Khamis, 29 Oktober 2009

Kembali ke Pangan Lokal

Charles DM

Warta agar kembali ke pangan lokal sedang gencar-gencarnya dikumandangkan di NTT. Oleh banyak pihak, di berbagai fora dan dalam aneka kesempatan, resonansi seruan tersebut dipertegas. Ada sejumlah alasan di baliknya.
Pertama, menggejalanya berasisasi. Beras menjadi makanan pilihan nomor satu yang menggeser posisi makanan lokal: ubi-ubian, jagung, kacang-kacangan, dll dari daftar menu harian masyarakat kita. Statistika nasional menunjukan, beras menempati 50% total konsumsi nasional. Sementara itu, masyarakat NTT termasuk dalam 96% penduduk Indonesia yang keranjingan beras ketimbang sumber pangan lainnya.
Tidaklah sulit menggarisbawahi kebenaran data tersebut. Variabel pengukur sederhana yang bisa dipilih, diantaranya, nilai rasa konsumsi masyarakat dan tingkat pemanfaatan lahan pertanian yang ada. Masyarakat kita lebih merasa prestisius dan afdol jika sari-sari karbohidrat diasup dari sajian bertangkup-tangkup nasi. Sebaliknya, akan terasa inferior jika mengkonsumsi makanan lokal. Lantas, tinggi-rendah derajat kesejahteraan masyarakat diindikasi oleh mampu-tidaknya mereka mengkonsumsi beras saban hari. Indikator beras-sentris ini dengan mudah mem-black list-kan masyarakat pro-pangan lokal sebagai khalayak kurang mampu lagi melarat.
Dengan semakin didorongnya beras sebagai sumber pangan dominan maka tingkat ketersediaan beras di gudang Bulog menentukan kondisi ketahanan pangan pada berbagai level masyarakat. Beras pun “dibaptis” menjadi barometer pembangunan ekonomi. Maka ketika kondisi ketidakamanan pangan terjadi, yang sesungguhnya mengemuka adalah soal defisit beras dan bukan defisit ketersediaan karbohidrat.
Ekses yang ditimbulkan dari pola pikir seperti ini akan dengan mudah ditebak. Mendapatkan beras adalah harga mati yang harus dibayar dari setiap perjuangan hidup. Selagi beras bisa didapat, ubi-ubian, jagung, dll terkubur dalam alam kelupaan.
Kondisi ini diperparah dengan fenomena beras miskin (raskin). Ketika pemerintah datang dengan derma raskin, masyarakat akan dengan senang hati memperpanjang daftar antrian. Nafas hidup mereka seakan hanya dapat diperpanjang oleh butir-butir beras murah apapun jenis dan kualitasnya. Mereka lupa akan lahan pertaniannya yang semakin langka ditumbuhi jagung, ubi-ubian, dll.
Adalah ironi jika NTT dengan 89% penduduk bermata pencaharian sebagai petani (79% diantaranya sebagai petani lahan kering dengan jagung sebagai tanaman utama) menjadi propinsi dengan tingkat konsumsi beras yang tinggi. Potensi pertanian lahan basah yang mencapai 262.407 hektar dengan lahan fungsional 127.208 hektar (48,48%) serta potensi lahan kering 1.525.258 hektar dengan luas fungsional 689.122 hektar (45,09%) hanya mendaftarkan masyarakat kita pada kelompok busung lapar serta gizi buruk dan dengan tingkat rawan pangan tinggi. (PK, 30/8/2009, hal. 14).
Kedua, ikhtiar kedaulatan pangan. Inilah salah satu cara membalikan keadaan masyarakat kita. Pertanyaan, mengapa harus kedaulatan pangan?
