Khamis, 12 November 2009

KELEMAHAN KITA SEBAGAI BANGSA INDONESIA (Sebuah Umpan Balik Untuk Berbenah Kembali Sebagai Bangsa Yang Kaya)

Egi Binsasi

Kebudayaan merupakan suatu yang hidup dan berkembang dalam masyarakat serta tidak dapat terlepas dari masyarakat. Kebudayaan itu meliputi sesuatu yang abstrak (berpikir) sampai pada bentuk yang kongkrit seperti seni tari, arsitektur, lagu, dll. Di mana terdapat manusia, maka dengan sendirinya kebudayaan ada dengan sendirinya. Kebudayaan setiap masyarakat pada suatu wilayah berbeda dengan kebudayaan masyarakat pada wilayah lain.
Beberapa minggu terakhir ini, muncul berbagai berita mengenai tindakan-tindakan pengklaiman sepihak terhadap karya seni budaya bangsa Indonesia. Malaysia yang merupakan Negara tetangga, secara sepihak mengklaim beberapa budaya bangsa Indonesia. Tindakan tidak terpuji ini mengundang amarah dari seluruh masyarakat yang merasa tidak dihargai dan dihormati kreativitas mereka. Meskipun demikian kita juga perlu bertanya da berbenah diri, mengapa budaya kita dipakai Malaysia iklan promosi budaya mereka

Kelemahan Kita Sebagai Bangsa Indonesia
Ada beberapa indikator yang memperlihatkan bahwa bangasa kita ‘lemah’ dalam pelestarian budaya. Pertama. Ketidakseriusan dalam usaha menjaga dan melestarikan budaya. Dalam UU No. 19 tahun 2002 tentang Hak Cipta pada pasal 10 ayat 2 berbunyi Negara sebagai pemegang hak cipta atas folklor dan hasil kebudayaan masyarakat yang merupakan kekayaan bersama (cerita, hikayat, dongeng, legenda, tarian, koreografi, kaligrafi, dan karya seni lainnya). Meskipun telah ada peraturan dan undang-undang perlindungan budaya tetapi tetap terjadi pembajakan terhadap karya cipta bangsa kita. Hal ini mengindikasikan bahwa pemerintah tidak mendalaminya secara serius bahkan kelihatannya membiarkan saja hal itu terjadi.
Kedua, ketiadaan inventarisasi kebudayaan di seluruh wilayah Indonesia. Sampai saat ini (per KOMPAS, 31 Agustus 2009) baru tercatat tiga propinsi (Bali, Daerah Istimewa Jogjakarta, dan Nusa Tenggara Barat ) yang memasukan daftar khasanah seni dan budayanya dari tiga puluh tiga propinsi yang ada di Indonesia. Akibatnya mudah ditebak bahwa sampai saat ini bangsa kita belum memiliki draf atau daftar inventarisasi seluruh kekayaan budayanya mulai dari Sabang sampai Merauke. Tidak heran bila kasus ini merebak di permukaan Indonesia sebagai Negara yang merdeka tidak dapat menggugat Malaysia secara hokum melalui Lembaga Internasional Perlindungan Hak Cipta di Genewa karena belum mendaftarkan seluruh aset seni dan budaya pada lembaga tersebut.
Ketiga, birokrasi yang panjang dan rumit. Masyarakat yang berkarya menghasilkan sesuatu yang berhubungan dengan seni budaya diminta melakukan pendaftaran pada pemerintah melalui Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual Depertemen Hukum dan Hak Asasi Manusia untuk memperoleh hak paten atas karyanya itu. Birokrasi pendataan hak cipta sejak 2002 sampai 2009 ada 24.603 permintaan untuk memperoleh hak patent yang belum terselesaikan. Mengapa didaftar sejak tahun 2002 hingga 2009 belum kelar juga urusannya? Rupanya birokrasi yang panjang dan rumit menjadi momok serius. Bukan menjadi hal yang baru bila ada uang semua urusan yang berkaitan dengan administrasi akan selesai dengan cepat, sekali masuk membawa setumpuk uang, maka pulang dengan membawa hak patent atas karyanya itu.
Keempat, promosi budaya yang tidak efektif. Pemerintah harus melakukan promosi budaya. Menurut Jero Wacik (Menteri Kebudayaan dan Pariwisata) biasanya dibuat pementasan di luar negeri. Menurut saya merupakan pernyataan yang kurang luas, sempit, dan terbatas. Pementasan di luar negeri dinilai sangat tidak efektif baik dari segi ketenagaan, waktu dan, biaya. Kita dapat memasang iklan di media massa dan elektronik bahkan melalui internet yang sekarang dapat diakses dengan mudah dan cepat oleh semua orang.
Kelima, enggan mengkonsumsi produk budaya sendiri. Di era globalisasi sekarang ini, orang cendeerung lupa pada budaya sendiri. Westernisasi terjadi di mana-mana. Orang lebih suka pada warna rambut yang pirang, pintal, dan memakai pakaian luar negeri dibandingkan dengan warna rambut hitam, atau pakaian dengan merek dalam negeri. Demikian pula yang terjadi dengan kecintaan pada budaya kita. Paranawe, dance, judo dipelajari dan didalami sedangkan tari bidu, caci, silat kampong merana tak tentu rimbanya
Malaysia sendiri kelihatannya proaktif publikasi, lewat media massa dan elektronik juga lewat buku seni budaya (terbitan swasta dan negeri) termasuk melakukan promosi tari pendhet dari Bali sebagai kekayaan budaya negerinya melalui internet. Buku Spirit of Wood, The Art Malay Woodcarfing: seni budaya di Kelantan, Terengganu, Pattani sepeerti seni ukir kayu, pembuatan keris, penggunungan wayang, mebel, hiasan dinding, arsitektur rumah, dan perkakas rumah tangga, batik, tarian, maupun kesenian rakya. Ini mirip dengan buku-buku Indonesia Ensiklopedi wayang, teater tradisional Indonesia, kain nontenun Indonesia.
Akhir kata, sebagai warga negara, kita perlu menumbuhkan minat dan cinta pada produk, seni dan budaya bangsa kita. Pemerintah perlu membuat inventarisasi seluruh seni dan budaya secara serius yang kemudian diteruskan pada lembaga atau instansi terkait, merampingkan dan memudahkan proses birokrasi untuk memperoleh hak paten atas karya seni yang dihasilkan dengan kemampuan sendiri. Dengan demikian kita tidak perlu ragu melainkan secara tegas dan berani menuntut kembali milik kita yang diklaim secara sepihak oleh pihak asing.

Binzar

Tiada ulasan:

Catat Ulasan