Isnin, 8 Februari 2010

PERKAWINAN MATRILINEAL : BENTUK PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA SECARA KASAT MATA

Egi Binsasi

Setiap daerah memiliki kebudayaannya sendiri dan berbeda dengan kebudayaan dari daerah yang lain. Meskipun memiliki kesamaan dalam beberapa hal, namun tetap saja berbeda karena mengandung esensi dan corak penghayatan kebudayaan yang berbeda dari masyarakat yang menghidupinya. Karena itu setiap kebudayaan memiliki kekhasan tersendiri yang menjadikannya unik, dan memiliki nilai yang luhur dalam kehidupan suatu masyarakat yang menjalankan atau menghayatinya dalam kehidupan harian mereka.
Sistim perkawinan merupakan bagian yang tidak terpisah dari kebudayaan itu sendiri karena merupakan bagian dalam kehidupan masyarakat. Perkawinan merupakan sesuatu yang luhur karena perkawinan merupakan suatu bentuk dari interaksi manusia sebagai laki-laki (suami) dan perempuan (isteri) yang diakui hubungannya berdasarkan hukum atau peraturan yang berlaku. Perkawinan pada umumnya terjadi pada orang yang berbeda jenis kelaminya (heteroseksual). Perkawinan mengandung dalam dirinya tujuan mulia seperti untuk memiliki keturunan (biologis), menjaga status sosial (sosiologis), dan persatuan yang lengkap untuk memuja arwah leluhur (religius).
Pada umumnya sistim perkawinan di seluruh daerah pada umumnya dan Nusa Tenggara Timur pada khususnya memiliki dua model sistim perkawinan. Ada sistim perkawinan yang hanya memperhitungkan hubungan kekerabatan melalui garis keturunan perempuan (ibu) sehingga semua kaum kerabat ibu termasuk di dalam batas kekerabatan ini,sedangkan semua kerabat ayah berada di luar batas ini. Disebut juga Matrilineage System. Selain itu ada juga Sistem perkawinan yang memperhitungkan hubungan kekerabatan melalui garis keturunan laki-laki/ayah, sedangkan kaum kerabat ibu berada di luar batas ini atau disebut juga Patrilineage System.
Dalam tulisan ini penulis akan mencoba meneropong beberapa hal yang dianggap sebagai bentuk pelanggaran hak asasi manusia dalam sistim perkawinan matrilineal dalam kebudayaan masyarakat Belu Selatan (Kabupaten Belu - Timor) tanpa disadari oleh semua orang/kasat mata dan menganggapnya sebagai sesuatu yang lumrah. Masyarakat Belu Selatan menganut sistim perkawinan matrilineal yang dengan tegas menyatakan bahwa keturunan akan dihitung berdasarkan garis keturunan ibu, sedangkan laki-laki dianggap sebagai orang pinggiran atau kelas dua dalam tatanan masyarakat tersebut. Ada beberapa hal yang dapat dikategorikan sebagai bentuk pelanggran terhadap HAM kaum laki-laki. Bentuk-bentuk pelanggaran itu sebagai berikut:
Pertama, tentang keturunan. Suatu bentuk ketidakadilan/pelanggaran HAM kaum laki-laki terjadi di sini. Sewaktu isteri masih hidup, maka seluruh anak-anak merupakan hak milik dari isteri dan keluarga besar sang isteri dan laki-laki tidak berhak mengklaim anak-anak sebagai kepunyaannya dan keluarga besarnya. Namun apabila sang isteri meninggal dunia dan memiliki beberapa anak, maka sang suami/laki-laki dan keluarga besarnya hanya berhak memiliki satu orang anak saja dari keseluruhan anak yang dimiliki bersama tersebut.
Kedua, tentang hubungan dengan kerabat sang isteri. Sistim matrilineal yang berlaku di dalam masyarakat setempat tidak memberikan peluang bagi adanya belis, laki-laki tidak menanggung belis apapun ketika melamar sang gadis yang kemudian akan menjadi isterinya itu. Meskipun demikian, sebagai Mane Maktama (sebutan adat bagi laki-laki yang menikah dengan perempuan Belu Selatan) memiliki kewajiban untuk membiayai seluruh adik iparnya terutama yang masih bersekolah hingga selesai. Tidak terbatas pada itu saja, mane maktama memiliki tanggungannya tersendiri dalam acara-acara adat lain seperti tanggungan dalam upacara kematian, pernikahan, maupun acara-acara lain. Dalam kaitannya dengan hal, kita dapat mengatakan bahwa laki-laki mengalami suatu bentuk pelanggaran HAM secara halus karena seumur hidupnya dibaktikan bagi isteri dan keluarga besar isterinya.
Ketiga, mengenai harta. Setelah menikah dengan anak gadis mereka, maka keluarga besar dalam hal ini orang tua memberikan sejumlah harta benda yang pada umumnya berupa tanah (kebun, sawah, maupun padang) menjadi milik anak gadis mereka. Tugas laki-laki adalah mengelolah, dan mengembangkanya sehingga dari tanah tersebut kedua pasangan dapat hidup. Perlu diingat bahwa apabila usaha dari laki-laki berhasil yang kemudian mendatangkan banyak harta-harta lain, maka semuanya itu dianggap sebagai harta isteri, anak perempuan, dan keluarga besar sang isteri. Di sini usaha dari laki-laki hanya dipandang sekedarnya saja meskipun disertai dengan apresiasi yang tinggi.
