Olu Tefa
LEDALERO !!! Sebuah nama yang menggetarkan sukma, mengulum kelabu hati, serentak memancarkan keteduhan bagi jiwa yang saat nama itu terucap di bibir nan kerontang.
Nama itu, Ledalero, serasa menyemat misteri kekuatan cinta dalam balutan aura kasih yang perlahan menyentuh inti diri manusia-manusia pengembara. Jiwa-jiwa telanjang merasa malu mengumbar nama itu dalam ingatan sekalipun walau secercah harapan tetap terpahat di sudut-sudut hatinya sembari bermimpi di akhir ceritera pilu, nama itu boleh menebar kasih bukan dalam pelukan mimpi-mimpi tapi dalam horison-horison realitas. Tapi mungkinkah nama itu, Ledalero, sungguh menyimpan misteri cinta yang misterius??Ya, barangkali !!
Sepintas telingaku merekam barisan puja-puji para musafir yang menggema bersama celoteh bising anak-anak dunia di sudut-sudut kota Jakarta; nyanyian bagi para malaikat yang bertakhta persis di puncak bukit Ledalero; pujian bagi alam Ledalero yang menebarkan wangi sakura saat mentari mengintip di bibir cakrawala; syair indah bagi Sang Khalik yang telah selipkan sepotong senja lembayung persis di antara dua puncak bukit Ledalero,bukit sandar matahari. Lantas adrenalinku tersentil nyanyian kemuliaan di tengah hiruk pikuk jantung kota metropolitan itu.
“Konon, katanya. . . ,bukit itu adalah bukit sandar matahari karena matahari akan sandar di antara dua bukit itu sebelum mahligai peraduan menjemputnya. . .”desas-desus para pemuja kelana di sela-sela kegalauan hatiku.
“Sumpah man. . .indah banget. . . !! Lho bakalan rugi man kalo ngga’ liat. . .“ seorang temanku membenarkan seolah tempat itu adalah tempat terindah yang pernah dilihatnya seumur hidupnya.
Rasa penasaran sekonyong-konyong menyelubungi seluruh diriku, mengalir di setiap tetes darah, terhembus pada ujung helaan nafasku. Ada hasrat yang jauh terkubur di hati untuk lepas bebas dari muram durja jiwaku, tapi aku takut. Takut pada kesunyian, takut pada kedamaian, takut pada cinta suci, takut pada malaikat kecil, takut pada sepotong senja di puncak Ledalero yang diceriterakan Kevin, temanku.
Aku tengah berdiri tegar di ambang kegelisahan sembari mengulum manisnya kecemasan dan ketakutan. Kugantungkan sebuah asa dalam tanya; ’ Mungkinkah suatu saat nanti aku akan bersua mimpi dan anganku di puncak Ledalero?’
* * *
Semalam kurasa tak ada angin yang menghempasku, mimpi pun enggan menghantarku ke tempat seteduh ini. Memang, angin pasti mendengar jeritan nuraniku semalam tapi tak mungkin aku dihempasnya ke dalam surga yang dikisahkan para pengembara padaku dan didendangkan hawa malam Jakarta ke telingaku. Aku juga mungkin sedang tidak bermimpi. Tapi itu sepertinya tidak penting karena yang terpenting sekarang, mimpi dan asaku menyatu bersama realitas persis di ujung hari ini, di puncak bukit Ledalero.
Wangi sakura yang hangat dan khas perlahan mulai tercium. Aromanya datang dan pergi, timbul-tenggelam seiring tarikan dan hembusan nafasku. Aromanya melebur bersama aroma tubuhku, mengalir dalam darahku, mengurai cita rasa di sekujur tubuhku yang dipasung bayangan ketakutan dan mimpi-mimpi tentang kecemasan. Kugenggam jemari lembut sakura nan wangi dan kurengkuh auranya di jiwaku. Ada ketenangan, kedamaian, kesejukan, keteduhan, kebahagiaan, kepuasan yang terpancar seketika di kalbuku.
Kuncup-kuncup dedaunan muda menyanyikan kidung Hosana in excelcis bersama malaikat-malaikat kecil dalam getaran cinta abadi. Hembusan hawa sejuk meniupkan gemanya pada setiap telinga di puncak bukit itu.
Sejenak kupejam mata ini sembari merasakan sentuhan kelembutan membelai gejolak rasaku, menembus setiap aliran darahku, menrobos hampa hatiku seketika. Aku tersentak dalam keragu-raguanku, tersadar dari lamunan panjang, dan terbuai dalam belaian sang Cinta.
Ternyata benar. Ceritera cinta yang dikisahkan oleh malam kepadaku, kisah yang dibisikkan angin persis di telingaku tentang kedamaian yang dipadukan para malaikat kecil, tentang kesunyian yang menggelantung di pucuk-pucuk pagi, tentang keteduhan yang tersemat dalam pelukan lembayung.
Hingga akhirnya di suatu senja, pada awal November, sendiri, aku berdiri tepat di puncak Ledalero dan persis saat itu mataku terhalau kemilau fajar di antara dua bukit.
Indah sekali. Sorot matanya yang putih kemerah-merahan lembut membentur bola mataku dengan senyuman paling manis dan mempesona yang pernah kulihat seumur hidupku.
Aku terpana di antara belahan bukit Ledalero. Kini, sempurnalah sudah rasa hatiku. Inikah Cinta yang terlukis dalam catatan harian sang hawa tatkala jemari lembutnya tertoreh pada ruang-ruang hampa?
Tapi, mungkinkah aku sedang bermimpi? Mungkinkah khayalku merobek realitas sejatiku? Tidak. . .!! Ini bukan mimpi.
Kulayangkan lagi pandanganku dan kudapati sepotong senja itu masih tersenyum manis padaku. Mungkin sampai ragaku mati di batas hari ini.
* * *
Ahad, 15 November 2009
MITOS DALAM KONFRONTASI DENGAN SEKULARISASI DI NTT
Carol Tefa
Manusia dan dunia pada prinsipnya senantiasa mengalami reformasi dalam beragam aspek kehidupan secara kontinyu. Hal ini bergantung pada sejauh mana manusia berpretensi untuk menjadi manusia yang berinisiatif, kreatif dan inovatif. Semuanya ini diwujudkan dalam kerja kerasnya mencari tahu prinsip-prinsip hidup yang mendukung keberlangsungan dinamika kehidupan di dalam dunia dengan baik dan teratur. Selanjutnya dengan akal budi yang ada, manusia dimungkinkan untuk mengaplikasikan kreativitasnya bagi pemenuhan kebutuhan manusia sendiri.
Dalam hubungan dengan dinamika kehidupan manusia (mikrokosmos) dan dunia (makrokosmos) mestinya disadari bahwa ternyata masyarakat Nusa Tenggara Timur pada umumnya sudah dan sedang bergerak menuju sekularisasi global. Dengan ini nampak bahwa keterbukaan masyarakat NTT terhadap kultur asing berada pada taraf yang diharapkan. Budaya-budaya asing di satu sisi berdampak positif terutama dalam menstimulisasi masyarakat untuk keluar dari ketertutupan diri menuju modernitas, kebebasan dan keluasan berpikir , tanpa satu orientasi untuk mengisolasi originalitas kultur-kultur pribumi. Di sisi lain, hal ini bisa berdampak negatif karena masyarakat pribumi dalam ketidaksadaran bisa mengeliminasi kultur lokal dan melulu hidup dalam totalitas kultur asing. Karena itu, perpaduan yang proporsional antara kultur lokal dan kultur asing dibutuhkan agar dampak negatif ini bisa dihindarkan.
Dalam kaitannya dengan kultur atau kebudayaan ini kita mengenal tradisi-tradisi yang mistis-magis dalam kebudayaan kita. Tradisi ini sangat berpengaruh dalam perjumpaan kita dengan dunia yang sudah sangat rasional dan global ini. Dari padanya kita dipertemukan dengan dunia yang sudah begitu berkembang ini. Oleh karena itu, wajar kalau kita memelihara tradisi ini sebagai kekayaan pertama masyarakat budaya kita. Artinya kita tidak lekas mengeliminasi tradisi ini ketika dipertemukan dengan tradisi kedua atau ketiga lainnya yang terkesan lebih menarik. P. Drs. Ansel Doredae, SVD, MA, dalam diktat “Manusia dan Kebudayaan Indonesia” menulis bahwa kultur tertentu dari tiap-tiap individu adalah pusat atau dasar keberakaran (militansi) diri dari masyarakat per individu sehingga kultur yang telah mengakar dan membudaya dalam diri individu akan hidup sebagai keutamaan personal. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa manusia hidup dalam suatu kultur yang membentuk sikap, pola pikir dan tingkah lakunya sehingga keberakaran dirinya bertumbuh dan berkembang dalam kultur lokal tersebut. Kebudayaan seyogyanya menjadi dasar pertumbuhan diri dan kepribadian manusia. Dalam hal ini, mitos-mitos dalam suatu kebudayaan tertentu dikatakan baik (rasional dan dapat dipertanggungjawabkan) sejauh kultur tersebut dapat memberikan kesejahteraan dan kebahagiaan bagi masyarakat pemilik kebudayaan tanpa satu diskriminasi terhadapnya. Itu berarti mitos dalam suatu kultur tertentu yang lahir sebagai suatu asumsi atau prasangka terhadap realitas yang dianggap luar biasa dan dan kemudian bisa dijadikan norma yang mengatur keharmonisan hidup dalam suatu kumpulan masyarakat tertentu tidak boleh mengorbankan manusia dalam penerapannya. Ia harus ditelusuri secara mendalam agar tetap memberikan keuntungan kepada manusia tanpa menghilangkan mitos itu sendiri.
Kita melihat mitos masyarakat Palue di Kabupaten Sikka tentang Ine Pare. Masyarakat Palue yang percaya pada mitos yang mengatakan bahwa benih padi yang dibawa dari tempat lain ke tempat itu jika ditanam akan mati atau akan menelan korban jiwa. Memang mitos dalam kebudayaan tertentu mesti diakui dan diterima sebagai kekayaan tradisional suatu daerah yang khas. Tapi hemat saya, kita mesti berpikir secara rasional, dalam arti bahwa padi sebagai sesuatu yang urgen dan menjadi sumber kehidupan manusia diklaim sebagai hal yang mitis, sesungguhnya sangatlah kontradiktif terhadap rasionalitas pemikiran kita. Atau misalkan; Kultur masyarakat Boti di Kabupaten TTS yang melarang masyarakatnya untuk bekerja pada hari minggu termasuk aktivitas masak-memasak. Makanan yang menjadi jatah makan untuk hari minggu sudah disiapkan pada hari sebelumnya. Praktik ini menjadi petaka bagi masyarakat karena dapat menyebabkan mereka terserang penyakit akibat mengkonsumsi makanan yang tidak sehat.
Habermas dalam beberapa pemikirannya mengafirmasi peranan penting dari diskursus rasionalitas komunikatif. Maksudnya ialah bahwa kita sebaiknya menkonstruksi suatu realitas dalam suatu ranah yang saling memahami. Pikiran kita diharapakan tidak menterjemahkan realitas begitu-begitu saja tanpa suatu pendalaman dan pengertian yang baik terhadapnya agar realitas itu akhirnya menjad berguna bagi diri bukan sebaliknya. Dalam pemikiran seperti ini pula kita harus memahami eksistensi dari mitos-mitos yang hadir dalam kebudayaan kita masing-masing. Tentunya membuat mitos-mitos menjadi lebih rasional agar bisa diterima dengan baik bukan berarti kita telah berupaya mendiskriminasi atau bahkan mengeliminasinya dari kebudayaan kita.
Di wilayah NTT terdapat begitu banyak budaya lokal yang berpotensi memperkaya khazanah kebudayaan lokal. Akan tetapi sangat diharapkan kultur-kultur yang kompleks itu dapat memberikan andil bagi kehidupan masyarakat pada umumnya. Dengan demikian, semua kebudayaan (mitologi) kita berfungsi secara baik dalam masyarakat NTT dan dapat dipertanggungjawabkan secara rasional dalam konfrontasinya dengan sekularisasi global.
PUISI-PUISI: OLU TEFA
Pada Sebuah Nama
Mata ini terpahat pada sebuah nama,
Nama yang kian membeku
Terukir pada wajah oval sang mentari
Ingin kugenggam jemari semesta
Persis di pucuk pagi
Berhasrat memetik nama itu pada sayap-sayap mentari
Tapi. . .
