Khamis, 22 Oktober 2009

PANGAN LOKAL; HARTA KARUN YANG TERPENDAM (Komentar Atas Terlantarnya Pangan Lokal Kita)

Paul Lamawitak

Dalam harian Kompas, juga Pos Kupang, sering muncul opini-opini yang membahas tentang masalah pangan lokal kita yang sedang dalam keadaan memprihatinkan. Banyak golongan masyarakat yang menaruh perhatian terhadap nasib pangan lokal kita. Beberapa tahun terakhir, kesadaran masyarakat akan adanya pangan lokal menjadi semakin tinggi. Mengapa? Selama bertahun-tahun, bangsa kita, yang katanya, menjadi penghasil tanaman pangan yang berkelimpahan masih saja mengimpor makanan. Ini hal yang cukup ironis. Ada kesan klasik, orang gengsi mengkonsumsi pangan lokal. Kita sebenarnya harus realistis dengan apa yang kita punyai dan hasilkan. Mengapa takut mengkonsumsi pangan lokal?

Ada cukup banyak penyebab yang mengharuskan para pengambil keputusan untuk mengimpor hasil pangan dari luar. Salah satunya adalah kepatuhan terhadap keputusan dalam forum perdagangan dunia seperti WTO. Indonesia menjadi salah satu negara yang amat mematuhi keputusan tersebut. Karena itu yang perlu dibenahi adalah sikap dan tindakan para pengambil keputusan tersebut.

Dalam sejarah Indonesia, para pendiri bangsa dan negara ini sudah menyadari betapa pentingnya pangan lokal itu. Usaha ke arah ketahanan pangan menjadi bukti bahwa pemerintah memperhatikan rakyatnya yang bermata pencaharian petani dan pedagang. Para petani kita akan menjadi terlantar dan akan terus terlantar jika pemerintah terus meningkatkan frekuensi impor. Dengan demikian, hasil para petani miskin akan dibeli dengan harga yang tak pantas.

Ihwal ketahanan pangan hendaknya kita, terutama, para pengambil keputusan perhatikan secara serius. Hal ini menyangkut hajat hidup orang banyak. Kesejahteraan rakyat hendaknya menjadi prioritas dalam setiap pengambilan keputusan. Bukan sebaliknya menjadi yang terakhir setelah kepentingan pribadi atau kelompok tertentu.

Banyak yang menjadi harapan tetapi sedikit yang menjadi kenyataan. Demikian pula yang terjadi atas diri para petani kita. Banyak yang mereka harapakan namun sedikit yang menjadi kenyataan. Kebijakan yang demikian berat sebelah telah menjadi pemicu terjadinya perebutan raskin atau sembako di mana-mana. Orang Indonesia, khususnya NTT masih „doyan“ mengkonsumsi beras dibanding pangan lokal seperti jagung dan umbi-umbian. Kita merasa malu jika makanan harian kita adalah umbi-umbian. Namun jika dilihat dari segi gizi, makanan lokal kita mempunyai nilai gizi yang tinggi.

Salah satu hal yang bisa dilakukan adalah menghentikan impor. Inilah langka berani yang harus diambil pemerintah agar pangan lokal kita menjadi semakin dekat di hati segenap warga negara Indonesia. Langkah berani ini hendaknya juga menjadi agenda penting pemerintah dan para wakil rakyat yang baru terpilih di beberapa daerah. Hanya dengan berjuang meningkatkan konsumsi pangan lokal, para petani miskin dapat dibantu, selain menumbuhkan kecintaan terhadap produk dalam negeri.

Impor yang terus dilakukan akan menambah beban dan utang negara. Bayangkan, setiap kali mengimpor pangan, biaya yang dikeluarkan bisa mencapai lebih dari Rp. 50 triliun. Jika hal ini terus dilakukan apa yang akan terjadi? Tentunya, rakyat miskin tetap menjadi miskin dan yang kaya tetap menjadi kaya. Hasil kebun para petani akan dibeli dengan harga rendah, tidak sebanding harga pangan impor. Seperti yang diungkapkan Posman Sibuea, saya juga menjadi pesimis dengan setiap program kesejahteraan yang dicanangkan pemerintah. Jika impor pangan masih terus dilakukan bukan tidak mungkin kita akan mengalami rawan pangan.