Keempat, mengenai hubungan sebagai suami-isteri. Dalam kehidupan berkeluarga selalu saja ada problem/masalah yang kerap datang meskipun tidak dikehendaki, percecokan bahkan perkelahian menjadi sesuatu yang kadang menghiasi kehidupan rumah tangga yang menjadikannya khas dan unik serta indah dalam kehidupan suami-isteri. Namun, menjadi tidak adil apabila terjadi pelanggaran terhadap HAM salah satu pasangan tersebut karena salah satu pasangan tersebut dihakimi berdasarkan tata aturan adat matrilineal yang dianut oleh masyarakat sampai berujung pada besarnya sanksi atau denda yang tidak sedikit pada laki-laki.
Keempat konflik di atas kerap terjadi dalam kehidupan sebuah keluarga yang berada di bawah payung sistim perkawinan matrilineal bahkan merupakan menu pokok yang selalu ada di sekitar kehidupan kita. Meskipun demikian, menu utama dapat direduksikan dengan adanya suatu pemahan bersama yang baik dan benar dari semua pihak baik itu dari pihak laki-laki, perempuan, maupun dari keluarga besar perempuan. Karena itu ada beberapa jalan keluar yang dianjurkan berdasarkan persoalan-persoalan di atas sebagai berikut.
Pertama. Memiliki kesamaan konsep mengenai anak. Keturunan/anak-anak merupakan sebuah anugerah yang terindah bagi setiap pasangan suami-isteri karena merupakan hasil dari daya kreasi manusia berdasarkan kemampuan yang diberikan oleh Tuhan. Karena itu, anak-anak merupakan hadiah yang diberikan oleh Tuhan sebagai milik keduapasangan dan kerabat/keluarga besar dari kedua belah pihak. Salah satu pihak tidak saling mengklaim haknya atas apa yang seharusnya menjadi milik bersama sehingga tidak terjadi pelanggaran HAM di sana.
Kedua. Adanya sikap keterbukaan kedua belah pihak. Setiap pasangan yang telah resmi secara adat, agama, dan hukum menjadi pasangan suami-isteri merupakan anggota baru dalam masyarakat yang secara mantap dan otonom berdiri sendiri. Fokus utama kedua pasangan tersebut adalah terpenuhinya kebutuhan jasmani dan rohani kebutuhan keluarga tersebut. Memang tidak menutup kemungkinan untuk membantu keluarga besar masing-masing seperti membiayai saudara/i ipar yang sedang bersekolah, maupun yang lainnya tetapi harus sepengetahuan kedua pasangan tersebut serta adil terhadap kedua keluarga besar mereka. Semuanya dilakukan demi kebahagiaan sesama pasangan dan keluarga besar. Tetapi perlu diingat bahwa usaha membantu keluarga bukanlah menjadi fokus kedua pasangan, melainkan keluarga yang baru mereka bentuk itulah fokus dari kedua pihak masing-masing.
Ketiga. Menjadi sesuatu yang lumrah bila orang tua memberikan pembagian harta pada anak-anaknya untuk selanjutnya dikelolah dan mendatangkan hasil bagi mereka sendiri. Tetapi adalah sesuatu yang egois bila keberhasilan dari usaha anak-anak diklaim menjadi milik yang nantinya harus diserahkan pada orang tua. Demikian pula halnya dengan problem harta bagi anak dalam sistim matrilineal. Jika demikian menjadi adil apabila orang tua juga harus mengakui kebangkrutan yang dialami anak-anaknya dan kemudian menopang dia untuk bangkit, maju, dan berjuang kembali. Keluarga besar dari kedua pasangan tersebut harus memperhatikan hal ini karena kebahagiaan kedua pasangan merupakan suatu torehan tinta emas pada buku keluarga besar masing-masing yang menjadi sumbangan berharga bagi masyarakat.
Keempat. Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) telah menjadi sesuatu yang lumrah dalam kehidupan berkeluarga dan pada umumnya pasangan suami isteri dapat mengatasinya secara baik, benar, dan happy ending. Setiap masalah yang dihadapi telah menempa pasangan suami isteri menjadi kokoh dan murni bagaikan emas murni yang keluar dari proses pembakaran. Karena itu kesamaan konsep, pandangan, keterbukaan, dan saling pengertian menjadi penting yang membuat keduapasangan bukan sekedar ada bersama, melainkan kehadiran bersama itu dimaknai terus untuk menhgarah pada kehidupan yang bahagia.
Sebagai akhir dari pandangan ini, sistim perkawinan matrilineal bukanlah in se buruk melainkan juga memiliki beberapa bentuk pelanggaran HAM yang dilakukan secara halus dalam kehidupan sosial kita. Demikian pula dengan sistim perkawinan yang lainnya juga memiliki hal yang sama di mana pelanggaran HAM sering kita lakukan dan praktikan dalam hidup bersama tanpa kita sadar bahwa kita telah melakukan pelanggaran HAM sesama kita. Tak ada gading yang tak retak, tidak ada manusia yang tidak pernah membutuhkan air meyakinkan kita untuk memperbaharui dan bukannya merubah kebudayaan yang kita miliki, melainkan mengembangkannya dan menjadikan kebudayaan kita semakin humanis di tengah situasi dunia yang terus berubah. Kita mampu, kita bisa, Indonesia Bisa. HIDUP HAK ASASI MANUSIA !!!

Tiada ulasan:

Catat Ulasan