Khamis, 29 Oktober 2009

Pangan Lokal: Mengapa Risih?

Vianney Leyn

Pada kesempaan liburan beberapa waktu lalu, saya bertamu ke rumah tetangga yang adalah juga keluarga saya. Pada saat makan siang kami dijamu dengan menu beras yang dicampur dengan jagung, sayur rumpu rampe, dan ikan kering bakar. Sambil menghidangkan semuanya itu, dengan malu tuan rumah menguc¬apkan kata-kata ini: “No frater, jangan marah, kita makan hanya ini saja. Nasi kita kuning sekali”, (maksudnya karena sudah tercampur dengan jagung). Pengalaman yang sama dengan ungkapan yang sama pula kembali dilontarkan ketika sya berrtamu dan makan di ruma keluarga yang lain.
Ketika membaca beberapa berita dan opini tentang pangan lokal yang dilansir beberapa koran lokal (Pos Kupang dan Flores Pos) maupun nasional (Kompas), saya teringat akan pengalaman kecil di atas. Pengalaman tersebut menunjukkan bahwa masyarakat kita merasa rendah diri atau malu bila mengkonsumsi pangan lokal seperti jagung, ubi kayu, jagung titi atau pangan lokal lainnya; terlebih lagi jika pangan lokal itu dihidangkan untuk tamu. Hal ini disebabkan oleh kebiasaan masyarakat kita yang sering mengkonsumsi beras yang pada umumnya diimpor dari luar negeri.
Republik ini telah terjebak dalam sistem pangan impor yang amat mahal. Lebih dari Rp. 50 Triliun (setara 5,0% APBN) dihabiskan untuk mengimpor pangan (Posman Sibuea, Bangkitkan Pangan Lokal dalam Kompas, 08 September 2009). Pada titik ini muncul sebuah pertanyaan: apakah bangsa kita, Indonesia, terkhusus NTT, tidak bisa memproduksi beras sendiri atau pun pangan lokal lainnya? (Sementara itu sebanyak 89% penduduk NTT bermata pencaharian sebagai petani dengan 79% di antaranya sebagai petani lahan kering dengan jagung sebagai tanaman utama, Isidorus Lilijawa, Makan Pangan Lokal dalam Pos Kupang, Senin 29 Juni 2009). Dan menurut laporan Badan Bimas Ketahanan Pangan NTT, ketersediaan pangan lokal di NTT khusunya umbi-umbian hingga Juli 2009 mencapai 46,757 ton, sedangkan kebutuhan perbulan 3, 271 ton atau 14,3 ton. Data ini sesungguhnya mengungkapkan bahwa masyarakat NTT tidak miskin pangan lokal apalagi mendapat stigma “daerah rawan pangan”.
Menurut saya, ini merupakan sebuah kasalahan berpikir (logical fallacy) atau berani saya katakan sebagai sebuah kebodohan untuk orang-orang yang menyematkan stigma ini pada daerah NTT (bila orang NTT tidak begitu mudah menerima begitu saja stigma yang terkesan dipaksakan ini). Mengapa saya berani katakan bodoh? Apakah dapat dibenarkan dan dipertanggung jawabakan secara etis bila melihat sekelompok masyarakat mengkonsumsi ubi, jagung ataupun makanan lokal lainnya lantas itu dikatakan sebagai sebuah realitas rawan pangan? Kita mesti menukik lebih ke dalam untuk melihat apa sesungguhnya yang menjadi parameter suatu daerah dikatakan rawan pangan. Di sini kita melihat bahwa pangan telah direduksi menjadi beras, berikut program seperti swasembada pangan juga mengalami pereduksian menjadi swasembada beras.
Dari fenomen di atas, ada satu catatan penting yang mesti kita perhatikan sebelum melangkah lebih jauh untuk meyakinkan masyarakat agar mengkonsumsi pangan lokal. Pertama–tama kita mesti mengubah paradigma berpikir masyarakat kita bahwa pangan tidak hanya menyangkut beras tetapi juga mencakup semua pangan lokal seperti jagung, ubi, sagu, dan lain-lain. Oleh karena itu kita tidak perlu merasa risih bila mengkonsumsi pangan lokal yang dihasilkan dari tanah kita sendiri dan dari keringat kita sendiri. Bahkan, bila perlu pangan lokal juga diperkenalkan kepada publik tanpa terlalu banyak mengharapkan pengakuan akan keunggulannya. Tapi serentak dengan itu, kita mesti bangga dengan pangan lokal kita sendiri.
Lebih lanjut, Wakil Gubernur, Esthon Foenay pada kesempatan workshop hasil kajian pangan oleh lembaga-lembaga kemanusiaan PBB (WHO, FAO, WFP dan Care Internasional) bekerja sama dengan Badan Bimas Ketahanan Pangan Provinsi NTT, mengatakan, pemanfaatan pangan lokal perlu terus ditingkatkan sebagai salah satu solusi dalam memperkuat upaya ketahanan pangan. Berkaitan dengan hal ini, pemerintah NTT telah mengeluarkan kebijakan memantapkan ketahanan pangan melalui diversivikasi produksi dan konsumsi yang terfokus pada pemanfaatan potensi pangan lokal, seperti jagung dan umbi-umbian.
Mari kita ciptakan budaya mencintai pangan lokal dengan mengkonsumsinya. Kita tidak perlu merasa risih bila mengkonsumsi pangan lokal; justu sebaliknya kita semestinya malu bila tidak mengkosumsi pangan lokal sendiri karena sampai dengan isi perut kita pun ditentukan oleh orang lain. Saya yakin, semua kita tentu tidak mau dikatakan seperti itu. Adanya UU anti pornografi telah membuat kita merasa diusil karena budaya dan ruang privasi kita seakan dibongkar. Sebuah problem baru lagi akan muncul bila isi perut kita juga ditentukan oleh orang lain dengan beras, sarimi, atau berbagai jenis makanan instant lainnya yang diimpor dari luar negeri. Konsumsi pangan lokal sendiri: mengapa risih?

Tiada ulasan:

Catat Ulasan