Malam enggan torehkan senyum,
Terpaku dalam balutan mimpi-mimpi
Aku hendak menangkap gelegar suaraku
Yang melekat pada dinding-dinding gua
Saat nama itu kuteriakkan kemarin
Tapi sayang. . .
Malam masih bermimpi !
Sang Malam
Malam menjemputnya
Persis di batas hari ini
Menghantar dia menyongsong pagi
Terlebur dirinya dalam pelukan khayal
Di sudut malam
Malam mengulum
Malam merayu
Malam melumat
Berjuta rasa lemahkan raganya
Selaksa asa taklukkan rasanya
Terhanyut dirimya dalam selimut malam
Manusia dan dunia pada prinsipnya senantiasa mengalami reformasi dalam beragam aspek kehidupan secara kontinyu. Hal ini bergantung pada sejauh mana manusia berpretensi untuk menjadi manusia yang berinisiatif, kreatif dan inovatif. Semuanya ini diwujudkan dalam kerja kerasnya mencari tahu prinsip-prinsip hidup yang mendukung keberlangsungan dinamika kehidupan di dalam dunia dengan baik dan teratur. Selanjutnya dengan akal budi yang ada, manusia dimungkinkan untuk mengaplikasikan kreativitasnya bagi pemenuhan kebutuhan manusia sendiri.
Dalam hubungan dengan dinamika kehidupan manusia (mikrokosmos) dan dunia (makrokosmos) mestinya disadari bahwa ternyata masyarakat Nusa Tenggara Timur pada umumnya sudah dan sedang bergerak menuju sekularisasi global. Dengan ini nampak bahwa keterbukaan masyarakat NTT terhadap kultur asing berada pada taraf yang diharapkan. Budaya-budaya asing di satu sisi berdampak positif terutama dalam menstimulisasi masyarakat untuk keluar dari ketertutupan diri menuju modernitas, kebebasan dan keluasan berpikir , tanpa satu orientasi untuk mengisolasi originalitas kultur-kultur pribumi. Di sisi lain, hal ini bisa berdampak negatif karena masyarakat pribumi dalam ketidaksadaran bisa mengeliminasi kultur lokal dan melulu hidup dalam totalitas kultur asing. Karena itu, perpaduan yang proporsional antara kultur lokal dan kultur asing dibutuhkan agar dampak negatif ini bisa dihindarkan.
Dalam kaitannya dengan kultur atau kebudayaan ini kita mengenal tradisi-tradisi yang mistis-magis dalam kebudayaan kita. Tradisi ini sangat berpengaruh dalam perjumpaan kita dengan dunia yang sudah sangat rasional dan global ini. Dari padanya kita dipertemukan dengan dunia yang sudah begitu berkembang ini. Oleh karena itu, wajar kalau kita memelihara tradisi ini sebagai kekayaan pertama masyarakat budaya kita. Artinya kita tidak lekas mengeliminasi tradisi ini ketika dipertemukan dengan tradisi kedua atau ketiga lainnya yang terkesan lebih menarik. P. Drs. Ansel Doredae, SVD, MA, dalam diktat “Manusia dan Kebudayaan Indonesia” menulis bahwa kultur tertentu dari tiap-tiap individu adalah pusat atau dasar keberakaran (militansi) diri dari masyarakat per individu sehingga kultur yang telah mengakar dan membudaya dalam diri individu akan hidup sebagai keutamaan personal. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa manusia hidup dalam suatu kultur yang membentuk sikap, pola pikir dan tingkah lakunya sehingga keberakaran dirinya bertumbuh dan berkembang dalam kultur lokal tersebut. Kebudayaan seyogyanya menjadi dasar pertumbuhan diri dan kepribadian manusia. Dalam hal ini, mitos-mitos dalam suatu kebudayaan tertentu dikatakan baik (rasional dan dapat dipertanggungjawabkan) sejauh kultur tersebut dapat memberikan kesejahteraan dan kebahagiaan bagi masyarakat pemilik kebudayaan tanpa satu diskriminasi terhadapnya. Itu berarti mitos dalam suatu kultur tertentu yang lahir sebagai suatu asumsi atau prasangka terhadap realitas yang dianggap luar biasa dan dan kemudian bisa dijadikan norma yang mengatur keharmonisan hidup dalam suatu kumpulan masyarakat tertentu tidak boleh mengorbankan manusia dalam penerapannya. Ia harus ditelusuri secara mendalam agar tetap memberikan keuntungan kepada manusia tanpa menghilangkan mitos itu sendiri.
Kita melihat mitos masyarakat Palue di Kabupaten Sikka tentang Ine Pare. Masyarakat Palue yang percaya pada mitos yang mengatakan bahwa benih padi yang dibawa dari tempat lain ke tempat itu jika ditanam akan mati atau akan menelan korban jiwa. Memang mitos dalam kebudayaan tertentu mesti diakui dan diterima sebagai kekayaan tradisional suatu daerah yang khas. Tapi hemat saya, kita mesti berpikir secara rasional, dalam arti bahwa padi sebagai sesuatu yang urgen dan menjadi sumber kehidupan manusia diklaim sebagai hal yang mitis, sesungguhnya sangatlah kontradiktif terhadap rasionalitas pemikiran kita. Atau misalkan; Kultur masyarakat Boti di Kabupaten TTS yang melarang masyarakatnya untuk bekerja pada hari minggu termasuk aktivitas masak-memasak. Makanan yang menjadi jatah makan untuk hari minggu sudah disiapkan pada hari sebelumnya. Praktik ini menjadi petaka bagi masyarakat karena dapat menyebabkan mereka terserang penyakit akibat mengkonsumsi makanan yang tidak sehat.
Habermas dalam beberapa pemikirannya mengafirmasi peranan penting dari diskursus rasionalitas komunikatif. Maksudnya ialah bahwa kita sebaiknya menkonstruksi suatu realitas dalam suatu ranah yang saling memahami. Pikiran kita diharapakan tidak menterjemahkan realitas begitu-begitu saja tanpa suatu pendalaman dan pengertian yang baik terhadapnya agar realitas itu akhirnya menjad berguna bagi diri bukan sebaliknya. Dalam pemikiran seperti ini pula kita harus memahami eksistensi dari mitos-mitos yang hadir dalam kebudayaan kita masing-masing. Tentunya membuat mitos-mitos menjadi lebih rasional agar bisa diterima dengan baik bukan berarti kita telah berupaya mendiskriminasi atau bahkan mengeliminasinya dari kebudayaan kita.
Di wilayah NTT terdapat begitu banyak budaya lokal yang berpotensi memperkaya khazanah kebudayaan lokal. Akan tetapi sangat diharapkan kultur-kultur yang kompleks itu dapat memberikan andil bagi kehidupan masyarakat pada umumnya. Dengan demikian, semua kebudayaan (mitologi) kita berfungsi secara baik dalam masyarakat NTT dan dapat dipertanggungjawabkan secara rasional dalam konfrontasinya dengan sekularisasi global.
PUISI-PUISI: OLU TEFA
Pada Sebuah Nama
Mata ini terpahat pada sebuah nama,
Nama yang kian membeku
Terukir pada wajah oval sang mentari
Ingin kugenggam jemari semesta
Persis di pucuk pagi
Berhasrat memetik nama itu pada sayap-sayap mentari
Tapi. . .
Malam enggan torehkan senyum,
Terpaku dalam balutan mimpi-mimpi
Aku hendak menangkap gelegar suaraku
Yang melekat pada dinding-dinding gua
Saat nama itu kuteriakkan kemarin
Tapi sayang. . .
Malam masih bermimpi !
Sang Malam
Malam menjemputnya
Persis di batas hari ini
Menghantar dia menyongsong pagi
Terlebur dirinya dalam pelukan khayal
Di sudut malam
Malam mengulum
Malam merayu
Malam melumat
Berjuta rasa lemahkan raganya
Selaksa asa taklukkan rasanya
Terhanyut dirimya dalam selimut malam
Khamis, 12 November 2009
Risalah Diskusi Wisma Arnoldus “Globalisasi : Siapa Mendikte? (Tentang Rencana Pertambangan di Lembata)
Pemakalah: Kae Gusti Fasak
Tempat : Pendopo pav. atas wisma Arnoldus
Waktu : Jumat, 23 Oktober 2009 (pukul 20:30-22:00)
I. Suara Moderator
Diskusi seputar rencana pengembangan industri pertambangan di Flores dan Lembata terus saja menghangat. Para kapitalis dan pemilik modal yang didukung oleh pihak pemerintah belum pernah ‘jerah’ memperjungkan rancana eksploratif mereka. Meskipun perlawanan rakyat terhadap pertambangan sudah berlangsung lama, baik dalam bentuk demonstrasi, ritus penolakan, dan diplomasi tetapi kekuasaan politik-kapitalis lebih gigih dan tak ada tandingannya. Begitu juga usaha-usah dari berbagai LSM pro rakyat, , JPIC, biarawan/I, dan para pencita lingkungan terdengar hambar saja dihadapan tegarnya hati para penguasa. Pertambangan terus dijalankan. Terakhir pertambangan mangan di pulau Timor yang merenggut korban nyawa. Terhadap hal ini, seorang penulis pernah berkomentar dalam sebuah artikelnya; “mungkinkah hati mereka telah menyatu dengan tambang itu snediri, tegar seperti tembaga dank eras laksana besi berlapis baja.?”
Polemik tentang tambang pun terus menghangat, bukan hanya penolakan dalam aksi nyata tapi juga lewat buah pikiran yang tertuang dalam berbagai media masa. Kita tentu masih ingat ketika opini berjudul “jangan bertindak bodoh dari Charles Beraf mendapat reaksi protes dari banyak pihak. Kita juga tentu masih ingat opini pro tambang dari Pak Alo Basri yang diserang oleh banyak pihak termasuk di dalamnya P. Aleks Jebadu dan Sil Ule. Ataukah yang terakhir opini dari Pater Step Tupen Witin yang berisi tanggapan terhadap Opini Rungamali yang mengklaim perjuangan tolak tambang sebagai perjuangan irasional.
Lalu kita bertanya, apa perbedaan antara dua kelompok ini.? Pater Eman Embu kemudian membedakan yang satu sebagai pegiat bisinis dan yang satunya lagi sebagai pegiat pastoral. Pegiat bisnis mewakili kaum kapitalis dan orang-orang bermodal yang ingin mengeksplorasi tambang sedangkan pegiat pastoral adalah mereka yang menyuarakan penolakan tambang demi nasib hidup orang banyak dan lingkungan. Baiklah saya mengajak kita semua untuk semenjak menjadi ‘pegiat bisnis dan pegiat pastoral’ demi suatu titik cerah dari polemik yang berkepanjangan ini sekaligus pada akhirnya nanti bisa menentukan sikap kita, bertahan sebagai pegiat bisnis atau pegiat pastoral.
II. Abstraksi Makalah
III. Pertanyaan Informatif
• Merujuk pada makalah, Apakah komunisme yang diterapkan Cina berasal dari Rusia?
Jawaban: perekonomian dengan sistem komunisme yang dikembangkan di cina terlebih dahulu dikembangkan di Rusia. Sistim perekonmian ini dinilai mampu mngangkat perekonmian Rusia, dan sekaligus meningkatkan kemakmuran hidup. Cina sebagai negara tetangga ternyata mengadopsi sistem perekonomian a la komunisme ini. Sistem perekonomian ini bahkan berekembang lebih pesat di Cina ketimbang Rusia sendiri.
• Apa maksud mitos globalisasi?
Jawaban: Yang dimaksudkan dengan mythos globalisasi dalam konteks ini adalah globalisasi yang sedari awalnya bertujuan sangat mulia demi keadilan dan kesejaterahan masyarakat global ternyata berbeda dalam kenyataan. Globalisasi justru memberi tekanan terhadap kaum kecil demi mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya bagi kaum kapitalis dan orang-orang bermodal.
• Apakah kaum kapitalis itu buruk?
Jawaban: Kapitalisme tidak selamanya buruk, hanya ideologi yang di dalamnya yang tidak baik (penjelasan selanjutnya tanya pemakalah)
IV. Pertanyaan Diskusi
1. Gubernur NTT pernah mengeluarkan izin petrambangan di pulau Timor. Apakah sikap ini pantas dibuat ketika polemik tentag tambang masih hangat diwacanakan?
Jawaban:
• Tidak pantas dengan alasan karena terkesan terlalu terburu-buru. Ada kecurigaan bahwa ada kerja sama antara pihak pemerintah dan kaum kapitalis. Hal ini bisa terlihat dalam undang-undang Minerva yang masih mendukung posisi kaum kapitalis dan pemilik modal. Posisi gubernur sebagai birokrat disinyalir mendukung kepentingan kaum kapitalis dan pemilik modal.