Masalah pangan adalah masalah mati hidupnya bangsa dan negara kita. Karena itu, hendaknya ada kepedulian yang serius dari pemerintah untuk mempertahankan pangan lokal kita agar tetap menjadi salah satu makanan yang dikonsumsi masyarakat umum. Kebijakan yang bijaksana adalah kebajikan yang tertinggi yang dipersembahkan kepada masyarakat. Kebijakan yang bajik adalah juga menyangkut keadilan dalam memperhatikan nasib setiap rakyat yang miskin.

Hal yang perlu dilakukan adalah menyadarkan masyarakat akan nilai gizi yang terkandung dalam setiap pangan lokal yang dikonsumsi. Selain mudah diperoleh, tidak membutuhkan pengeluaran yang banyak karena harga murah juga yang tidak kalah penting, mengandung nilai gizi yang tinggi.

Selain ketiga hal di atas, ada satu keuntungan lain, yakni dengan mengkonsumsi pangan lokal, kita membantu diri sendiri dan juga sesama. Kita dapat meningkatkan penghasilan lewat pemberdayaan pangan lokal itu. Orang tidak lagi membeli pangan lokal dengan harga murah tetapi membelinya dengan harga yang pantas. Hal yang sangat menguntungkan ini, mengapa tidak dilakukan? Pertanyaan untuk kita, para pencinta dan pejuang nasib kaum kecil: apakah kita juga berjuang untuk meningkatkan pangan lokal kita?

Kita harus sadar dan mengakui bahwa masyarakat NTT adalah masyarakat yang bermata pencaharian sebagai petani. Para petani kitapun masih menggunakan peralatan yang sederhana. Karena itu, yang harus diperhatikan adalah kerja sama yang baik antara pemerintah dan para petani. Para petani kita sudah berinisiatif untuk membentuk perhimpunan para petani, yang masing-masing daerah mempunyai namanya masing-masing. Ini menjadi salah satu titik terang. Para petani kita menjadi semakin mandiri dengan usaha-usaha kecil secara bersama-sama.

Kita hendaknya kian sadar bahwa sektor pertanian adalah sektor fital bagi seluruh perkembangan dan kemajuan di daerah kita. Kita tidak boleh menutup mata terhadap realitas hidup kita. Kita diharapkan menjadi orang yang tahu memanfaatkan apa yang sudah ada dan yang sedang kita miliki sekarang: ubi, jagung dan juga hasil perkebunan nonberas lainnya. Inilah pangan lokal yang paling dekat dengan kita.

Usaha yang dilakukan tidak sampai di situ. Hal lain yang perlu dilakukan adalah mengolah dan memproduksi pangan lokal secara baik agar bisa dinikmati setiap lapisan masyarakat: kaya maupun miskin.

Hal ini ditegaskan pula oleh Posman Sibuea dalam Kompas, 8 Agustus 2009. Produksi yang dimaksud adalah bagaimana kita mengolah setiap aset lokal kita. Jika dikelolah secara baik dan benar akan menghasilkan produk panen yang bisa diandalkan. Dengan demikian kita bisa mengangkat taraf hidup para petani miskin ke taraf yang lebih baik dan sejahtera.

Apa yang telah dipaparkan di atas hendaknya menjadi bahan acuan bagi kita untuk sejenak berefleksi tentang pentingnya pangan lokal yang menjadi tulang punggung bangsa dan negara kita. Mari kita tingkatkan pangan lokal kita, agar tidak menjadi harta karun yang terpendam. Sebaliknya, itulah harta yang bisa dimanfaatkan demi kesejahteraan kita semua.

***PaUluZ WiTAK***





















Tiada ulasan:

Catat Ulasan