasi-organisasi swasta dan pemerintah untuk mengakarkan program kembali ke pangan lokal.

Jangan Mau Jadi Manusia Instan

Chelo Tanik


Masalah pangan lokal menjadi suatu masalah yang penting. Hal ini berkaitan erat dengan hidup manusia.Menyikapi hal ini, pemerintah kemudian berpikir untuk membangun ketahanan pangan sehingga masyarakat Indonesia terhindar dari ketiadaan pangan. Di lain pihak pemerintah juga mencari jalan agar masyarakat Indonesia tidak menjadi “manusia instan” yang selalu menggantungkan harapannya pada barang-barang siap pakai. Jika tidak disikapi, mental seperti ini akan terus bertumbuh-kembang.

Senjata penangkal pangan
Karena kian merumitnya kondisi pangan di tanah air, pemerintah kemudian menciptakan senjata penangkal pangan.Senjata ini dibuat juga untuk menyikapi tingginya impor yang memakan biaya yang mahal serta terbentuknya masyarakat instan. Masyarakat Indonesia sekarang nampaknya lebih dikenal sebagai “manusia instan”. Artinya, masyarakat yang hanya mengkonsumsi barang-barang siap pakai. Kebanyakan barang-barang itu diimpor dari luar negeri. Kualitasnyapun sebenarnya sebanding dengan barang-barang produksi sendiri. Barang impor inilah yang menciptakan masyarakat bermental santai serta malas bekerja. Mereka hanya mengkonsumsi barang-barang yang sudah jadi.

Hal ini mendorong tekad Presiden terpilih Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) untuk mengurangi kegiatan impor dan memanfaatkan pangan lokal masyarakat Indonesia. Dalam masa pemerintahannya, SBY, menugaskan menteri pangan untul membangkitkan produksi pangan berbasis sumber daya lokal guna mewujudkan kedaulatan lokal. Acuannya, peraturan presiden Nomor 22 tahun 2009 terkait perencanaan, penyelenggaraan, dan evaluasi pengembangan diversifikasi pangan, dari sisi produksi maupun konsumsi. Dalam hal ini, diversifikasi menjadi “senjata penangkal” dalam upaya memutuskan rantai impor dan kembali ke pangan lokal. Ada 4 hal yang coba ditawarkan pemerintah, yakni: pertama, pengembangan pangan lokal yang kaya akan karbohidrat (singkong, ubi jalar, sukun, talas, sagu dan jagung). Kedua, pengembangan produksi pangan lokal dengan memperhatikan selera para pembeli/konsumen sehingga mereka juga merasa senang dan cinta akan


produksi sendiri. Ketiga, melibatkan industri pangan nasional dalam meningkatkan cita rasa dan citra makanan tradisional. Keempat, peningkatan produksi dan ketersediaan sumber pangan protein (ikan, ternak, kacang-kacangan) serta zat gizi mikro/ hortikultura (Kompas,08/09/ 2009).

Menyudahi kiat-kiat tersebut timbul sejumlah pertanyaan susulan: sudah sejauh mana pelaksanaannya? Apakah ini bisa menjamin perkembangan dan kestabilan pangan lokal?

Jawaban atas pertanyaan inilah yang perlu ditelusuri sekarang. Hemat saya ada satu hal yang perlu dibuat yakni membaca guratan di balik program pembagian beras miskin, beras murah, dll oleh pemerintah. Di satu pihak sikap pemerintah yang tdak tutup mata dan telinga dari jeritan dan keluhan dari masyarakat miskin terbaca jelas. Di sini, pemerintah mepraktekkan sikap saling membantu seperti yang tertera dalam mata pelajaran PPkn, atau agama. Inilah sikap terpuji yang harus ditiru. Namun di pihak lain, program yang dijalankan itu bisa membuat masyarakat menjadi “anak manja”. Mereka akan selalu berpikir, bantuan selalu ada, karenanya tidak perlu bekerja keras. Akibatnya, pangan lokal yang sebenarnya bisa diproduksi sendiri tidak mereka lakukan. Menurut mereka bantuan dari pemerintah adalah hak yang harus diperoleh.

Oleh karena itu, hal ini perlu dipertimbangkan lagi. Kalau saja masih mau dipertahankan, maka satu hal yang perlu dibuat adalah meminimalisasi frekuensi pemberian bantuan. Dengan demikian masyarakat masih mempunyai kesempatan untuk berusaha sendiri dalam mengisi kekurangan yang terjadi.