• Keputusan yang dikeluarkan gubernur bukan hanya tidak pantas tapi juga tidak adil secara khusus terhadap masyarakat di Flores dan Timor. Keputusan ini diambil setelah rencana pertambangan di Flores belum terealisasi secara maksimal.
• Sikap gubernur di satu sisi dianggap pantas, karena tambang pada hakikatnya dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kesejarahan rakyat. Jika tidak dimanfaatkan tentunya akan sangat disayangkan, apalagi hasil survai mengatkan bahwa pertambangan di Flores dan Lembata sangat profitable, yang potensial mendatangkan keuntungan.
• Posisi gubernur tidak salah di sini, hanya saja pihak pemilik modal yang cenderung mengambil keuntungan yang lebih besar ketimbang sumbangan untuk kesejaterahan masyarakat.
• Sikap Gubernur tidak bisa dikatakan salah. Yang harus diperhatikan apakah keuntungan dan kerugian yang ditampilkan bagi masyarakat. Karena itu pemimpin harus memperhatikan kontrak kerja, sumbangan bagi masyarakat dan juga soal waktu pertambangan, serta efek terhadap lingkungan sekitarnya.
• Sikap Gubernur dinilai tidak berkaca pada realitas yang ada. Kegiatan pertambaagan banyak mendatangkan kerugian. Karena itu pertambangan harus memihak pada rakyat dan memperhatikan etika lingkungan hidup. Keputusan ini dinilai sangat tergesa-gesa.
• Akhirnya, tambang adalah lubang besar ternganga yang ditinggalkan para kapitalis. Sikap gubernur dinilai pantas jika telah ada pengkajian yang komprehensif terhadap efek dan kontribusi pertambangan terhadap masyarakat. Dan, sikap ini dinilai tidak pantas karena masih dalam polemik yang terus hangat dibicarakan. Dalam kaitannya dengan pertambangan di Flores dan Lembata, apabila Gubernur memberi izinan pertambangan, tentu saja ini dinilai tidak pantas karena masalah tambang masih hangat dibicarakan.
2. Kapitalisme a la komunisme macam mana yang bisa dikembangkan di Indonesia. Pengalaman menunjukkan bahwa paham komunisme telah meninggalkan kesan buruk di bumi Indonesia, dan bagaimana membalikan image buruk komunisme ini?
Jawaban:
• Sistim komunisme pertma sekali harus dibedakan dengan ideologi yang terkeandung di dalamnya. Bangsa Indonesia memang mempunyai catatan sejarah yang buram dengan segala sesuatu yang berbau komunisme tetapi sistim perekonomiannya tidak melulu diperhitungkan segala sesuatu yang amat negative. Dasar pemikirannya merujuk pad ide Karl Marx tentang teori upah buruh dimana hasil atau laba yang dibagikan secara bersama.
• Sistim komunisme tidak bisa diterapkan secara mutlak di Negara kita. Tetapi hal ini tidak menutup kemungkinan bagi kita untuk menimba hal-hak yang baik (postif) dari sistim ini demi suatu kebaikan bersama. Jika sisitim tersebut sangat postif untuk perkembagan tingkat kemakmuran, why not?
• Hanya kita perlu membedakan sistim perekonomian a la komunisme dan sistim politiknya. Perekonomian di Cina memang sudah cukup maju tetapi itu dibarengi dengan sistim politik yang juga berbau komunis. Negara Indonesia tidak menganut paham komunisme karena itu kita cukup pesimis apakah sistim perekomian a la komunisme bisa dikembangkan di Indonesia.
• Sebuah pertanyaan lanjutan muncul, apakah perlu sistim perekonomian yang jelas dan pasti bagi Indonesia? Indonesia tidak mesti menerapkan suatu sistim perekonomian yang mutlak tetapi bisa menimba unsur-unsur atau nilai-nilai yang baik dari setiap sistim perekonomian yang bisa mendongkrak perkembangan ekonomi kita.
3. Di dalam makalah yang dipaparkan dua term yang menjadi kata kunci yakni globalisasi dan kapitalisme. Ada kesan bahwa pemakalah mereduksi makna globalisasi ke dalam kapitalisme?
Jawaban:
Berbicara tentang globalisasi tidak bisa dilepaspisahkan dari kapitalisme. Bagaimana pun juga globalisasi diatur dalam suatu skenario yang dimainkan oleh para kapitalis. Misalnya perusahan-perusahan besar yang memproduksi handphone dan berbagai barang produksi lainnya yang dipakai oleh masyarakat luas. Secara tidak langsung para pemilik modal mengatur globalisasi yang juiga turut mempengaruhi peradaban global. (Jawaban lebih lengkap silakan tanya ke pemakalah).
4. Sikap yang disepakati dalam kaitan dengan pertambangan ini?
Jawaban: TETAP MENOLAK, dengan alasan:
• Merujuk pada fakta empiris yang ada, pertambangan ternyata tidak memberikan banyak keuntungan tetapi malah mendatangkan kerugian, penindasan terhadap masyarakat kecil.
• Kesejaterahan ekonmomi bisa dikembangkan dalam sektor lain, bukan hanya pertambangan, semisal pertanian dan perkebunan.
• Ada indikasi kawin politik antara pemerintah dengan kaum kapitalis dan pemilik modal.
• Pertambangan meninggalkan kerusakan lingkungan dan hasil pembungannya (limbah) berdaya mematikan makhluk hidup lainnya.
• Pertambangan mesti selalu terlebih dahulu lewat observasi yang meyakinkan dan disertai dengan sosialisasi terhadap masyarakat.
5. Penutup (penegasan)
Tambang adalah lubang besar ternganga yang ditinggalkan oleh para kapitalis. Usaha kita sekarang adalah menutupi lubang besar ternganga itu, bukan sebaliknya membiarkan bumi kita terus ternganga di tangan kaum kapitalis dan pemilik modal. Karena itu kita sepakat untuk menolak tambang baik di NTT umumnya maupun di Lembata khususnya. Tambang bukan satu-satunya sektor vital yang mampu mengangkat tingkat kemakmuran kita.
V. Kata Akhir (ucapan terima kasih dan pemberitahuan dari seksi akademi)
Sie Akademi
Tempat : Pendopo pav. atas wisma Arnoldus
Waktu : Jumat, 23 Oktober 2009 (pukul 20:30-22:00)
I. Suara Moderator
Diskusi seputar rencana pengembangan industri pertambangan di Flores dan Lembata terus saja menghangat. Para kapitalis dan pemilik modal yang didukung oleh pihak pemerintah belum pernah ‘jerah’ memperjungkan rancana eksploratif mereka. Meskipun perlawanan rakyat terhadap pertambangan sudah berlangsung lama, baik dalam bentuk demonstrasi, ritus penolakan, dan diplomasi tetapi kekuasaan politik-kapitalis lebih gigih dan tak ada tandingannya. Begitu juga usaha-usah dari berbagai LSM pro rakyat, , JPIC, biarawan/I, dan para pencita lingkungan terdengar hambar saja dihadapan tegarnya hati para penguasa. Pertambangan terus dijalankan. Terakhir pertambangan mangan di pulau Timor yang merenggut korban nyawa. Terhadap hal ini, seorang penulis pernah berkomentar dalam sebuah artikelnya; “mungkinkah hati mereka telah menyatu dengan tambang itu snediri, tegar seperti tembaga dank eras laksana besi berlapis baja.?”
Polemik tentang tambang pun terus menghangat, bukan hanya penolakan dalam aksi nyata tapi juga lewat buah pikiran yang tertuang dalam berbagai media masa. Kita tentu masih ingat ketika opini berjudul “jangan bertindak bodoh dari Charles Beraf mendapat reaksi protes dari banyak pihak. Kita juga tentu masih ingat opini pro tambang dari Pak Alo Basri yang diserang oleh banyak pihak termasuk di dalamnya P. Aleks Jebadu dan Sil Ule. Ataukah yang terakhir opini dari Pater Step Tupen Witin yang berisi tanggapan terhadap Opini Rungamali yang mengklaim perjuangan tolak tambang sebagai perjuangan irasional.
Lalu kita bertanya, apa perbedaan antara dua kelompok ini.? Pater Eman Embu kemudian membedakan yang satu sebagai pegiat bisinis dan yang satunya lagi sebagai pegiat pastoral. Pegiat bisnis mewakili kaum kapitalis dan orang-orang bermodal yang ingin mengeksplorasi tambang sedangkan pegiat pastoral adalah mereka yang menyuarakan penolakan tambang demi nasib hidup orang banyak dan lingkungan. Baiklah saya mengajak kita semua untuk semenjak menjadi ‘pegiat bisnis dan pegiat pastoral’ demi suatu titik cerah dari polemik yang berkepanjangan ini sekaligus pada akhirnya nanti bisa menentukan sikap kita, bertahan sebagai pegiat bisnis atau pegiat pastoral.
II. Abstraksi Makalah
III. Pertanyaan Informatif
• Merujuk pada makalah, Apakah komunisme yang diterapkan Cina berasal dari Rusia?
Jawaban: perekonomian dengan sistem komunisme yang dikembangkan di cina terlebih dahulu dikembangkan di Rusia. Sistim perekonmian ini dinilai mampu mngangkat perekonmian Rusia, dan sekaligus meningkatkan kemakmuran hidup. Cina sebagai negara tetangga ternyata mengadopsi sistem perekonomian a la komunisme ini. Sistem perekonomian ini bahkan berekembang lebih pesat di Cina ketimbang Rusia sendiri.
• Apa maksud mitos globalisasi?
Jawaban: Yang dimaksudkan dengan mythos globalisasi dalam konteks ini adalah globalisasi yang sedari awalnya bertujuan sangat mulia demi keadilan dan kesejaterahan masyarakat global ternyata berbeda dalam kenyataan. Globalisasi justru memberi tekanan terhadap kaum kecil demi mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya bagi kaum kapitalis dan orang-orang bermodal.
• Apakah kaum kapitalis itu buruk?
Jawaban: Kapitalisme tidak selamanya buruk, hanya ideologi yang di dalamnya yang tidak baik (penjelasan selanjutnya tanya pemakalah)
IV. Pertanyaan Diskusi
1. Gubernur NTT pernah mengeluarkan izin petrambangan di pulau Timor. Apakah sikap ini pantas dibuat ketika polemik tentag tambang masih hangat diwacanakan?
Jawaban:
• Tidak pantas dengan alasan karena terkesan terlalu terburu-buru. Ada kecurigaan bahwa ada kerja sama antara pihak pemerintah dan kaum kapitalis. Hal ini bisa terlihat dalam undang-undang Minerva yang masih mendukung posisi kaum kapitalis dan pemilik modal. Posisi gubernur sebagai birokrat disinyalir mendukung kepentingan kaum kapitalis dan pemilik modal.
• Keputusan yang dikeluarkan gubernur bukan hanya tidak pantas tapi juga tidak adil secara khusus terhadap masyarakat di Flores dan Timor. Keputusan ini diambil setelah rencana pertambangan di Flores belum terealisasi secara maksimal.
• Sikap gubernur di satu sisi dianggap pantas, karena tambang pada hakikatnya dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kesejarahan rakyat. Jika tidak dimanfaatkan tentunya akan sangat disayangkan, apalagi hasil survai mengatkan bahwa pertambangan di Flores dan Lembata sangat profitable, yang potensial mendatangkan keuntungan.
• Posisi gubernur tidak salah di sini, hanya saja pihak pemilik modal yang cenderung mengambil keuntungan yang lebih besar ketimbang sumbangan untuk kesejaterahan masyarakat.
• Sikap Gubernur tidak bisa dikatakan salah. Yang harus diperhatikan apakah keuntungan dan kerugian yang ditampilkan bagi masyarakat. Karena itu pemimpin harus memperhatikan kontrak kerja, sumbangan bagi masyarakat dan juga soal waktu pertambangan, serta efek terhadap lingkungan sekitarnya.
• Sikap Gubernur dinilai tidak berkaca pada realitas yang ada. Kegiatan pertambaagan banyak mendatangkan kerugian. Karena itu pertambangan harus memihak pada rakyat dan memperhatikan etika lingkungan hidup. Keputusan ini dinilai sangat tergesa-gesa.
