Isnin, 8 Februari 2010

POLANTAS : ANTARA PERASAAN DAN HUKUM (ANALISA TERHADAP PENILANGAN YANG TERJADI)

Egas Foni

Salah satu tanda yang menunjukkan adanya perkembangan dunia adalah adanya kendaraan. Dahulu kala orang-orang bepergian hanya dengan berjalan kaki, ada juga yang menggunakan jasa kuda. Dengan adanya penemuan mesin, maka muncullah jenis-jenis kendaraan yang didesain seperti sekarang ini. Di kampung- kampung yang udik sekalipun kini bisa dijangkau dengan kendaraan sepeda motor. Di kota-kota bukan saja hanya sepeda motor yang ada tetapi juga kendaraan seperti mikrolet, bus, Kijang inova dan masih banyak lagi jenis kendaraan yang semakin elit yang terkadang oleh sebagian orang mengungkapkan keterpanahannya akan kendaraan tersebut hanya dengan berdecak kagum. Sungguh luar biasa dunia kini penuh dengan jenis-jenis kendaraan transportasi.
Kemajuan dalam bidang transportasi ini membawa dampak yang menguntungkan sekalipun juga mendatangkan kerugian. Keuntungannya yaitu mempermudah, memperlancar dan mempercepat untuk bepergian dari satu tempat ke tempat lain. Masyarakat pedesaan yang mau menjual hasil kebunnya kini dengan mudah membawa ke kota. Orang yang mau ke Jakarta atau Surabaya cuma membutuhkan waktu satu atau dua jam untuk tiba di tempat tersebut dengan menggunakan pesawat terbang. Adapun kerugian yang ditimbulkan dengan adanya kemajuan dalam bidang transportasi yakni kalau semakin banyak kendaraan maka akan sering terjadi kecelakan , kemacetan, asap-asap kendaraan bermotor akan menimbulkan polusi udara, dan dampak lanjutnya yaitu lapisan ozon akan semakin tipis dan pada akhirnya berdampak pada pemanasan global.
Dengan bertambahnya jumlah kendaraan di suatu daerah maka untuk mengatasi arus lalu lintas agar dapat lancar dan aman diperlukan bantuan dari pihak kepolisian yang bertugas dalam bidang lalu lintas atau yang lebih dikenal sebagai Polantas (Polisi lalu Lintas). Seorang Polantas mempunyai tugas utama dalam pengaturan arus lalu lintas di daerah di mana dia bertugas. Ia berkewajiban untuk mengamankan dan memperlancar arus lalu lintas terutama terhadap para pengendara kendaraan bermotor dan para pejalan kaki yang mau menyebrang. Tentang penyebrangan untuk para pejalan kaki dari pihak polantas telah menyediakan tempat yang harus digunakan yaitu Zebra Cross. Terkadang yang menjadi masalah dalam penyebrangan ialah para pejalan kaki tidak menggunakan jalur yang telah disediakan, mereka lebih cendrung membuat Zebra Cross sesuka hati pada jalan-jalan umum. Tak heran sering terjadi kecelakaan yang berujung pada kematian atau juga sering terjadi tabrak lari dan ini yang sering membuat pihak kepolisian pusing kepala untuk mencari pelaku penabrakan. Untuk mereka yang menggunakan kendaraan bermotor dari pihak polantas telah membuat rambu-rambu yang jelas. Yang menjadi masalah yaitu para pengendara kendaraan bermotor sering tidak mempedulikan apa yang telah ditetapkan dan dibuat oleh pihak polantas.
