Khamis, 29 Oktober 2009

Jangan Mau Jadi Manusia Instan

Chelo Tanik


Masalah pangan lokal menjadi suatu masalah yang penting. Hal ini berkaitan erat dengan hidup manusia.Menyikapi hal ini, pemerintah kemudian berpikir untuk membangun ketahanan pangan sehingga masyarakat Indonesia terhindar dari ketiadaan pangan. Di lain pihak pemerintah juga mencari jalan agar masyarakat Indonesia tidak menjadi “manusia instan” yang selalu menggantungkan harapannya pada barang-barang siap pakai. Jika tidak disikapi, mental seperti ini akan terus bertumbuh-kembang.

Senjata penangkal pangan
Karena kian merumitnya kondisi pangan di tanah air, pemerintah kemudian menciptakan senjata penangkal pangan.Senjata ini dibuat juga untuk menyikapi tingginya impor yang memakan biaya yang mahal serta terbentuknya masyarakat instan. Masyarakat Indonesia sekarang nampaknya lebih dikenal sebagai “manusia instan”. Artinya, masyarakat yang hanya mengkonsumsi barang-barang siap pakai. Kebanyakan barang-barang itu diimpor dari luar negeri. Kualitasnyapun sebenarnya sebanding dengan barang-barang produksi sendiri. Barang impor inilah yang menciptakan masyarakat bermental santai serta malas bekerja. Mereka hanya mengkonsumsi barang-barang yang sudah jadi.

Hal ini mendorong tekad Presiden terpilih Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) untuk mengurangi kegiatan impor dan memanfaatkan pangan lokal masyarakat Indonesia. Dalam masa pemerintahannya, SBY, menugaskan menteri pangan untul membangkitkan produksi pangan berbasis sumber daya lokal guna mewujudkan kedaulatan lokal. Acuannya, peraturan presiden Nomor 22 tahun 2009 terkait perencanaan, penyelenggaraan, dan evaluasi pengembangan diversifikasi pangan, dari sisi produksi maupun konsumsi. Dalam hal ini, diversifikasi menjadi “senjata penangkal” dalam upaya memutuskan rantai impor dan kembali ke pangan lokal. Ada 4 hal yang coba ditawarkan pemerintah, yakni: pertama, pengembangan pangan lokal yang kaya akan karbohidrat (singkong, ubi jalar, sukun, talas, sagu dan jagung). Kedua, pengembangan produksi pangan lokal dengan memperhatikan selera para pembeli/konsumen sehingga mereka juga merasa senang dan cinta akan


produksi sendiri. Ketiga, melibatkan industri pangan nasional dalam meningkatkan cita rasa dan citra makanan tradisional. Keempat, peningkatan produksi dan ketersediaan sumber pangan protein (ikan, ternak, kacang-kacangan) serta zat gizi mikro/ hortikultura (Kompas,08/09/ 2009).

Menyudahi kiat-kiat tersebut timbul sejumlah pertanyaan susulan: sudah sejauh mana pelaksanaannya? Apakah ini bisa menjamin perkembangan dan kestabilan pangan lokal?

Jawaban atas pertanyaan inilah yang perlu ditelusuri sekarang. Hemat saya ada satu hal yang perlu dibuat yakni membaca guratan di balik program pembagian beras miskin, beras murah, dll oleh pemerintah. Di satu pihak sikap pemerintah yang tdak tutup mata dan telinga dari jeritan dan keluhan dari masyarakat miskin terbaca jelas. Di sini, pemerintah mepraktekkan sikap saling membantu seperti yang tertera dalam mata pelajaran PPkn, atau agama. Inilah sikap terpuji yang harus ditiru. Namun di pihak lain, program yang dijalankan itu bisa membuat masyarakat menjadi “anak manja”. Mereka akan selalu berpikir, bantuan selalu ada, karenanya tidak perlu bekerja keras. Akibatnya, pangan lokal yang sebenarnya bisa diproduksi sendiri tidak mereka lakukan. Menurut mereka bantuan dari pemerintah adalah hak yang harus diperoleh.

Oleh karena itu, hal ini perlu dipertimbangkan lagi. Kalau saja masih mau dipertahankan, maka satu hal yang perlu dibuat adalah meminimalisasi frekuensi pemberian bantuan. Dengan demikian masyarakat masih mempunyai kesempatan untuk berusaha sendiri dalam mengisi kekurangan yang terjadi.

Akhirnya, untuk bisa berhasil dalam tugas, seseorang perlu mencintai pekerjaannya dan bekerja keras agar bisa mencapai hasil maksimal. Demikianpun kerja keras itu dibutuhkan untuk kembali ke pangan lokal. Rasa cinta terhadap produk lokalpun perlu dibangun. Makanan tradisional harus kembali diperkenalkan kepada anak-anak sejak dini dan kepada generasi muda sekarang. Sekali lagi, jangan mau menjadi “manusia instan” dan pencinta barang impor. Berbaliklah untuk mencintai produk daerah sendiri.

Tiada ulasan:

Catat Ulasan