• Akhirnya, tambang adalah lubang besar ternganga yang ditinggalkan para kapitalis. Sikap gubernur dinilai pantas jika telah ada pengkajian yang komprehensif terhadap efek dan kontribusi pertambangan terhadap masyarakat. Dan, sikap ini dinilai tidak pantas karena masih dalam polemik yang terus hangat dibicarakan. Dalam kaitannya dengan pertambangan di Flores dan Lembata, apabila Gubernur memberi izinan pertambangan, tentu saja ini dinilai tidak pantas karena masalah tambang masih hangat dibicarakan.
2. Kapitalisme a la komunisme macam mana yang bisa dikembangkan di Indonesia. Pengalaman menunjukkan bahwa paham komunisme telah meninggalkan kesan buruk di bumi Indonesia, dan bagaimana membalikan image buruk komunisme ini?
Jawaban:
• Sistim komunisme pertma sekali harus dibedakan dengan ideologi yang terkeandung di dalamnya. Bangsa Indonesia memang mempunyai catatan sejarah yang buram dengan segala sesuatu yang berbau komunisme tetapi sistim perekonomiannya tidak melulu diperhitungkan segala sesuatu yang amat negative. Dasar pemikirannya merujuk pad ide Karl Marx tentang teori upah buruh dimana hasil atau laba yang dibagikan secara bersama.
• Sistim komunisme tidak bisa diterapkan secara mutlak di Negara kita. Tetapi hal ini tidak menutup kemungkinan bagi kita untuk menimba hal-hak yang baik (postif) dari sistim ini demi suatu kebaikan bersama. Jika sisitim tersebut sangat postif untuk perkembagan tingkat kemakmuran, why not?
• Hanya kita perlu membedakan sistim perekonomian a la komunisme dan sistim politiknya. Perekonomian di Cina memang sudah cukup maju tetapi itu dibarengi dengan sistim politik yang juga berbau komunis. Negara Indonesia tidak menganut paham komunisme karena itu kita cukup pesimis apakah sistim perekomian a la komunisme bisa dikembangkan di Indonesia.
• Sebuah pertanyaan lanjutan muncul, apakah perlu sistim perekonomian yang jelas dan pasti bagi Indonesia? Indonesia tidak mesti menerapkan suatu sistim perekonomian yang mutlak tetapi bisa menimba unsur-unsur atau nilai-nilai yang baik dari setiap sistim perekonomian yang bisa mendongkrak perkembangan ekonomi kita.
3. Di dalam makalah yang dipaparkan dua term yang menjadi kata kunci yakni globalisasi dan kapitalisme. Ada kesan bahwa pemakalah mereduksi makna globalisasi ke dalam kapitalisme?
Jawaban:
Berbicara tentang globalisasi tidak bisa dilepaspisahkan dari kapitalisme. Bagaimana pun juga globalisasi diatur dalam suatu skenario yang dimainkan oleh para kapitalis. Misalnya perusahan-perusahan besar yang memproduksi handphone dan berbagai barang produksi lainnya yang dipakai oleh masyarakat luas. Secara tidak langsung para pemilik modal mengatur globalisasi yang juiga turut mempengaruhi peradaban global. (Jawaban lebih lengkap silakan tanya ke pemakalah).
4. Sikap yang disepakati dalam kaitan dengan pertambangan ini?
Jawaban: TETAP MENOLAK, dengan alasan:
• Merujuk pada fakta empiris yang ada, pertambangan ternyata tidak memberikan banyak keuntungan tetapi malah mendatangkan kerugian, penindasan terhadap masyarakat kecil.
• Kesejaterahan ekonmomi bisa dikembangkan dalam sektor lain, bukan hanya pertambangan, semisal pertanian dan perkebunan.
• Ada indikasi kawin politik antara pemerintah dengan kaum kapitalis dan pemilik modal.
• Pertambangan meninggalkan kerusakan lingkungan dan hasil pembungannya (limbah) berdaya mematikan makhluk hidup lainnya.
• Pertambangan mesti selalu terlebih dahulu lewat observasi yang meyakinkan dan disertai dengan sosialisasi terhadap masyarakat.
5. Penutup (penegasan)
Tambang adalah lubang besar ternganga yang ditinggalkan oleh para kapitalis. Usaha kita sekarang adalah menutupi lubang besar ternganga itu, bukan sebaliknya membiarkan bumi kita terus ternganga di tangan kaum kapitalis dan pemilik modal. Karena itu kita sepakat untuk menolak tambang baik di NTT umumnya maupun di Lembata khususnya. Tambang bukan satu-satunya sektor vital yang mampu mengangkat tingkat kemakmuran kita.
V. Kata Akhir (ucapan terima kasih dan pemberitahuan dari seksi akademi)
Sie Akademi
“Lupa-lupa Ingat” Budaya Bangsa Kita
Rukhe Woda
Bangsa Indonesia mungkin lupa ketika Presiden Soekarno memutuskan hubungan diplomatik secara sepihak dengan pemerintahan Sebuah slogan, ”Ganyang Malaysia” pun dicetuskan sebagai bentuk nasionalisme terhadap bangsa.. Bangsa Indonesai juga mungkin sedang ‘pikun’ untuk mengingat kembali dua pulau, ipadan dan Sigitan, yang diambil alih oleh Malaysia enam tahun silam. Dan sekarang ketika pemutilasian budaya yang dilakukan Malaysia kian menjadi-jadi, semuanya kembali teringat akan sejarah kelam itu.
Kita toh tidak melulu mempersalahkan Malaysia sebagai biang keladinya tetapi adalah lebih baik jika kita tanyakan ke dalam diri kita terlebih dahulu sejauh mana kita telah menjaga dan melestarikan budaya bangsa kita. Ketika ada pengklaiman budaya dari negeri tetangga, semua ingatan dan kesadaran tentang kepemilikan mulai muncul kembali. Apakah bangsa kita sedang mengidap sindrom “lupa-lupa ingat” a la Kuburan Band? Ataukah ini justifikasi atas tesis bahwa masalah kita adalah sulitnya mempertanggungjawabkan memoria, ingatan (Edy Kristianto, Sakaramen Politik, 2008)?
Lupa adalah gerakan tidak sadar. Leo Tolstoy dalam Diary (1897) menulis, jika kehidupan berlalu tanpa disadari, kehidupan itu tidak pernah terjadi. Secara psikologis lupa adalah peristiwa yang menyusup dalam arus kesadaran sehingga ada di luar kendali. Sementara itu Edmuns Husserl, seorang yang pertama kali mengembangkan metode fenomenologi, melihat, saat peristiwa lupa berlalu, kesadaran pun melakukan refleksi. Hasil refleksi memutuskan bahwa kejadian sebelumnya telah melupakan sesuatu. Keputusan lupa adalah produk sadar, sedangkan peristiwa lupa itu kejadian di luar sadar.
Dalam kajian antropologis terungkap sebuah ritus yang dijalankan dengan tingkat duplikasi yang tinggi dari waktu ke waktu yakni gerakan sadar untuk melawan lupa. Dalam perspektif kebudayaan, pelestarian tradisi pada zaman yang terus berubah bukan melawan perubahan, tetapi melawan diri sendiri agar tidak lalai. Di sinilah letak permasalahan yang dialami oleh bangsa Indonesia. Kita lemah dalam menjaga dan melestarikan budaya kita sendiri.
Hemat saya ada tiga indikator yang menunjukkan dengan jelas bahwa bangsa kita sekarang sedang “lupa-lupa ingat” terhadap budaya sendiri. Pertama, Indonesia sudah menjadi bangsa pelupa yang mudah sekali melupakan dan menenggelamkan sesuatu dalam dunia keterlupaan. Dalam kaitannya dengan polemik budaya yang sekarang sedang terjadi, bangsa Indonesia cukup merasa risih ketika orang mengatakan bahwa Indonesia hanya memiliki masa lalu tetapi tidak memliki masa depan (Bdk. Kompas, 7 September 2009). Pernyataan ini terkesan amat miris jika ditafsir lebih jauh. Hemat saya, memiliki masa lalu tetapi tidak memiliki masa depan sama dengan menenggelamkan separuh masa lalu. Masa lalu tidak lagi menjadi “the best teacher” bagi kita untuk membangun masa depan.
Kedua, kelupaan akan budaya bangsa nampak dalam ketidaktegaran dan ketidaktegasan untuk menyelesaikan persoalan yang mencuat di negeri ini. Indonesia menjadi ruang yang sesak dan pengap oleh kompleksitas persoalan yang tidak bisa sama sekali atau belum sepenuhnya dituntaskan. Karena itu ketika Malaysia pertama kali mengklaim produk budaya kita sebagai milik mereka, bangsa kita masih ‘adem-ayem’ untuk menanggapinya. Barulah belakangan muncul banyak gerakan melawan aksi brutal Malaysia termasuk beberapa stasiun TV Indonesia mulai dengan iklan pelestarian produk budaya bangsa.
Ketiga, kelupaan budaya Indonesia ditandai pula oleh ketidaksanggupan (impotensi) untuk memproduksi para pemimpin, pejabat publik yang memiliki sensitivitas terhadap kepentingan budaya. Kita butuh pemimpin yang berpegang teguh pada prinsip-prinsip nasionalisme. Pengalaman kekalahan di mahkamah internasioanal atas kedua pulau, Sipadan dan Sigitan, merupakan indikasi ketidaksanggupan para pemimpin dalam menyelesaikan masalah.
Meskipun demikian kelupaan terhadap budaya bangsa Indonesia ini merupakan persoalan bangsa yang meminta penyembuhan dan penanganan yang serius dari kita semua yang menanamkan diri sebagai anak-anak bangsa. Penanganan yang serius berarti berangkat dari pluralitas peran dan tanggung jawab, yakni dari rakyat melalui partisipasi dan kontrol yang kuat terhadap para pejabat publik dan setiap kebijakan yang diambil. Atau juga dari pejabat publik lewat mengembangkan amanat dan aspirasi rakyat yang ia wakili dengan penuh tanggung jawab. Penanganan yang demikian memungkinkan Indonesia kembali berdiri tegak bak seorang anak muda yang tengah melangkah, menyongsong hari esok Indonesia baru sembari membuang jauh-jauh kebiasaan kita untuk “lupa-lupa ingat” terhadap budaya kita sendiri.
Ruke
Bangsa Indonesia mungkin lupa ketika Presiden Soekarno memutuskan hubungan diplomatik secara sepihak dengan pemerintahan Sebuah slogan, ”Ganyang Malaysia” pun dicetuskan sebagai bentuk nasionalisme terhadap bangsa.. Bangsa Indonesai juga mungkin sedang ‘pikun’ untuk mengingat kembali dua pulau, ipadan dan Sigitan, yang diambil alih oleh Malaysia enam tahun silam. Dan sekarang ketika pemutilasian budaya yang dilakukan Malaysia kian menjadi-jadi, semuanya kembali teringat akan sejarah kelam itu.
Kita toh tidak melulu mempersalahkan Malaysia sebagai biang keladinya tetapi adalah lebih baik jika kita tanyakan ke dalam diri kita terlebih dahulu sejauh mana kita telah menjaga dan melestarikan budaya bangsa kita. Ketika ada pengklaiman budaya dari negeri tetangga, semua ingatan dan kesadaran tentang kepemilikan mulai muncul kembali. Apakah bangsa kita sedang mengidap sindrom “lupa-lupa ingat” a la Kuburan Band? Ataukah ini justifikasi atas tesis bahwa masalah kita adalah sulitnya mempertanggungjawabkan memoria, ingatan (Edy Kristianto, Sakaramen Politik, 2008)?
Lupa adalah gerakan tidak sadar. Leo Tolstoy dalam Diary (1897) menulis, jika kehidupan berlalu tanpa disadari, kehidupan itu tidak pernah terjadi. Secara psikologis lupa adalah peristiwa yang menyusup dalam arus kesadaran sehingga ada di luar kendali. Sementara itu Edmuns Husserl, seorang yang pertama kali mengembangkan metode fenomenologi, melihat, saat peristiwa lupa berlalu, kesadaran pun melakukan refleksi. Hasil refleksi memutuskan bahwa kejadian sebelumnya telah melupakan sesuatu. Keputusan lupa adalah produk sadar, sedangkan peristiwa lupa itu kejadian di luar sadar.
Dalam kajian antropologis terungkap sebuah ritus yang dijalankan dengan tingkat duplikasi yang tinggi dari waktu ke waktu yakni gerakan sadar untuk melawan lupa. Dalam perspektif kebudayaan, pelestarian tradisi pada zaman yang terus berubah bukan melawan perubahan, tetapi melawan diri sendiri agar tidak lalai. Di sinilah letak permasalahan yang dialami oleh bangsa Indonesia. Kita lemah dalam menjaga dan melestarikan budaya kita sendiri.