Adanya pengendara kendaraan bermotor yang tidak mempedulikan aturan lalu lintas maka dari pihak polentas sering mengadakan tindakan pengamanan dan penertiban. Penertiban yang sering dilakukan oleh masyarakat pada umumnya dikenal dengan sebutan tilang yang sebenarnya kepanjangan dari Bukti Pelanggaran. Tilang lebih akrab diartikan sebagai usaha dari Polantas untuk menertibkan para pengendara kendaraan bermotor yang tidak disiplin. Dalam penilangan para Polantas selalu mengecek kelengkapan surat-surat seperti SIM (Surat Ijin Mengemudi), STNK (Surat Tanda Nomor Kendaraan) dan kelengkapan alat-alat kendaraan seperti kaca spion, lampu, dan knal pot. Bagi si pengendara yang kelengkapannya kurang maka motornya akan “disita” atau ditahan. Sedangkan mereka yang kelengkapan motornya lengkap akan dibiarkan melanjutkan perjalanannya.
Dalam tulisan ini permasalahan yang mau diangkat ialah soal keadilan yang tunjukkan oleh pihak Polantas dalam melakukan penilangan. Sering dalam penilangan, hemat saya ada pendiskriminasian perlakuan terhadap pengendara kendaraan bermotor. Orang yang dikenal oleh Polantas sering dibebaskan begitu saja sedangkan mereka yang tidak dikenal diberikan surat penilangan dan untuk mengambil kendaraan mereka yang telah ditahan harus membawa uang tebusan sebesar pelanggaran yang dilanggar. Aturan sekarang katanya untuk satu kesalahan harus ditebus dengan uang sebesar Rp.50.000. Jika seorang yang melanggar aturan tidak memiliki SIM, tidak menggunakan helm, tidak menggunakan kaca spion dan menggunakan knalpot yang tidak dianjurkan, maka konsekuensinya harus menebus dengan uang sebesar Rp.200.000 karena telah melanggar empat(4) aturan. Bayangkan saja seandainya yang ditilang berjumlah 20 orang sehari dengan paling kurang satu (1) pelanggaran, berapa jumlah uang yang diperoleh pihak Polantas selama sebulan, setahun dan dua tahun. Sungguh ironis, hukum dapat diuangkan.
Kembali ke persoalan pendiskriminasian dalam penilangan, hemat saya yang menjadi alasan pendiskriminasian ini yakni soal perasaan. Seorang Polantas merasa tidak enak jika harus menahan pengendara yang nota bene adalah temannya, orang tuanya, saudarinya, kenalannya ataupun rekan polisi-nya. Idealnya seorang yang melanggar aturan harus dikenai sangsi. Tetapi bagaimana dengan keadaan yang terjadi di propinsi Nusa Tenggara Timur ini, rupanya pandangan tersebut belum sepenuhnya dijalankan. Pengkotak-kotan perlakuan terhadap pelanggar aturan adalah suatu pelanggaran hak asasi manusia. Mengapa demikian? Karena semua manusia adalah sama dihadapan hukum (lihat, UUD 1945 pasal 28). Jika penegak hukum membuat pengkotak-kotakan terhadap pelanggar hukum berarti ia sebenarnya telah merendahkan martabat orang lain. Ia melihat adanya perbedaan martabat manusia padahal semua manusia pada hakekatnya sama dihadapan Sang Pencipta.
Karena itu, yang harus diperhatikan oleh Para Polantas ialah dalam penertiban para pengguna kendaraan bermotor hendaknya aspek keadilan benar-benar ditegakkan. Soal keadilan dan kebenaran bukanlah diselesaikan dengan perasaan tetapi dengan hukum yang berlaku. Hukum pada hakekatnya mengarah pada kebaikan bersama, sehingga salah jika ada anggapan dalam diri seorang Polantas bahwa saya bersalah bila menertibkan orang yang melanggar aturan yang nota bene dekat dengan saya. Jika saya berperasaan kepada orang yang dekat dengan saya, mengapa orang lain tidak? Inikan perbuatan yang menunjukan bahwa saya tidak adil dan tidak menghargai hak asasi manusia. Di manakah jati diri saya sebagai penegak hokum, jika dalam realisasinya saya melayukan hukum.

Tiada ulasan:

Catat Ulasan