Khamis, 12 November 2009

“Lupa-lupa Ingat” Budaya Bangsa Kita

Rukhe Woda

Bangsa Indonesia mungkin lupa ketika Presiden Soekarno memutuskan hubungan diplomatik secara sepihak dengan pemerintahan Sebuah slogan, ”Ganyang Malaysia” pun dicetuskan sebagai bentuk nasionalisme terhadap bangsa.. Bangsa Indonesai juga mungkin sedang ‘pikun’ untuk mengingat kembali dua pulau, ipadan dan Sigitan, yang diambil alih oleh Malaysia enam tahun silam. Dan sekarang ketika pemutilasian budaya yang dilakukan Malaysia kian menjadi-jadi, semuanya kembali teringat akan sejarah kelam itu.
Kita toh tidak melulu mempersalahkan Malaysia sebagai biang keladinya tetapi adalah lebih baik jika kita tanyakan ke dalam diri kita terlebih dahulu sejauh mana kita telah menjaga dan melestarikan budaya bangsa kita. Ketika ada pengklaiman budaya dari negeri tetangga, semua ingatan dan kesadaran tentang kepemilikan mulai muncul kembali. Apakah bangsa kita sedang mengidap sindrom “lupa-lupa ingat” a la Kuburan Band? Ataukah ini justifikasi atas tesis bahwa masalah kita adalah sulitnya mempertanggungjawabkan memoria, ingatan (Edy Kristianto, Sakaramen Politik, 2008)?
Lupa adalah gerakan tidak sadar. Leo Tolstoy dalam Diary (1897) menulis, jika kehidupan berlalu tanpa disadari, kehidupan itu tidak pernah terjadi. Secara psikologis lupa adalah peristiwa yang menyusup dalam arus kesadaran sehingga ada di luar kendali. Sementara itu Edmuns Husserl, seorang yang pertama kali mengembangkan metode fenomenologi, melihat, saat peristiwa lupa berlalu, kesadaran pun melakukan refleksi. Hasil refleksi memutuskan bahwa kejadian sebelumnya telah melupakan sesuatu. Keputusan lupa adalah produk sadar, sedangkan peristiwa lupa itu kejadian di luar sadar.
Dalam kajian antropologis terungkap sebuah ritus yang dijalankan dengan tingkat duplikasi yang tinggi dari waktu ke waktu yakni gerakan sadar untuk melawan lupa. Dalam perspektif kebudayaan, pelestarian tradisi pada zaman yang terus berubah bukan melawan perubahan, tetapi melawan diri sendiri agar tidak lalai. Di sinilah letak permasalahan yang dialami oleh bangsa Indonesia. Kita lemah dalam menjaga dan melestarikan budaya kita sendiri.
Hemat saya ada tiga indikator yang menunjukkan dengan jelas bahwa bangsa kita sekarang sedang “lupa-lupa ingat” terhadap budaya sendiri. Pertama, Indonesia sudah menjadi bangsa pelupa yang mudah sekali melupakan dan menenggelamkan sesuatu dalam dunia keterlupaan. Dalam kaitannya dengan polemik budaya yang sekarang sedang terjadi, bangsa Indonesia cukup merasa risih ketika orang mengatakan bahwa Indonesia hanya memiliki masa lalu tetapi tidak memliki masa depan (Bdk. Kompas, 7 September 2009). Pernyataan ini terkesan amat miris jika ditafsir lebih jauh. Hemat saya, memiliki masa lalu tetapi tidak memiliki masa depan sama dengan menenggelamkan separuh masa lalu. Masa lalu tidak lagi menjadi “the best teacher” bagi kita untuk membangun masa depan.
Kedua, kelupaan akan budaya bangsa nampak dalam ketidaktegaran dan ketidaktegasan untuk menyelesaikan persoalan yang mencuat di negeri ini. Indonesia menjadi ruang yang sesak dan pengap oleh kompleksitas persoalan yang tidak bisa sama sekali atau belum sepenuhnya dituntaskan. Karena itu ketika Malaysia pertama kali mengklaim produk budaya kita sebagai milik mereka, bangsa kita masih ‘adem-ayem’ untuk menanggapinya. Barulah belakangan muncul banyak gerakan melawan aksi brutal Malaysia termasuk beberapa stasiun TV Indonesia mulai dengan iklan pelestarian produk budaya bangsa.
Ketiga, kelupaan budaya Indonesia ditandai pula oleh ketidaksanggupan (impotensi) untuk memproduksi para pemimpin, pejabat publik yang memiliki sensitivitas terhadap kepentingan budaya. Kita butuh pemimpin yang berpegang teguh pada prinsip-prinsip nasionalisme. Pengalaman kekalahan di mahkamah internasioanal atas kedua pulau, Sipadan dan Sigitan, merupakan indikasi ketidaksanggupan para pemimpin dalam menyelesaikan masalah.
Meskipun demikian kelupaan terhadap budaya bangsa Indonesia ini merupakan persoalan bangsa yang meminta penyembuhan dan penanganan yang serius dari kita semua yang menanamkan diri sebagai anak-anak bangsa. Penanganan yang serius berarti berangkat dari pluralitas peran dan tanggung jawab, yakni dari rakyat melalui partisipasi dan kontrol yang kuat terhadap para pejabat publik dan setiap kebijakan yang diambil. Atau juga dari pejabat publik lewat mengembangkan amanat dan aspirasi rakyat yang ia wakili dengan penuh tanggung jawab. Penanganan yang demikian memungkinkan Indonesia kembali berdiri tegak bak seorang anak muda yang tengah melangkah, menyongsong hari esok Indonesia baru sembari membuang jauh-jauh kebiasaan kita untuk “lupa-lupa ingat” terhadap budaya kita sendiri.
Ruke

Tiada ulasan:

Catat Ulasan