Hemat saya ada tiga indikator yang menunjukkan dengan jelas bahwa bangsa kita sekarang sedang “lupa-lupa ingat” terhadap budaya sendiri. Pertama, Indonesia sudah menjadi bangsa pelupa yang mudah sekali melupakan dan menenggelamkan sesuatu dalam dunia keterlupaan. Dalam kaitannya dengan polemik budaya yang sekarang sedang terjadi, bangsa Indonesia cukup merasa risih ketika orang mengatakan bahwa Indonesia hanya memiliki masa lalu tetapi tidak memliki masa depan (Bdk. Kompas, 7 September 2009). Pernyataan ini terkesan amat miris jika ditafsir lebih jauh. Hemat saya, memiliki masa lalu tetapi tidak memiliki masa depan sama dengan menenggelamkan separuh masa lalu. Masa lalu tidak lagi menjadi “the best teacher” bagi kita untuk membangun masa depan.
Kedua, kelupaan akan budaya bangsa nampak dalam ketidaktegaran dan ketidaktegasan untuk menyelesaikan persoalan yang mencuat di negeri ini. Indonesia menjadi ruang yang sesak dan pengap oleh kompleksitas persoalan yang tidak bisa sama sekali atau belum sepenuhnya dituntaskan. Karena itu ketika Malaysia pertama kali mengklaim produk budaya kita sebagai milik mereka, bangsa kita masih ‘adem-ayem’ untuk menanggapinya. Barulah belakangan muncul banyak gerakan melawan aksi brutal Malaysia termasuk beberapa stasiun TV Indonesia mulai dengan iklan pelestarian produk budaya bangsa.
Ketiga, kelupaan budaya Indonesia ditandai pula oleh ketidaksanggupan (impotensi) untuk memproduksi para pemimpin, pejabat publik yang memiliki sensitivitas terhadap kepentingan budaya. Kita butuh pemimpin yang berpegang teguh pada prinsip-prinsip nasionalisme. Pengalaman kekalahan di mahkamah internasioanal atas kedua pulau, Sipadan dan Sigitan, merupakan indikasi ketidaksanggupan para pemimpin dalam menyelesaikan masalah.
Meskipun demikian kelupaan terhadap budaya bangsa Indonesia ini merupakan persoalan bangsa yang meminta penyembuhan dan penanganan yang serius dari kita semua yang menanamkan diri sebagai anak-anak bangsa. Penanganan yang serius berarti berangkat dari pluralitas peran dan tanggung jawab, yakni dari rakyat melalui partisipasi dan kontrol yang kuat terhadap para pejabat publik dan setiap kebijakan yang diambil. Atau juga dari pejabat publik lewat mengembangkan amanat dan aspirasi rakyat yang ia wakili dengan penuh tanggung jawab. Penanganan yang demikian memungkinkan Indonesia kembali berdiri tegak bak seorang anak muda yang tengah melangkah, menyongsong hari esok Indonesia baru sembari membuang jauh-jauh kebiasaan kita untuk “lupa-lupa ingat” terhadap budaya kita sendiri.
Ruke
KELEMAHAN KITA SEBAGAI BANGSA INDONESIA (Sebuah Umpan Balik Untuk Berbenah Kembali Sebagai Bangsa Yang Kaya)
Egi Binsasi
Kebudayaan merupakan suatu yang hidup dan berkembang dalam masyarakat serta tidak dapat terlepas dari masyarakat. Kebudayaan itu meliputi sesuatu yang abstrak (berpikir) sampai pada bentuk yang kongkrit seperti seni tari, arsitektur, lagu, dll. Di mana terdapat manusia, maka dengan sendirinya kebudayaan ada dengan sendirinya. Kebudayaan setiap masyarakat pada suatu wilayah berbeda dengan kebudayaan masyarakat pada wilayah lain.
Beberapa minggu terakhir ini, muncul berbagai berita mengenai tindakan-tindakan pengklaiman sepihak terhadap karya seni budaya bangsa Indonesia. Malaysia yang merupakan Negara tetangga, secara sepihak mengklaim beberapa budaya bangsa Indonesia. Tindakan tidak terpuji ini mengundang amarah dari seluruh masyarakat yang merasa tidak dihargai dan dihormati kreativitas mereka. Meskipun demikian kita juga perlu bertanya da berbenah diri, mengapa budaya kita dipakai Malaysia iklan promosi budaya mereka
Kelemahan Kita Sebagai Bangsa Indonesia
Ada beberapa indikator yang memperlihatkan bahwa bangasa kita ‘lemah’ dalam pelestarian budaya. Pertama. Ketidakseriusan dalam usaha menjaga dan melestarikan budaya. Dalam UU No. 19 tahun 2002 tentang Hak Cipta pada pasal 10 ayat 2 berbunyi Negara sebagai pemegang hak cipta atas folklor dan hasil kebudayaan masyarakat yang merupakan kekayaan bersama (cerita, hikayat, dongeng, legenda, tarian, koreografi, kaligrafi, dan karya seni lainnya). Meskipun telah ada peraturan dan undang-undang perlindungan budaya tetapi tetap terjadi pembajakan terhadap karya cipta bangsa kita. Hal ini mengindikasikan bahwa pemerintah tidak mendalaminya secara serius bahkan kelihatannya membiarkan saja hal itu terjadi.
Kedua, ketiadaan inventarisasi kebudayaan di seluruh wilayah Indonesia. Sampai saat ini (per KOMPAS, 31 Agustus 2009) baru tercatat tiga propinsi (Bali, Daerah Istimewa Jogjakarta, dan Nusa Tenggara Barat ) yang memasukan daftar khasanah seni dan budayanya dari tiga puluh tiga propinsi yang ada di Indonesia. Akibatnya mudah ditebak bahwa sampai saat ini bangsa kita belum memiliki draf atau daftar inventarisasi seluruh kekayaan budayanya mulai dari Sabang sampai Merauke. Tidak heran bila kasus ini merebak di permukaan Indonesia sebagai Negara yang merdeka tidak dapat menggugat Malaysia secara hokum melalui Lembaga Internasional Perlindungan Hak Cipta di Genewa karena belum mendaftarkan seluruh aset seni dan budaya pada lembaga tersebut.
Ketiga, birokrasi yang panjang dan rumit. Masyarakat yang berkarya menghasilkan sesuatu yang berhubungan dengan seni budaya diminta melakukan pendaftaran pada pemerintah melalui Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual Depertemen Hukum dan Hak Asasi Manusia untuk memperoleh hak paten atas karyanya itu. Birokrasi pendataan hak cipta sejak 2002 sampai 2009 ada 24.603 permintaan untuk memperoleh hak patent yang belum terselesaikan. Mengapa didaftar sejak tahun 2002 hingga 2009 belum kelar juga urusannya? Rupanya birokrasi yang panjang dan rumit menjadi momok serius. Bukan menjadi hal yang baru bila ada uang semua urusan yang berkaitan dengan administrasi akan selesai dengan cepat, sekali masuk membawa setumpuk uang, maka pulang dengan membawa hak patent atas karyanya itu.
Keempat, promosi budaya yang tidak efektif. Pemerintah harus melakukan promosi budaya. Menurut Jero Wacik (Menteri Kebudayaan dan Pariwisata) biasanya dibuat pementasan di luar negeri. Menurut saya merupakan pernyataan yang kurang luas, sempit, dan terbatas. Pementasan di luar negeri dinilai sangat tidak efektif baik dari segi ketenagaan, waktu dan, biaya. Kita dapat memasang iklan di media massa dan elektronik bahkan melalui internet yang sekarang dapat diakses dengan mudah dan cepat oleh semua orang.
Kelima, enggan mengkonsumsi produk budaya sendiri. Di era globalisasi sekarang ini, orang cendeerung lupa pada budaya sendiri. Westernisasi terjadi di mana-mana. Orang lebih suka pada warna rambut yang pirang, pintal, dan memakai pakaian luar negeri dibandingkan dengan warna rambut hitam, atau pakaian dengan merek dalam negeri. Demikian pula yang terjadi dengan kecintaan pada budaya kita. Paranawe, dance, judo dipelajari dan didalami sedangkan tari bidu, caci, silat kampong merana tak tentu rimbanya
Malaysia sendiri kelihatannya proaktif publikasi, lewat media massa dan elektronik juga lewat buku seni budaya (terbitan swasta dan negeri) termasuk melakukan promosi tari pendhet dari Bali sebagai kekayaan budaya negerinya melalui internet. Buku Spirit of Wood, The Art Malay Woodcarfing: seni budaya di Kelantan, Terengganu, Pattani sepeerti seni ukir kayu, pembuatan keris, penggunungan wayang, mebel, hiasan dinding, arsitektur rumah, dan perkakas rumah tangga, batik, tarian, maupun kesenian rakya. Ini mirip dengan buku-buku Indonesia Ensiklopedi wayang, teater tradisional Indonesia, kain nontenun Indonesia.
Akhir kata, sebagai warga negara, kita perlu menumbuhkan minat dan cinta pada produk, seni dan budaya bangsa kita. Pemerintah perlu membuat inventarisasi seluruh seni dan budaya secara serius yang kemudian diteruskan pada lembaga atau instansi terkait, merampingkan dan memudahkan proses birokrasi untuk memperoleh hak paten atas karya seni yang dihasilkan dengan kemampuan sendiri. Dengan demikian kita tidak perlu ragu melainkan secara tegas dan berani menuntut kembali milik kita yang diklaim secara sepihak oleh pihak asing.
Binzar
Kebudayaan merupakan suatu yang hidup dan berkembang dalam masyarakat serta tidak dapat terlepas dari masyarakat. Kebudayaan itu meliputi sesuatu yang abstrak (berpikir) sampai pada bentuk yang kongkrit seperti seni tari, arsitektur, lagu, dll. Di mana terdapat manusia, maka dengan sendirinya kebudayaan ada dengan sendirinya. Kebudayaan setiap masyarakat pada suatu wilayah berbeda dengan kebudayaan masyarakat pada wilayah lain.
Beberapa minggu terakhir ini, muncul berbagai berita mengenai tindakan-tindakan pengklaiman sepihak terhadap karya seni budaya bangsa Indonesia. Malaysia yang merupakan Negara tetangga, secara sepihak mengklaim beberapa budaya bangsa Indonesia. Tindakan tidak terpuji ini mengundang amarah dari seluruh masyarakat yang merasa tidak dihargai dan dihormati kreativitas mereka. Meskipun demikian kita juga perlu bertanya da berbenah diri, mengapa budaya kita dipakai Malaysia iklan promosi budaya mereka
Kelemahan Kita Sebagai Bangsa Indonesia
Ada beberapa indikator yang memperlihatkan bahwa bangasa kita ‘lemah’ dalam pelestarian budaya. Pertama. Ketidakseriusan dalam usaha menjaga dan melestarikan budaya. Dalam UU No. 19 tahun 2002 tentang Hak Cipta pada pasal 10 ayat 2 berbunyi Negara sebagai pemegang hak cipta atas folklor dan hasil kebudayaan masyarakat yang merupakan kekayaan bersama (cerita, hikayat, dongeng, legenda, tarian, koreografi, kaligrafi, dan karya seni lainnya). Meskipun telah ada peraturan dan undang-undang perlindungan budaya tetapi tetap terjadi pembajakan terhadap karya cipta bangsa kita. Hal ini mengindikasikan bahwa pemerintah tidak mendalaminya secara serius bahkan kelihatannya membiarkan saja hal itu terjadi.
Kedua, ketiadaan inventarisasi kebudayaan di seluruh wilayah Indonesia. Sampai saat ini (per KOMPAS, 31 Agustus 2009) baru tercatat tiga propinsi (Bali, Daerah Istimewa Jogjakarta, dan Nusa Tenggara Barat ) yang memasukan daftar khasanah seni dan budayanya dari tiga puluh tiga propinsi yang ada di Indonesia. Akibatnya mudah ditebak bahwa sampai saat ini bangsa kita belum memiliki draf atau daftar inventarisasi seluruh kekayaan budayanya mulai dari Sabang sampai Merauke. Tidak heran bila kasus ini merebak di permukaan Indonesia sebagai Negara yang merdeka tidak dapat menggugat Malaysia secara hokum melalui Lembaga Internasional Perlindungan Hak Cipta di Genewa karena belum mendaftarkan seluruh aset seni dan budaya pada lembaga tersebut.