Akhirnya, untuk bisa berhasil dalam tugas, seseorang perlu mencintai pekerjaannya dan bekerja keras agar bisa mencapai hasil maksimal. Demikianpun kerja keras itu dibutuhkan untuk kembali ke pangan lokal. Rasa cinta terhadap produk lokalpun perlu dibangun. Makanan tradisional harus kembali diperkenalkan kepada anak-anak sejak dini dan kepada generasi muda sekarang. Sekali lagi, jangan mau menjadi “manusia instan” dan pencinta barang impor. Berbaliklah untuk mencintai produk daerah sendiri.

Pangan Lokal: Mengapa Risih?

Vianney Leyn

Pada kesempaan liburan beberapa waktu lalu, saya bertamu ke rumah tetangga yang adalah juga keluarga saya. Pada saat makan siang kami dijamu dengan menu beras yang dicampur dengan jagung, sayur rumpu rampe, dan ikan kering bakar. Sambil menghidangkan semuanya itu, dengan malu tuan rumah menguc¬apkan kata-kata ini: “No frater, jangan marah, kita makan hanya ini saja. Nasi kita kuning sekali”, (maksudnya karena sudah tercampur dengan jagung). Pengalaman yang sama dengan ungkapan yang sama pula kembali dilontarkan ketika sya berrtamu dan makan di ruma keluarga yang lain.
Ketika membaca beberapa berita dan opini tentang pangan lokal yang dilansir beberapa koran lokal (Pos Kupang dan Flores Pos) maupun nasional (Kompas), saya teringat akan pengalaman kecil di atas. Pengalaman tersebut menunjukkan bahwa masyarakat kita merasa rendah diri atau malu bila mengkonsumsi pangan lokal seperti jagung, ubi kayu, jagung titi atau pangan lokal lainnya; terlebih lagi jika pangan lokal itu dihidangkan untuk tamu. Hal ini disebabkan oleh kebiasaan masyarakat kita yang sering mengkonsumsi beras yang pada umumnya diimpor dari luar negeri.
Republik ini telah terjebak dalam sistem pangan impor yang amat mahal. Lebih dari Rp. 50 Triliun (setara 5,0% APBN) dihabiskan untuk mengimpor pangan (Posman Sibuea, Bangkitkan Pangan Lokal dalam Kompas, 08 September 2009). Pada titik ini muncul sebuah pertanyaan: apakah bangsa kita, Indonesia, terkhusus NTT, tidak bisa memproduksi beras sendiri atau pun pangan lokal lainnya? (Sementara itu sebanyak 89% penduduk NTT bermata pencaharian sebagai petani dengan 79% di antaranya sebagai petani lahan kering dengan jagung sebagai tanaman utama, Isidorus Lilijawa, Makan Pangan Lokal dalam Pos Kupang, Senin 29 Juni 2009). Dan menurut laporan Badan Bimas Ketahanan Pangan NTT, ketersediaan pangan lokal di NTT khusunya umbi-umbian hingga Juli 2009 mencapai 46,757 ton, sedangkan kebutuhan perbulan 3, 271 ton atau 14,3 ton. Data ini sesungguhnya mengungkapkan bahwa masyarakat NTT tidak miskin pangan lokal apalagi mendapat stigma “daerah rawan pangan”.
Menurut saya, ini merupakan sebuah kasalahan berpikir (logical fallacy) atau berani saya katakan sebagai sebuah kebodohan untuk orang-orang yang menyematkan stigma ini pada daerah NTT (bila orang NTT tidak begitu mudah menerima begitu saja stigma yang terkesan dipaksakan ini). Mengapa saya berani katakan bodoh? Apakah dapat dibenarkan dan dipertanggung jawabakan secara etis bila melihat sekelompok masyarakat mengkonsumsi ubi, jagung ataupun makanan lokal lainnya lantas itu dikatakan sebagai sebuah realitas rawan pangan? Kita mesti menukik lebih ke dalam untuk melihat apa sesungguhnya yang menjadi parameter suatu daerah dikatakan rawan pangan. Di sini kita melihat bahwa pangan telah direduksi menjadi beras, berikut program seperti swasembada pangan juga mengalami pereduksian menjadi swasembada beras.
Dari fenomen di atas, ada satu catatan penting yang mesti kita perhatikan sebelum melangkah lebih jauh untuk meyakinkan masyarakat agar mengkonsumsi pangan lokal. Pertama–tama kita mesti mengubah paradigma berpikir masyarakat kita bahwa pangan tidak hanya menyangkut beras tetapi juga mencakup semua pangan lokal seperti jagung, ubi, sagu, dan lain-lain. Oleh karena itu kita tidak perlu merasa risih bila mengkonsumsi pangan lokal yang dihasilkan dari tanah kita sendiri dan dari keringat kita sendiri. Bahkan, bila perlu pangan lokal juga diperkenalkan kepada publik tanpa terlalu banyak mengharapkan pengakuan akan keunggulannya. Tapi serentak dengan itu, kita mesti bangga dengan pangan lokal kita sendiri.
Lebih lanjut, Wakil Gubernur, Esthon Foenay pada kesempatan workshop hasil kajian pangan oleh lembaga-lembaga kemanusiaan PBB (WHO, FAO, WFP dan Care Internasional) bekerja sama dengan Badan Bimas Ketahanan Pangan Provinsi NTT, mengatakan, pemanfaatan pangan lokal perlu terus ditingkatkan sebagai salah satu solusi dalam memperkuat upaya ketahanan pangan. Berkaitan dengan hal ini, pemerintah NTT telah mengeluarkan kebijakan memantapkan ketahanan pangan melalui diversivikasi produksi dan konsumsi yang terfokus pada pemanfaatan potensi pangan lokal, seperti jagung dan umbi-umbian.
Mari kita ciptakan budaya mencintai pangan lokal dengan mengkonsumsinya. Kita tidak perlu merasa risih bila mengkonsumsi pangan lokal; justu sebaliknya kita semestinya malu bila tidak mengkosumsi pangan lokal sendiri karena sampai dengan isi perut kita pun ditentukan oleh orang lain. Saya yakin, semua kita tentu tidak mau dikatakan seperti itu. Adanya UU anti pornografi telah membuat kita merasa diusil karena budaya dan ruang privasi kita seakan dibongkar. Sebuah problem baru lagi akan muncul bila isi perut kita juga ditentukan oleh orang lain dengan beras, sarimi, atau berbagai jenis makanan instant lainnya yang diimpor dari luar negeri. Konsumsi pangan lokal sendiri: mengapa risih?