Kedaulatan pangan mengandung arti bahwa kita berhak mengolah sumber daya yang kita miliki. Kita tidak dapat menggantungkan masa depan kita semata-mata pada beras. Isidorus Lilijawa menjelaskannya dalam beberapa alasan (PK, 29/6/2009). Pertama, dengan kondisi alam yang kering, produksi padi bukanlah produksi andalan. Sekalipun bisa tetapi produksinya tidak mencukupi karena tidak semua orang di NTT memiliki sawah. Selain itu banyak areal persawahan di NTT yang tidak dikelola secara baik atau mengalami kekurangan air.
Kedua, karena produksi sendiri tidak mencukupi, maka pasokan beras dari luar tidak bisa dihindarkan. Masyarakat pun 'dididik' untuk berharap pada pasokan pangan dari luar, yang niscaya sangat bergantung pada fluktuasi pasar dan situasi (tekanan) politik. Itu berarti kita tidak bisa mandiri dalam memproduksi dan menyediakan pangan. Coba kita amati beras yang ada di pasar dan toko saat ini. Apakah itu beras dari Lembor, Mbay atau Oesao? Banyak kali kita mendapatkan beras itu justru dari Makasar, Jawa dan bahkan Thailand.
Ketiga, berasisasi mengharuskan petani kita menanam "hanya padi". Keharusan imperatif ini menempatkan petani kita sangat rentan terhadap dampak variasi musiman dan siklus tahunan yang tidak menentu; yang diperparah dengan serangan hama/penyakit lainnya. Kegagalan panen (padi) langsung berdampak pada kekurangan pangan yang berdampak langsung pada kelaparan. Untuk mengatasinya tidak ada cara lain, selain mendatangkan beras dari luar entah dalam bentuk beras murah atau beras miskin.
Dengan demikian kita mesti memanfaatkan lahan pertanian kita untuk memroduksi berbagai potensi makanan lokal. Ada banyak jenis umbi-umbian yang dibudidayakan di kampung-kampung kita. Ada juga hasil hutan berupa putak di Timor, ondo di Flores dan iwi di Sumba. Semuanya jika dikelola secara baik akan menghasilkan stok pangan yang cukup bagi masyarakat kita.
Untuk mencapai maksud tersebut rasa kepemilikan atas sumber daya alam perlu dipupuk. Agar masyarakat dapat berdaulat atas pangan maka perlu ada basis kesadaran untuk tidak menjual hak pengelolaan atas sumber daya yang kita miliki pada kekuatan lain. Kita tidak bisa membiarkan orang lain menentukan apa yang mesti kita tanam. Kita berhak menuai apa yang telah kita tabur di atas kebun-kebun kita. Di banyak tempat kita konversikan lahan pertanian kita untuk perkebunan. Lalu, kita “makan gaji” dari perkebunan. Gaji sebagai buruh tani tidak cukup untuk membeli rupa-rupa kebutuhan. Kita jatuh miskin di atas kelimpahan sumber daya kita. Kita diajarkan tanam ubi aldira melalui proyek, misalnya, tapi sawah-sawah kita tidak diolah dengan cara yang lebih baik. (FP, 1/8/2009)
Para pemimpin mesti prorakyat dan pangan lokal. Kebijakan yang ditempuh para stakeholders amat menunjukan pada posisi mana mereka berada: rakyat, diri mereka atau pihak asing (rekomendasi kebijakan dapat ditemukan dalam Kompas, 8/9/2009, hal.6). Cara hidup merekapun mencitrakan orientasi hidup mereka. Dengan berbagai regulasi, kucuran dana, input teknologi, dan teladan hidup diharapkan produksi pangan berbasis sumber daya lokal dapat didongkrak.
Akhirnya, kerja sama lintas elemen perlu dirajut. Para petani mesti merapatkan barisan, menggalang kekuatan bersama untuk memerangi segala bentuk tindakan dan kebijakan yang merampas kedaulatan mereka atas pangan. Para petani perlu membangun jejaring dengan organisasi-organisasi swasta dan pemerintah untuk mengakarkan program kembali ke pangan lokal.

Tiada ulasan:

Catat Ulasan