Ketiga, birokrasi yang panjang dan rumit. Masyarakat yang berkarya menghasilkan sesuatu yang berhubungan dengan seni budaya diminta melakukan pendaftaran pada pemerintah melalui Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual Depertemen Hukum dan Hak Asasi Manusia untuk memperoleh hak paten atas karyanya itu. Birokrasi pendataan hak cipta sejak 2002 sampai 2009 ada 24.603 permintaan untuk memperoleh hak patent yang belum terselesaikan. Mengapa didaftar sejak tahun 2002 hingga 2009 belum kelar juga urusannya? Rupanya birokrasi yang panjang dan rumit menjadi momok serius. Bukan menjadi hal yang baru bila ada uang semua urusan yang berkaitan dengan administrasi akan selesai dengan cepat, sekali masuk membawa setumpuk uang, maka pulang dengan membawa hak patent atas karyanya itu.
Keempat, promosi budaya yang tidak efektif. Pemerintah harus melakukan promosi budaya. Menurut Jero Wacik (Menteri Kebudayaan dan Pariwisata) biasanya dibuat pementasan di luar negeri. Menurut saya merupakan pernyataan yang kurang luas, sempit, dan terbatas. Pementasan di luar negeri dinilai sangat tidak efektif baik dari segi ketenagaan, waktu dan, biaya. Kita dapat memasang iklan di media massa dan elektronik bahkan melalui internet yang sekarang dapat diakses dengan mudah dan cepat oleh semua orang.
Kelima, enggan mengkonsumsi produk budaya sendiri. Di era globalisasi sekarang ini, orang cendeerung lupa pada budaya sendiri. Westernisasi terjadi di mana-mana. Orang lebih suka pada warna rambut yang pirang, pintal, dan memakai pakaian luar negeri dibandingkan dengan warna rambut hitam, atau pakaian dengan merek dalam negeri. Demikian pula yang terjadi dengan kecintaan pada budaya kita. Paranawe, dance, judo dipelajari dan didalami sedangkan tari bidu, caci, silat kampong merana tak tentu rimbanya
Malaysia sendiri kelihatannya proaktif publikasi, lewat media massa dan elektronik juga lewat buku seni budaya (terbitan swasta dan negeri) termasuk melakukan promosi tari pendhet dari Bali sebagai kekayaan budaya negerinya melalui internet. Buku Spirit of Wood, The Art Malay Woodcarfing: seni budaya di Kelantan, Terengganu, Pattani sepeerti seni ukir kayu, pembuatan keris, penggunungan wayang, mebel, hiasan dinding, arsitektur rumah, dan perkakas rumah tangga, batik, tarian, maupun kesenian rakya. Ini mirip dengan buku-buku Indonesia Ensiklopedi wayang, teater tradisional Indonesia, kain nontenun Indonesia.
Akhir kata, sebagai warga negara, kita perlu menumbuhkan minat dan cinta pada produk, seni dan budaya bangsa kita. Pemerintah perlu membuat inventarisasi seluruh seni dan budaya secara serius yang kemudian diteruskan pada lembaga atau instansi terkait, merampingkan dan memudahkan proses birokrasi untuk memperoleh hak paten atas karya seni yang dihasilkan dengan kemampuan sendiri. Dengan demikian kita tidak perlu ragu melainkan secara tegas dan berani menuntut kembali milik kita yang diklaim secara sepihak oleh pihak asing.
Binzar
BUDAYAKU MATI LEMAS KARENA AKU
Egas Foni
Bangsa indonesia adalah bangsa yang kaya. Kekayaan itu nampak dari banyaknya pulau, barang tambang, adat istiadat, kekayaan alam dan budaya. Sebagai warga negara Indonesia, sudah sepantasnya kita bangga dengan keanekaan ini. Keanekaan ini harus dilestarikan. Upaya pelestariannya yakni merawat dan memamerkannya kepada dunia. Cara ini dimaksudkan agar apa yang menjadi milik kita diketahui dan dihormati oleh dunia.
Menangapi persoalan yang lagi hangat dibicarakan di indonesia perihal polemik budaya antara indonesia-malaysia, kesan penulis sebenarnya tidak terjadi apa yang disebut mutilasi budaya. Penulis beranggapan bahwa pendapat yang dikemukakan oleh Ahmad Nyarwi dalam kompas, senin 7 september 2009 tentang mutilasi budaya indonesia oleh Malaysia adalah pemikiran yang gegabah dan terlalu terburu-buru. Penulis melihat bahwa klaim ini muncul karena luapan kekesalan terhadap tayangan tari pendet asal Bali dalam promosi tahun kunjungan Malaysia.
Luapan kekesalani ini ditambah opini-opini yang menyudutkan malaysia membuat warga indonesia belum lama ini mengadakan aksi sweeping WN Malaysia di Jakarta dan daerah lainnya. Sementara itu, Malaysiakini.com menulis, kemarahan rakyat Indonesia sudah memuncak disusul berita TV mengenai lebih 360 sukarelawan ilmu kebal sudah mendaftar dan bersedia untuk mengganyang Malaysia. Apakah tindakan seperti ini pantas dilakukan dan sekaligus bisa menyelesaikan maslah antara kedua negara ini?
Juru Bicara Kelompok Pakar (Eminent Person Group/EPG) Indonesia-Malaysia, Musni Umar,
EPG Indonesia-Malaysia, berpendapat bahwa masalah isu klaim budaya dapat diselesaikan dengan win-win solution (saling menguntungkan) melalui kolaborasi promosi pariwisata Indonesia-Malaysia. Untuk masalah budaya yang masuk dalam wilayah abu-abu kedua pihak sepakat untuk saling meminta izin apabila akan digunakan dalam iklan komersial. Hal ini sesuai dengan kesepakatan antara Menteri Kebudayaan dan Pariwisata RI Jero Wacik dan Menteri Malaysia Rais Yatim di Kuala Lumpur pada 10 November 2007. Permasalahan muncul ketika Malaysia menggunakan tarian pendet dan batik dalam promosi budaya mereka. Hal ini tentunya berada di luar kesepakatan itu karena tarian pendet merupakan kebudayan asli Indonesia asal Bali.
Terhadap masalah ini, Norman Abdul Halim, produser film dokumenter Malaysia, meminta maaf atas klaim batik dan tari pendet serta menghentikan iklan enigmatik Malaysia. Bahkan Menlu Malaysia, Dina Pati Djalal, dalam pertemuan dengan Presiden Susilo Bambang Yudoyono, mengungkapkam apresiasi dan kebanggan Malaysia yang mengakui banyak budaya mereka berasal dari Indonesia. Menurut saya, hal ini sebenarnya bisa “dimaklumi” mengingat penduduk Malaysia dulunya adalah orang Indonesia yang kemudian terpisahkan karena imperialisme. Jadi wajar bila budaya Indonesia diamalkan di Malaysia dan diturunkan ke generasi mereka selanjutnya. Ada dua hal yang jadi masalah di sini yakni; pertama, ketika budaya tersebut tidak di-acknowledge dengan jelas sebagai budaya milik Indonesia. Kedua, budaya tersebut dimanfaatkan hanya untuk kepentingan intern Malaysia. Ini tentu tidak bisa dibenarkan.
Meskipun demikian, kita tentu tidak melulu mempersalahkan Malaysia. Sudah saatnya kita berbalik dan berbenah diri. Salah satu penyebab mati lemasnya budaya kita adalah kaum hedonisme yang semarak subur di kota-kota besar lebih memilih mengkonsumsi barang-barang luar negeri ketimbang produk dalam negeri. Bagaimana mau bangga dengan hasil produk negeri sendiri kalau menggunakan saja masih gengsi?
Masyarakat Indonesia bersikap acuh tak acuh akan seni dan kebudayaannya sendiri. Kita merasa marah ketika ada yang mencuri identitas bangsa kita. Namun mengapa sebelum kejadian ini, kita seakan tak mengenal seni dan budaya kita sendiri, bahkan lebih menyukai dan mencintai budaya asing. Karena itu, hal yang harus dibenahi ialah masalah identitas diri yang sempit. Kita lebih bangga dengan daerah, budaya, suku, dan agama kita daripada memeyebutkan diri sebagai orang Indonesia. Kecendrungan yang besar selalu tampak dalam pengkotak-kotakan menurut suku, agama, dan daerah.
Lalu apa yang harus kita lakukan? Hal yang harus dilakukan yakni terbuka dan kritis terhadap budaya sendiri. Setiap budaya tentu memiliki kekurangan, Tips mendewa-dewakan budaya sendiri dan mengaanggap rendah budaya lain adalah tindakan kekanak-kanakan. Selain itu, nasionalisme juga perlu dipupuk. Memperkuat nasionalisme dapat dilakukan dengan meningkatkan penghargaan terhadap kekuataan budaya sendiri. Bukannya dengan mengadakan aksi sweeping terhadap warga negara Malaysia. Menghargai budaya sendiri tidak berarti mengatakan bahwa budaya kita adalah pusat segala peradapan .
Egaz
Bangsa indonesia adalah bangsa yang kaya. Kekayaan itu nampak dari banyaknya pulau, barang tambang, adat istiadat, kekayaan alam dan budaya. Sebagai warga negara Indonesia, sudah sepantasnya kita bangga dengan keanekaan ini. Keanekaan ini harus dilestarikan. Upaya pelestariannya yakni merawat dan memamerkannya kepada dunia. Cara ini dimaksudkan agar apa yang menjadi milik kita diketahui dan dihormati oleh dunia.
Menangapi persoalan yang lagi hangat dibicarakan di indonesia perihal polemik budaya antara indonesia-malaysia, kesan penulis sebenarnya tidak terjadi apa yang disebut mutilasi budaya. Penulis beranggapan bahwa pendapat yang dikemukakan oleh Ahmad Nyarwi dalam kompas, senin 7 september 2009 tentang mutilasi budaya indonesia oleh Malaysia adalah pemikiran yang gegabah dan terlalu terburu-buru. Penulis melihat bahwa klaim ini muncul karena luapan kekesalan terhadap tayangan tari pendet asal Bali dalam promosi tahun kunjungan Malaysia.
Luapan kekesalani ini ditambah opini-opini yang menyudutkan malaysia membuat warga indonesia belum lama ini mengadakan aksi sweeping WN Malaysia di Jakarta dan daerah lainnya. Sementara itu, Malaysiakini.com menulis, kemarahan rakyat Indonesia sudah memuncak disusul berita TV mengenai lebih 360 sukarelawan ilmu kebal sudah mendaftar dan bersedia untuk mengganyang Malaysia. Apakah tindakan seperti ini pantas dilakukan dan sekaligus bisa menyelesaikan maslah antara kedua negara ini?
Juru Bicara Kelompok Pakar (Eminent Person Group/EPG) Indonesia-Malaysia, Musni Umar,
EPG Indonesia-Malaysia, berpendapat bahwa masalah isu klaim budaya dapat diselesaikan dengan win-win solution (saling menguntungkan) melalui kolaborasi promosi pariwisata Indonesia-Malaysia. Untuk masalah budaya yang masuk dalam wilayah abu-abu kedua pihak sepakat untuk saling meminta izin apabila akan digunakan dalam iklan komersial. Hal ini sesuai dengan kesepakatan antara Menteri Kebudayaan dan Pariwisata RI Jero Wacik dan Menteri Malaysia Rais Yatim di Kuala Lumpur pada 10 November 2007. Permasalahan muncul ketika Malaysia menggunakan tarian pendet dan batik dalam promosi budaya mereka. Hal ini tentunya berada di luar kesepakatan itu karena tarian pendet merupakan kebudayan asli Indonesia asal Bali.
Terhadap masalah ini, Norman Abdul Halim, produser film dokumenter Malaysia, meminta maaf atas klaim batik dan tari pendet serta menghentikan iklan enigmatik Malaysia. Bahkan Menlu Malaysia, Dina Pati Djalal, dalam pertemuan dengan Presiden Susilo Bambang Yudoyono, mengungkapkam apresiasi dan kebanggan Malaysia yang mengakui banyak budaya mereka berasal dari Indonesia. Menurut saya, hal ini sebenarnya bisa “dimaklumi” mengingat penduduk Malaysia dulunya adalah orang Indonesia yang kemudian terpisahkan karena imperialisme. Jadi wajar bila budaya Indonesia diamalkan di Malaysia dan diturunkan ke generasi mereka selanjutnya. Ada dua hal yang jadi masalah di sini yakni; pertama, ketika budaya tersebut tidak di-acknowledge dengan jelas sebagai budaya milik Indonesia. Kedua, budaya tersebut dimanfaatkan hanya untuk kepentingan intern Malaysia. Ini tentu tidak bisa dibenarkan.