Khamis, 22 Oktober 2009

Suara Anak Negeri

Atel Lewokeda

I
Inflasi terpontang panting
Pedagang asongan
meninggalkan jejak terbirit-birit
Loper sembako kesepian
dalam onggokan barang-barang swalayan
pedagang kililing merayap menyusup
di atas kepingan barang-barang bekas
Si lintah darat menyelam teduh
merampas harta petani desa
Agen suara rakyat mencuci tangan
pada wadas tetesan keringan kaum tak bersuara

II
Katanya manusia beragama
Serunya beragama itu kebebasan
Nyatanya mereka mengatur agama
Beragama dalam kebebasan dan keterbelengguhan
hampir tak ada beda

Ungkapnya dosa itu wajar
Khilaf itu manusiawi
Dosa datang lalu hilang oleh tobat
Datang lagi, lalu hilang lagi
Tak pernah ada tanya kapan tidak datang lagi
Karena yang ada hanyalah tobat lagi

III
Datang dan pergi aktor Negara ini
Datang sesaat untuk merayu
Pergi seabad menikmati hasil

Pelaku senayan tergopoh-gopoh
Kelelahan di belakang meja biro
Membusung di atas tangga kemiskinan
Membelok pada tikungan gombal

Negeriku…negaraku
Negara ini milik kaum beruang
Kedamain hanya sahabat sang borjuis
Ketamakan langganan tetap akhir pekan



Ah…aktor itu
Datang dan pergi
Datang sesaat pergi seabad
Datang lalu pergi dengan segera
Tak pernah bermalam bersama yang kedinginan
Di atas dipan suara tak berdaya.


IV
Kita semua sama
Bukan lawan juga bukan musuh
Kita sesama, sama-sama hidup dan ada
Kita semua sedarajat
Kita semua sama tulisnya hari ini

Kita semua sama…
Pada duka tidak hanya
dalam suka
Saat derita tak cukup dalam tawa
Semenjak terluka hingga terobati

Semua kita sama
Terpatung pada cermin canda
Meski harus tergantung
Pada langit tragedi

Semua kita sama
Kita semua sama
Sama kita semua
Kita kawan bukan lawan
Kutilis itu pada dinding
bernama sesama
Atas nama sesama
Agar semua menjadi sama.


