Khamis, 12 November 2009

BUDAYAKU MATI LEMAS KARENA AKU

Egas Foni

Bangsa indonesia adalah bangsa yang kaya. Kekayaan itu nampak dari banyaknya pulau, barang tambang, adat istiadat, kekayaan alam dan budaya. Sebagai warga negara Indonesia, sudah sepantasnya kita bangga dengan keanekaan ini. Keanekaan ini harus dilestarikan. Upaya pelestariannya yakni merawat dan memamerkannya kepada dunia. Cara ini dimaksudkan agar apa yang menjadi milik kita diketahui dan dihormati oleh dunia.
Menangapi persoalan yang lagi hangat dibicarakan di indonesia perihal polemik budaya antara indonesia-malaysia, kesan penulis sebenarnya tidak terjadi apa yang disebut mutilasi budaya. Penulis beranggapan bahwa pendapat yang dikemukakan oleh Ahmad Nyarwi dalam kompas, senin 7 september 2009 tentang mutilasi budaya indonesia oleh Malaysia adalah pemikiran yang gegabah dan terlalu terburu-buru. Penulis melihat bahwa klaim ini muncul karena luapan kekesalan terhadap tayangan tari pendet asal Bali dalam promosi tahun kunjungan Malaysia.
Luapan kekesalani ini ditambah opini-opini yang menyudutkan malaysia membuat warga indonesia belum lama ini mengadakan aksi sweeping WN Malaysia di Jakarta dan daerah lainnya. Sementara itu, Malaysiakini.com menulis, kemarahan rakyat Indonesia sudah memuncak disusul berita TV mengenai lebih 360 sukarelawan ilmu kebal sudah mendaftar dan bersedia untuk mengganyang Malaysia. Apakah tindakan seperti ini pantas dilakukan dan sekaligus bisa menyelesaikan maslah antara kedua negara ini?
Juru Bicara Kelompok Pakar (Eminent Person Group/EPG) Indonesia-Malaysia, Musni Umar,
EPG Indonesia-Malaysia, berpendapat bahwa masalah isu klaim budaya dapat diselesaikan dengan win-win solution (saling menguntungkan) melalui kolaborasi promosi pariwisata Indonesia-Malaysia. Untuk masalah budaya yang masuk dalam wilayah abu-abu kedua pihak sepakat untuk saling meminta izin apabila akan digunakan dalam iklan komersial. Hal ini sesuai dengan kesepakatan antara Menteri Kebudayaan dan Pariwisata RI Jero Wacik dan Menteri Malaysia Rais Yatim di Kuala Lumpur pada 10 November 2007. Permasalahan muncul ketika Malaysia menggunakan tarian pendet dan batik dalam promosi budaya mereka. Hal ini tentunya berada di luar kesepakatan itu karena tarian pendet merupakan kebudayan asli Indonesia asal Bali.
Terhadap masalah ini, Norman Abdul Halim, produser film dokumenter Malaysia, meminta maaf atas klaim batik dan tari pendet serta menghentikan iklan enigmatik Malaysia. Bahkan Menlu Malaysia, Dina Pati Djalal, dalam pertemuan dengan Presiden Susilo Bambang Yudoyono, mengungkapkam apresiasi dan kebanggan Malaysia yang mengakui banyak budaya mereka berasal dari Indonesia. Menurut saya, hal ini sebenarnya bisa “dimaklumi” mengingat penduduk Malaysia dulunya adalah orang Indonesia yang kemudian terpisahkan karena imperialisme. Jadi wajar bila budaya Indonesia diamalkan di Malaysia dan diturunkan ke generasi mereka selanjutnya. Ada dua hal yang jadi masalah di sini yakni; pertama, ketika budaya tersebut tidak di-acknowledge dengan jelas sebagai budaya milik Indonesia. Kedua, budaya tersebut dimanfaatkan hanya untuk kepentingan intern Malaysia. Ini tentu tidak bisa dibenarkan.
Meskipun demikian, kita tentu tidak melulu mempersalahkan Malaysia. Sudah saatnya kita berbalik dan berbenah diri. Salah satu penyebab mati lemasnya budaya kita adalah kaum hedonisme yang semarak subur di kota-kota besar lebih memilih mengkonsumsi barang-barang luar negeri ketimbang produk dalam negeri. Bagaimana mau bangga dengan hasil produk negeri sendiri kalau menggunakan saja masih gengsi?
Masyarakat Indonesia bersikap acuh tak acuh akan seni dan kebudayaannya sendiri. Kita merasa marah ketika ada yang mencuri identitas bangsa kita. Namun mengapa sebelum kejadian ini, kita seakan tak mengenal seni dan budaya kita sendiri, bahkan lebih menyukai dan mencintai budaya asing. Karena itu, hal yang harus dibenahi ialah masalah identitas diri yang sempit. Kita lebih bangga dengan daerah, budaya, suku, dan agama kita daripada memeyebutkan diri sebagai orang Indonesia. Kecendrungan yang besar selalu tampak dalam pengkotak-kotakan menurut suku, agama, dan daerah.
Lalu apa yang harus kita lakukan? Hal yang harus dilakukan yakni terbuka dan kritis terhadap budaya sendiri. Setiap budaya tentu memiliki kekurangan, Tips mendewa-dewakan budaya sendiri dan mengaanggap rendah budaya lain adalah tindakan kekanak-kanakan. Selain itu, nasionalisme juga perlu dipupuk. Memperkuat nasionalisme dapat dilakukan dengan meningkatkan penghargaan terhadap kekuataan budaya sendiri. Bukannya dengan mengadakan aksi sweeping terhadap warga negara Malaysia. Menghargai budaya sendiri tidak berarti mengatakan bahwa budaya kita adalah pusat segala peradapan .
Egaz

Tiada ulasan:

Catat Ulasan