Meskipun demikian, kita tentu tidak melulu mempersalahkan Malaysia. Sudah saatnya kita berbalik dan berbenah diri. Salah satu penyebab mati lemasnya budaya kita adalah kaum hedonisme yang semarak subur di kota-kota besar lebih memilih mengkonsumsi barang-barang luar negeri ketimbang produk dalam negeri. Bagaimana mau bangga dengan hasil produk negeri sendiri kalau menggunakan saja masih gengsi?
Masyarakat Indonesia bersikap acuh tak acuh akan seni dan kebudayaannya sendiri. Kita merasa marah ketika ada yang mencuri identitas bangsa kita. Namun mengapa sebelum kejadian ini, kita seakan tak mengenal seni dan budaya kita sendiri, bahkan lebih menyukai dan mencintai budaya asing. Karena itu, hal yang harus dibenahi ialah masalah identitas diri yang sempit. Kita lebih bangga dengan daerah, budaya, suku, dan agama kita daripada memeyebutkan diri sebagai orang Indonesia. Kecendrungan yang besar selalu tampak dalam pengkotak-kotakan menurut suku, agama, dan daerah.
Lalu apa yang harus kita lakukan? Hal yang harus dilakukan yakni terbuka dan kritis terhadap budaya sendiri. Setiap budaya tentu memiliki kekurangan, Tips mendewa-dewakan budaya sendiri dan mengaanggap rendah budaya lain adalah tindakan kekanak-kanakan. Selain itu, nasionalisme juga perlu dipupuk. Memperkuat nasionalisme dapat dilakukan dengan meningkatkan penghargaan terhadap kekuataan budaya sendiri. Bukannya dengan mengadakan aksi sweeping terhadap warga negara Malaysia. Menghargai budaya sendiri tidak berarti mengatakan bahwa budaya kita adalah pusat segala peradapan .
Egaz
Terima Kasih Malaysia
Obeth Oula'a
Dalam beberapa bulan terakhir, polemik budaya Malaysia-Indonesia meramaikan berbagai media massa. Polemik ini terjadi karena pihak Malaysia menggunakan tari Pendet dalam iklan kebudayaan mereka. Menilik dari sudut terbentuknya, budaya lahir dan seumur masyrakat yang merupakan empunya budaya tersebut. Ia lahir dan terbentuk bukan seperti proses penemuan alat-alat teknologi atau penemuan ilmiah lain yang yang diperoleh melalui eksperimen atau penelitian ilmiah. Dengan demikian budaya merupakan kekhasan suatu masyrakat, kelompok , daerah atau bahkan Negara tertentu.
Berkaca pada realitas yang terjadi saat ini, pihak Malaysia mengklaim bahwa tarian Pendet merupakan budaya mereka. Tarian Pendet bukan satu-satu produk budaya yang diklaim karena sebelumnya beberapa produk budaya seperti tari Reog Ponorogo, batik, dan sebuah lagu daerah Nias mengalami nasib yang sama. Pengklaiman dari Malasyia ini sesungguhnya telah menimbulkan reaksi yang sangat kurang positif dari bangsa Indonesia. Ada begitu banyak komentar dengan nada yang beragam pula; ada yang menyesali perbuatan itu, ada yang mengutuk dengan keras bahkan ada yang menganggap bahwa Negara Malaysia adalah Negara yang sedang mencari identitas diri karena tidak mempunyai masa lalu
Terhadap berbagai respon kekesalan itu, saya dapat menyimpulkan bahwa masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang sungguh mencintai budayanya sekaligus mempunyai rasa nasionalismen yang tinggi. Saya katakan demikian karena tari pendet itu hanya merupakan tarian khas milik masyrakat Bali. Meskipun demikian reaksi protes bukan hanya dari masyarakat Bali tetapi semua warga negara Indonesia. Intinya hanya satu yaitu tari Pendet adalah milik bangsa indonesia dan bukan milik bangsa Malaysia. Dari reaksi ini juga kita boleh katakan bahwa bangsa indonesia adalah bangsa yang lahir dan dibesarkan dalam budaya budaya. Bukti nyata dari pernyataan ini adalah adanya upaya untuk mempertahankan dan melestarikan budaya masing-masing.
Dari sekian banyak komentar yang diposting dalam internet, surat kabar baik yang dalam bentuk berita maupun opini dan juga melalui siaran televisi, yang paling menarik bagi saya adalah opini pada tanggal 7 september yang berbunyi, “ bangsa Indoneisa adalah bangsa yang hanya memiliki masa lalu dan tidak memiliki masa depan sedangkan negara Malaysia adalah negara yang hanya memiliki masa depan dan tidak memiliki masa lalu.
Ada dua hal yang perlu dikritisi dalam pernyataan ini. Pertama, negara Indonesia adalah negara yang hanya memiliki masa lalu. Pernyataan ini sepertinya sengaja untuk memancing emosi bangsa indonesia supaya bertindak secara cepat dan mampu membaca tanda-tanda zaman. Memang tak dapat dipungkiri bahwa bangsa indonesia termasuk negara yang belum mempunyai pengaruh dalam kancah internasional. Mungkin hal ini yang menjadi salah satu faktor yang menyebabkan mengapa Malaysia dengan mudah mengklaim kebudayaan bangsa indonesia sebagai milik mereka. Kedua, negara Malaysia adalah negara yang tidak mempunyai masa lalu. Pernyataan ini mengibaratkan pohon yang tak berakar, suatu negara tanpa sejarah. Sebagai negara yang tidak mempunyai masa lalu, tentunya ia selalu berada dalam krisis seperti krisis identitas dan jati diri. Pada saat ia menyadari ketakberakarnya itu ia bisa melakukan apa saja agar tetap diakui oleh bangsa atau negara lain, termasuk mengadopsi budaya orang lain.
Terlepas dari komentar terhadap tindakan pemerintah Malaysia, kita juga mesti kembali berkaca dan berbenah diri. Namun sebelumnya kita juga perlu melihat bagaimana hubungan antara ke dua bangsa ini? Mereka mengirim teroris untuk memporak-porandakan Indonesia, mereka mencuri kebudayaan Indonesia. Sedangkan Indonesia sendiri baru sadar ketika segalanya sudah menjadi masalah. Pengklaiman terhadap budaya Indonesia di satu sisi merupakan masukan bagi bangsa Indonesia supaya negara Indonesia bisa mempromosikan kebudayaannya itu ke panggung internasional. Keuntungan dari pengklaiman ini juga adalah bahwa dengan ini bangsa Indonesia ternyata punya rasa nasionalisme yang tinggi.
Obeth
Dalam beberapa bulan terakhir, polemik budaya Malaysia-Indonesia meramaikan berbagai media massa. Polemik ini terjadi karena pihak Malaysia menggunakan tari Pendet dalam iklan kebudayaan mereka. Menilik dari sudut terbentuknya, budaya lahir dan seumur masyrakat yang merupakan empunya budaya tersebut. Ia lahir dan terbentuk bukan seperti proses penemuan alat-alat teknologi atau penemuan ilmiah lain yang yang diperoleh melalui eksperimen atau penelitian ilmiah. Dengan demikian budaya merupakan kekhasan suatu masyrakat, kelompok , daerah atau bahkan Negara tertentu.
Berkaca pada realitas yang terjadi saat ini, pihak Malaysia mengklaim bahwa tarian Pendet merupakan budaya mereka. Tarian Pendet bukan satu-satu produk budaya yang diklaim karena sebelumnya beberapa produk budaya seperti tari Reog Ponorogo, batik, dan sebuah lagu daerah Nias mengalami nasib yang sama. Pengklaiman dari Malasyia ini sesungguhnya telah menimbulkan reaksi yang sangat kurang positif dari bangsa Indonesia. Ada begitu banyak komentar dengan nada yang beragam pula; ada yang menyesali perbuatan itu, ada yang mengutuk dengan keras bahkan ada yang menganggap bahwa Negara Malaysia adalah Negara yang sedang mencari identitas diri karena tidak mempunyai masa lalu
Terhadap berbagai respon kekesalan itu, saya dapat menyimpulkan bahwa masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang sungguh mencintai budayanya sekaligus mempunyai rasa nasionalismen yang tinggi. Saya katakan demikian karena tari pendet itu hanya merupakan tarian khas milik masyrakat Bali. Meskipun demikian reaksi protes bukan hanya dari masyarakat Bali tetapi semua warga negara Indonesia. Intinya hanya satu yaitu tari Pendet adalah milik bangsa indonesia dan bukan milik bangsa Malaysia. Dari reaksi ini juga kita boleh katakan bahwa bangsa indonesia adalah bangsa yang lahir dan dibesarkan dalam budaya budaya. Bukti nyata dari pernyataan ini adalah adanya upaya untuk mempertahankan dan melestarikan budaya masing-masing.
Dari sekian banyak komentar yang diposting dalam internet, surat kabar baik yang dalam bentuk berita maupun opini dan juga melalui siaran televisi, yang paling menarik bagi saya adalah opini pada tanggal 7 september yang berbunyi, “ bangsa Indoneisa adalah bangsa yang hanya memiliki masa lalu dan tidak memiliki masa depan sedangkan negara Malaysia adalah negara yang hanya memiliki masa depan dan tidak memiliki masa lalu.
Ada dua hal yang perlu dikritisi dalam pernyataan ini. Pertama, negara Indonesia adalah negara yang hanya memiliki masa lalu. Pernyataan ini sepertinya sengaja untuk memancing emosi bangsa indonesia supaya bertindak secara cepat dan mampu membaca tanda-tanda zaman. Memang tak dapat dipungkiri bahwa bangsa indonesia termasuk negara yang belum mempunyai pengaruh dalam kancah internasional. Mungkin hal ini yang menjadi salah satu faktor yang menyebabkan mengapa Malaysia dengan mudah mengklaim kebudayaan bangsa indonesia sebagai milik mereka. Kedua, negara Malaysia adalah negara yang tidak mempunyai masa lalu. Pernyataan ini mengibaratkan pohon yang tak berakar, suatu negara tanpa sejarah. Sebagai negara yang tidak mempunyai masa lalu, tentunya ia selalu berada dalam krisis seperti krisis identitas dan jati diri. Pada saat ia menyadari ketakberakarnya itu ia bisa melakukan apa saja agar tetap diakui oleh bangsa atau negara lain, termasuk mengadopsi budaya orang lain.
Terlepas dari komentar terhadap tindakan pemerintah Malaysia, kita juga mesti kembali berkaca dan berbenah diri. Namun sebelumnya kita juga perlu melihat bagaimana hubungan antara ke dua bangsa ini? Mereka mengirim teroris untuk memporak-porandakan Indonesia, mereka mencuri kebudayaan Indonesia. Sedangkan Indonesia sendiri baru sadar ketika segalanya sudah menjadi masalah. Pengklaiman terhadap budaya Indonesia di satu sisi merupakan masukan bagi bangsa Indonesia supaya negara Indonesia bisa mempromosikan kebudayaannya itu ke panggung internasional. Keuntungan dari pengklaiman ini juga adalah bahwa dengan ini bangsa Indonesia ternyata punya rasa nasionalisme yang tinggi.
Obeth
Puisi-puisi Thoy Hale
PERTEMUAN
Kalau kata lepas tak sangka
Biarlah!
Ia telah kembali
Kepada sunyi
Di suatu lembah tak berkaki.
inspirasi
aku selalu menulis dalam malam
melukis gelap yang tak terbaca
merangkai kata yang tak bermakna
di sana kutemukan syair untuk mengurai rasa
…
Warisan terakhir dari kakak kakek adalah KATA
rindu
I
hujan yang menghujam
kepagi-pagian
merebut angan yang terencana
II
untuk masa yang belum tiba
kita menanti dan berharap
III
O, Tuhan yang tak terduga
datanglah di pagi yang lelah ini
bebaskan niat yang terbelenggu raga
DI RUMAH RENTA
Sepanjang waktu
Ketika gigi-gigi tanggal
Oleh usia
Suara kematian itu mendekat
Rapat!
Diam-diam
Kenangan mencairkan mata
Kesadaran berujar bahasa yang sama
: Nasib telah dipangkas
Yang terbaik telah usai
Senja telah terbuka…
Kalau kata lepas tak sangka
Biarlah!