SYAIR SEORANG ATHEIS

Tuhan kekosongan
Jadi bahan tertawaan
Kata Tuhan sudah lenyap
percakapan dangan Tuhan hanya menjadi khayalam
Tuhan berseberangan dengan kebaikan
Setepi bersama kejahatan

Tuhan tragedi, rasional
Tuhan intelektual
Tuhan borjuis, patriarkat
Tuhan marginal
Tuhan orang-orang gila
Wajah Tuhan sudah hilang
Mana yang benar?? Ah..Tuhan membingungkan

a….k…..u punya Tuhan
dirinya ada segala yang dimiliki yang ada
dia ada tapi redup,suram
dia ada dekat sekali,
diriku dan dirinya hampir tak ada jarak
dia ada, ada dia, tidak hilang
tapi itu dulu.

Saat aku tidak tahu, dia bisa hilang
Dia mahal, bisa tidak ada
Dia milik mereka, milik kaum mimbar
Yang di pelataran altar
Mezbah itu jadi angker

Entah dimana sekarang
Ia hilang…hilang, lari dari diriku
Banyak manusia jadi gila
Karena tak seorang pun pernah menatap wajahnya

Banyak insan bicara sendiri dalam sepi dan kesendirian
Kidung-kidung lahir di pelosok katedra
Mereka semua jadi gila
Mereka mencari kekosongan
Tuhan tidak ada, hanya dia pernah ada
Sekarang dia hanya baying-bayang

Dia…Tuhan Kekosongan
Manusia gila karena
Dia hilang dalam bayang-bayang
***

PANGAN LOKAL; HARTA KARUN YANG TERPENDAM (Komentar Atas Terlantarnya Pangan Lokal Kita)

Paul Lamawitak

Dalam harian Kompas, juga Pos Kupang, sering muncul opini-opini yang membahas tentang masalah pangan lokal kita yang sedang dalam keadaan memprihatinkan. Banyak golongan masyarakat yang menaruh perhatian terhadap nasib pangan lokal kita. Beberapa tahun terakhir, kesadaran masyarakat akan adanya pangan lokal menjadi semakin tinggi. Mengapa? Selama bertahun-tahun, bangsa kita, yang katanya, menjadi penghasil tanaman pangan yang berkelimpahan masih saja mengimpor makanan. Ini hal yang cukup ironis. Ada kesan klasik, orang gengsi mengkonsumsi pangan lokal. Kita sebenarnya harus realistis dengan apa yang kita punyai dan hasilkan. Mengapa takut mengkonsumsi pangan lokal?

Ada cukup banyak penyebab yang mengharuskan para pengambil keputusan untuk mengimpor hasil pangan dari luar. Salah satunya adalah kepatuhan terhadap keputusan dalam forum perdagangan dunia seperti WTO. Indonesia menjadi salah satu negara yang amat mematuhi keputusan tersebut. Karena itu yang perlu dibenahi adalah sikap dan tindakan para pengambil keputusan tersebut.

Dalam sejarah Indonesia, para pendiri bangsa dan negara ini sudah menyadari betapa pentingnya pangan lokal itu. Usaha ke arah ketahanan pangan menjadi bukti bahwa pemerintah memperhatikan rakyatnya yang bermata pencaharian petani dan pedagang. Para petani kita akan menjadi terlantar dan akan terus terlantar jika pemerintah terus meningkatkan frekuensi impor. Dengan demikian, hasil para petani miskin akan dibeli dengan harga yang tak pantas.

Ihwal ketahanan pangan hendaknya kita, terutama, para pengambil keputusan perhatikan secara serius. Hal ini menyangkut hajat hidup orang banyak. Kesejahteraan rakyat hendaknya menjadi prioritas dalam setiap pengambilan keputusan. Bukan sebaliknya menjadi yang terakhir setelah kepentingan pribadi atau kelompok tertentu.

Banyak yang menjadi harapan tetapi sedikit yang menjadi kenyataan. Demikian pula yang terjadi atas diri para petani kita. Banyak yang mereka harapakan namun sedikit yang menjadi kenyataan. Kebijakan yang demikian berat sebelah telah menjadi pemicu terjadinya perebutan raskin atau sembako di mana-mana. Orang Indonesia, khususnya NTT masih „doyan“ mengkonsumsi beras dibanding pangan lokal seperti jagung dan umbi-umbian. Kita merasa malu jika makanan harian kita adalah umbi-umbian. Namun jika dilihat dari segi gizi, makanan lokal kita mempunyai nilai gizi yang tinggi.

Salah satu hal yang bisa dilakukan adalah menghentikan impor. Inilah langka berani yang harus diambil pemerintah agar pangan lokal kita menjadi semakin dekat di hati segenap warga negara Indonesia. Langkah berani ini hendaknya juga menjadi agenda penting pemerintah dan para wakil rakyat yang baru terpilih di beberapa daerah. Hanya dengan berjuang meningkatkan konsumsi pangan lokal, para petani miskin dapat dibantu, selain menumbuhkan kecintaan terhadap produk dalam negeri.

Impor yang terus dilakukan akan menambah beban dan utang negara. Bayangkan, setiap kali mengimpor pangan, biaya yang dikeluarkan bisa mencapai lebih dari Rp. 50 triliun. Jika hal ini terus dilakukan apa yang akan terjadi? Tentunya, rakyat miskin tetap menjadi miskin dan yang kaya tetap menjadi kaya. Hasil kebun para petani akan dibeli dengan harga rendah, tidak sebanding harga pangan impor. Seperti yang diungkapkan Posman Sibuea, saya juga menjadi pesimis dengan setiap program kesejahteraan yang dicanangkan pemerintah. Jika impor pangan masih terus dilakukan bukan tidak mungkin kita akan mengalami rawan pangan.

Masalah pangan adalah masalah mati hidupnya bangsa dan negara kita. Karena itu, hendaknya ada kepedulian yang serius dari pemerintah untuk mempertahankan pangan lokal kita agar tetap menjadi salah satu makanan yang dikonsumsi masyarakat umum. Kebijakan yang bijaksana adalah kebajikan yang tertinggi yang dipersembahkan kepada masyarakat. Kebijakan yang bajik adalah juga menyangkut keadilan dalam memperhatikan nasib setiap rakyat yang miskin.

Hal yang perlu dilakukan adalah menyadarkan masyarakat akan nilai gizi yang terkandung dalam setiap pangan lokal yang dikonsumsi. Selain mudah diperoleh, tidak membutuhkan pengeluaran yang banyak karena harga murah juga yang tidak kalah penting, mengandung nilai gizi yang tinggi.

Selain ketiga hal di atas, ada satu keuntungan lain, yakni dengan mengkonsumsi pangan lokal, kita membantu diri sendiri dan juga sesama. Kita dapat meningkatkan penghasilan lewat pemberdayaan pangan lokal itu. Orang tidak lagi membeli pangan lokal dengan harga murah tetapi membelinya dengan harga yang pantas. Hal yang sangat menguntungkan ini, mengapa tidak dilakukan? Pertanyaan untuk kita, para pencinta dan pejuang nasib kaum kecil: apakah kita juga berjuang untuk meningkatkan pangan lokal kita?

Kita harus sadar dan mengakui bahwa masyarakat NTT adalah masyarakat yang bermata pencaharian sebagai petani. Para petani kitapun masih menggunakan peralatan yang sederhana. Karena itu, yang harus diperhatikan adalah kerja sama yang baik antara pemerintah dan para petani. Para petani kita sudah berinisiatif untuk membentuk perhimpunan para petani, yang masing-masing daerah mempunyai namanya masing-masing. Ini menjadi salah satu titik terang. Para petani kita menjadi semakin mandiri dengan usaha-usaha kecil secara bersama-sama.

Kita hendaknya kian sadar bahwa sektor pertanian adalah sektor fital bagi seluruh perkembangan dan kemajuan di daerah kita. Kita tidak boleh menutup mata terhadap realitas hidup kita. Kita diharapkan menjadi orang yang tahu memanfaatkan apa yang sudah ada dan yang sedang kita miliki sekarang: ubi, jagung dan juga hasil perkebunan nonberas lainnya. Inilah pangan lokal yang paling dekat dengan kita.

Usaha yang dilakukan tidak sampai di situ. Hal lain yang perlu dilakukan adalah mengolah dan memproduksi pangan lokal secara baik agar bisa dinikmati setiap lapisan masyarakat: kaya maupun miskin.

Hal ini ditegaskan pula oleh Posman Sibuea dalam Kompas, 8 Agustus 2009. Produksi yang dimaksud adalah bagaimana kita mengolah setiap aset lokal kita. Jika dikelolah secara baik dan benar akan menghasilkan produk panen yang bisa diandalkan. Dengan demikian kita bisa mengangkat taraf hidup para petani miskin ke taraf yang lebih baik dan sejahtera.

Apa yang telah dipaparkan di atas hendaknya menjadi bahan acuan bagi kita untuk sejenak berefleksi tentang pentingnya pangan lokal yang menjadi tulang punggung bangsa dan negara kita. Mari kita tingkatkan pangan lokal kita, agar tidak menjadi harta karun yang terpendam. Sebaliknya, itulah harta yang bisa dimanfaatkan demi kesejahteraan kita semua.

***PaUluZ WiTAK***