Ia telah kembali
Kepada sunyi
Di suatu lembah tak berkaki.
inspirasi
aku selalu menulis dalam malam
melukis gelap yang tak terbaca
merangkai kata yang tak bermakna
di sana kutemukan syair untuk mengurai rasa
…
Warisan terakhir dari kakak kakek adalah KATA
rindu
I
hujan yang menghujam
kepagi-pagian
merebut angan yang terencana
II
untuk masa yang belum tiba
kita menanti dan berharap
III
O, Tuhan yang tak terduga
datanglah di pagi yang lelah ini
bebaskan niat yang terbelenggu raga
DI RUMAH RENTA
Sepanjang waktu
Ketika gigi-gigi tanggal
Oleh usia
Suara kematian itu mendekat
Rapat!
Diam-diam
Kenangan mencairkan mata
Kesadaran berujar bahasa yang sama
: Nasib telah dipangkas
Yang terbaik telah usai
Senja telah terbuka…
KETIKA INDONESIA DITANTANG
Thoy Hale
Persoalan klaim tarian pendet dan beberapa aset kultur lain yang dilakukan oleh saudara serumpun menjadi top topic beberapa waktu terakhir ini. Berbagai lapisan masyarakat Indonesia yang tidak mau ketinggalan untuk mengikuti perkembangan berita demi berita tentang topik ini dan tidak sedikit pula yang melayangkan protes terhadap klaim Malaysia tersebut. Pertanyaan untuk bangsa Indonesia, apa yang ada di balik semua klaim ini?
Kalau kita mengamati problem ini dan bercermin kembali ke dalam diri, pasti kita akan merasa malu. Budaya yang lahir dari rahim Ibu Pertiwi kini diklaim Negara tetangga sebagai produk masyakarat mereka. Ini tentunya menjadi kritik pedas dan pukulan hebat terhadap strukturalisme amburadul Negara Indonesia. Amburadulisme yang terjadi bukan karena Indonesia tidak memiliki sistem pemerintahan yang terstruktur secara baik tetapi bisa dibaca sebagai Negara yang ‘selalu terlambat’. Setelah semuanya terjadi baru bangsa Indonesia sadar kalau memiliki ragam budaya yang khas.
Bangsa Reaktif
‘Mencegah lebih baik daripada mengobati’. Suatu ungkapan yang bagus dari para pendahulu kita. Tetapi kita cenderung untuk membaliknya, Rupanya bangsa Indonesia lebih membudayakan ‘pengobatan’ ketimbang ‘pencegahan’. Karena itu sepatutnya kalau kita juluki bangsa kita ini sebagai bangsa reaktif. Bangsa yang hanya memberi reaksi terhadap aksi dari bangsa lain. Bencana alam, terorisme, dan klaim budaya yang terjadi sekarang ini menjadi alasan mendasar untuk membuat otokritik terhadap bangsa kita sendiri. Kita cenderung untuk ‘menunggu’ bukannya proaktif untuk memulai terlebih dahulu.
Kalau sepenuhnya kita bebankan seluruh persoalan klaim ini sebagai kesalahan struktural, maka sebenarnya sence of belonging (rasa memiliki) budaya kita patut dipertanyakan. Kita adalah pewaris atas apa yang telah dilahirkan oleh nenek moyang kita. Ketika kita saling melempar tanggung jawab penanganan aset budaya lokal yang kita miliki maka sebenarnya kita memamerkan salah satu titik lemah yang kita miliki. Kita membuka peluang untuk bangsa lain ‘mengambil alih’ apa yang kita miliki. Fakta yang membanggakan bahwa Indonesia sangat kaya akan budaya lokal yang indah dan mengesankan. Namun dibalik kekayaan yang membanggakan ini, justru ada satu kelemahan besar yang dilihat sebagai ‘lubang’ yaitu pemerintah dan perangkat bangsa lainnya yang tidak punya komitmen untuk mematenkan apa yang menjadi hak bangsa Indonesia.
Nasionalisme dadakan
Ketika masyarakat Indonesia melayangkan berbagai macam aksi protes, ada satu perasaan yang muncul bersamaan. Nasionalisme muncul serentak di berbagai daerah. Nasionalisme yang muncul secara tiba-tiba ini memang menggegerkan dan sempat membuat Negara tetangga tersebut was-wasan, tetapi kita patut mempertanyakan nasionalisme jenis ini. Tari pendet yang dicuri menjadi puncak kemarahan semua suku bangsa Indonesia. Sebelumnya, sudah terlalu banyak budaya yang diklaim oleh daerah atau Negara lain sebagai milik mereka. Polemik dan kemarahan ini rupanya menjadi klimaks dari semua ketidakharmonisan politis antar kedua Negara serumpun ini. Akumulasi kemarahan ini bukan saja karena masalah tari pendet, tetapi masalah-masalah lain seperti persoalan TKI yang dianiaya, persoalan Ambalat, dan lain sebagainya.
Apabila kita membaca persoalan ini secara lurus, menurut saya kita akan sampai pada satu kesimpulan bahwa kita (Negara Indonesia) terlalu diremehkan. Kita ditelanjangi secara politis atau dalam bahasa Baskara T Wardaya “kita adalah Singa yang tak bergigi. Memang ini sedikit berbau provokatif, tetapi kalau kita mau mengerti secara terbalik sudah sepatutnya kita merasa malu dan segera berbenah diri. Sekiranya kita punya cara untuk membangkitkan rasa nasionalisme yang benar. Hal ini bukan bermaksud untuk menganggap aksi protes yang terjadi ini sebagai suatu sempalan tanpa makna, tetapi semata-mata hanya mau mencari tahu seberapa dalam kualitas semangat nasionalisme yang kita miliki.
Pengalaman klaim tari pendet dan aset budaya Indonesia lainnya ini sudah seharusnya menjadi pelajaran yang sangat berharga untuk kita. Dalam konteks lokal, masyarakat dan pemerinth daerah dituntut untuk menggali kembali apa yang menjadi kekhasan budaya kita. Seandainya kita mau supaya jangan ada pencuri yang menyusup masuk lagi, hemat saya kita perlu membangun suatu sistem yang memberi peluang dilestarikannya budaya bangsa kita. sebut saja sanggar-sanggar lokal yang ada di daerah kita masing-masing.
Nasionalisme yang saya maksudkan adalah membina suatu sikap memiliki apa yang menjadi budaya lokal, apa yang menjadi kekayaan lokal. Saya berani menyalahkan bangsa Indonesia karena kelambanan birokratif yang kita miliki. Kita selalu berkoar-koar tentang pengembangan pariwisata di berbagai daerah, tetapi pelaksanaan lapangan adalah ketidakadilan perhatian. Kalau tidak mau ada pencuri yang menyusup masuk lagi, mari kita bersama-sama membudayakan harta milik masyarakat kita yang telah turun- temurun dihidupi sejak nenek moyang kita.
Th-lee
Persoalan klaim tarian pendet dan beberapa aset kultur lain yang dilakukan oleh saudara serumpun menjadi top topic beberapa waktu terakhir ini. Berbagai lapisan masyarakat Indonesia yang tidak mau ketinggalan untuk mengikuti perkembangan berita demi berita tentang topik ini dan tidak sedikit pula yang melayangkan protes terhadap klaim Malaysia tersebut. Pertanyaan untuk bangsa Indonesia, apa yang ada di balik semua klaim ini?
Kalau kita mengamati problem ini dan bercermin kembali ke dalam diri, pasti kita akan merasa malu. Budaya yang lahir dari rahim Ibu Pertiwi kini diklaim Negara tetangga sebagai produk masyakarat mereka. Ini tentunya menjadi kritik pedas dan pukulan hebat terhadap strukturalisme amburadul Negara Indonesia. Amburadulisme yang terjadi bukan karena Indonesia tidak memiliki sistem pemerintahan yang terstruktur secara baik tetapi bisa dibaca sebagai Negara yang ‘selalu terlambat’. Setelah semuanya terjadi baru bangsa Indonesia sadar kalau memiliki ragam budaya yang khas.
Bangsa Reaktif
‘Mencegah lebih baik daripada mengobati’. Suatu ungkapan yang bagus dari para pendahulu kita. Tetapi kita cenderung untuk membaliknya, Rupanya bangsa Indonesia lebih membudayakan ‘pengobatan’ ketimbang ‘pencegahan’. Karena itu sepatutnya kalau kita juluki bangsa kita ini sebagai bangsa reaktif. Bangsa yang hanya memberi reaksi terhadap aksi dari bangsa lain. Bencana alam, terorisme, dan klaim budaya yang terjadi sekarang ini menjadi alasan mendasar untuk membuat otokritik terhadap bangsa kita sendiri. Kita cenderung untuk ‘menunggu’ bukannya proaktif untuk memulai terlebih dahulu.
Kalau sepenuhnya kita bebankan seluruh persoalan klaim ini sebagai kesalahan struktural, maka sebenarnya sence of belonging (rasa memiliki) budaya kita patut dipertanyakan. Kita adalah pewaris atas apa yang telah dilahirkan oleh nenek moyang kita. Ketika kita saling melempar tanggung jawab penanganan aset budaya lokal yang kita miliki maka sebenarnya kita memamerkan salah satu titik lemah yang kita miliki. Kita membuka peluang untuk bangsa lain ‘mengambil alih’ apa yang kita miliki. Fakta yang membanggakan bahwa Indonesia sangat kaya akan budaya lokal yang indah dan mengesankan. Namun dibalik kekayaan yang membanggakan ini, justru ada satu kelemahan besar yang dilihat sebagai ‘lubang’ yaitu pemerintah dan perangkat bangsa lainnya yang tidak punya komitmen untuk mematenkan apa yang menjadi hak bangsa Indonesia.
Nasionalisme dadakan
Ketika masyarakat Indonesia melayangkan berbagai macam aksi protes, ada satu perasaan yang muncul bersamaan. Nasionalisme muncul serentak di berbagai daerah. Nasionalisme yang muncul secara tiba-tiba ini memang menggegerkan dan sempat membuat Negara tetangga tersebut was-wasan, tetapi kita patut mempertanyakan nasionalisme jenis ini. Tari pendet yang dicuri menjadi puncak kemarahan semua suku bangsa Indonesia. Sebelumnya, sudah terlalu banyak budaya yang diklaim oleh daerah atau Negara lain sebagai milik mereka. Polemik dan kemarahan ini rupanya menjadi klimaks dari semua ketidakharmonisan politis antar kedua Negara serumpun ini. Akumulasi kemarahan ini bukan saja karena masalah tari pendet, tetapi masalah-masalah lain seperti persoalan TKI yang dianiaya, persoalan Ambalat, dan lain sebagainya.
Apabila kita membaca persoalan ini secara lurus, menurut saya kita akan sampai pada satu kesimpulan bahwa kita (Negara Indonesia) terlalu diremehkan. Kita ditelanjangi secara politis atau dalam bahasa Baskara T Wardaya “kita adalah Singa yang tak bergigi. Memang ini sedikit berbau provokatif, tetapi kalau kita mau mengerti secara terbalik sudah sepatutnya kita merasa malu dan segera berbenah diri. Sekiranya kita punya cara untuk membangkitkan rasa nasionalisme yang benar. Hal ini bukan bermaksud untuk menganggap aksi protes yang terjadi ini sebagai suatu sempalan tanpa makna, tetapi semata-mata hanya mau mencari tahu seberapa dalam kualitas semangat nasionalisme yang kita miliki.
Pengalaman klaim tari pendet dan aset budaya Indonesia lainnya ini sudah seharusnya menjadi pelajaran yang sangat berharga untuk kita. Dalam konteks lokal, masyarakat dan pemerinth daerah dituntut untuk menggali kembali apa yang menjadi kekhasan budaya kita. Seandainya kita mau supaya jangan ada pencuri yang menyusup masuk lagi, hemat saya kita perlu membangun suatu sistem yang memberi peluang dilestarikannya budaya bangsa kita. sebut saja sanggar-sanggar lokal yang ada di daerah kita masing-masing.
Nasionalisme yang saya maksudkan adalah membina suatu sikap memiliki apa yang menjadi budaya lokal, apa yang menjadi kekayaan lokal. Saya berani menyalahkan bangsa Indonesia karena kelambanan birokratif yang kita miliki. Kita selalu berkoar-koar tentang pengembangan pariwisata di berbagai daerah, tetapi pelaksanaan lapangan adalah ketidakadilan perhatian. Kalau tidak mau ada pencuri yang menyusup masuk lagi, mari kita bersama-sama membudayakan harta milik masyarakat kita yang telah turun- temurun dihidupi sejak nenek moyang kita.
Th-lee
Langgan:
Catatan (Atom)