Khamis, 12 November 2009

Terima Kasih Malaysia

Obeth Oula'a

Dalam beberapa bulan terakhir, polemik budaya Malaysia-Indonesia meramaikan berbagai media massa. Polemik ini terjadi karena pihak Malaysia menggunakan tari Pendet dalam iklan kebudayaan mereka. Menilik dari sudut terbentuknya, budaya lahir dan seumur masyrakat yang merupakan empunya budaya tersebut. Ia lahir dan terbentuk bukan seperti proses penemuan alat-alat teknologi atau penemuan ilmiah lain yang yang diperoleh melalui eksperimen atau penelitian ilmiah. Dengan demikian budaya merupakan kekhasan suatu masyrakat, kelompok , daerah atau bahkan Negara tertentu.
Berkaca pada realitas yang terjadi saat ini, pihak Malaysia mengklaim bahwa tarian Pendet merupakan budaya mereka. Tarian Pendet bukan satu-satu produk budaya yang diklaim karena sebelumnya beberapa produk budaya seperti tari Reog Ponorogo, batik, dan sebuah lagu daerah Nias mengalami nasib yang sama. Pengklaiman dari Malasyia ini sesungguhnya telah menimbulkan reaksi yang sangat kurang positif dari bangsa Indonesia. Ada begitu banyak komentar dengan nada yang beragam pula; ada yang menyesali perbuatan itu, ada yang mengutuk dengan keras bahkan ada yang menganggap bahwa Negara Malaysia adalah Negara yang sedang mencari identitas diri karena tidak mempunyai masa lalu
Terhadap berbagai respon kekesalan itu, saya dapat menyimpulkan bahwa masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang sungguh mencintai budayanya sekaligus mempunyai rasa nasionalismen yang tinggi. Saya katakan demikian karena tari pendet itu hanya merupakan tarian khas milik masyrakat Bali. Meskipun demikian reaksi protes bukan hanya dari masyarakat Bali tetapi semua warga negara Indonesia. Intinya hanya satu yaitu tari Pendet adalah milik bangsa indonesia dan bukan milik bangsa Malaysia. Dari reaksi ini juga kita boleh katakan bahwa bangsa indonesia adalah bangsa yang lahir dan dibesarkan dalam budaya budaya. Bukti nyata dari pernyataan ini adalah adanya upaya untuk mempertahankan dan melestarikan budaya masing-masing.
Dari sekian banyak komentar yang diposting dalam internet, surat kabar baik yang dalam bentuk berita maupun opini dan juga melalui siaran televisi, yang paling menarik bagi saya adalah opini pada tanggal 7 september yang berbunyi, “ bangsa Indoneisa adalah bangsa yang hanya memiliki masa lalu dan tidak memiliki masa depan sedangkan negara Malaysia adalah negara yang hanya memiliki masa depan dan tidak memiliki masa lalu.
Ada dua hal yang perlu dikritisi dalam pernyataan ini. Pertama, negara Indonesia adalah negara yang hanya memiliki masa lalu. Pernyataan ini sepertinya sengaja untuk memancing emosi bangsa indonesia supaya bertindak secara cepat dan mampu membaca tanda-tanda zaman. Memang tak dapat dipungkiri bahwa bangsa indonesia termasuk negara yang belum mempunyai pengaruh dalam kancah internasional. Mungkin hal ini yang menjadi salah satu faktor yang menyebabkan mengapa Malaysia dengan mudah mengklaim kebudayaan bangsa indonesia sebagai milik mereka. Kedua, negara Malaysia adalah negara yang tidak mempunyai masa lalu. Pernyataan ini mengibaratkan pohon yang tak berakar, suatu negara tanpa sejarah. Sebagai negara yang tidak mempunyai masa lalu, tentunya ia selalu berada dalam krisis seperti krisis identitas dan jati diri. Pada saat ia menyadari ketakberakarnya itu ia bisa melakukan apa saja agar tetap diakui oleh bangsa atau negara lain, termasuk mengadopsi budaya orang lain.
Terlepas dari komentar terhadap tindakan pemerintah Malaysia, kita juga mesti kembali berkaca dan berbenah diri. Namun sebelumnya kita juga perlu melihat bagaimana hubungan antara ke dua bangsa ini? Mereka mengirim teroris untuk memporak-porandakan Indonesia, mereka mencuri kebudayaan Indonesia. Sedangkan Indonesia sendiri baru sadar ketika segalanya sudah menjadi masalah. Pengklaiman terhadap budaya Indonesia di satu sisi merupakan masukan bagi bangsa Indonesia supaya negara Indonesia bisa mempromosikan kebudayaannya itu ke panggung internasional. Keuntungan dari pengklaiman ini juga adalah bahwa dengan ini bangsa Indonesia ternyata punya rasa nasionalisme yang tinggi.
Obeth

Tiada ulasan:

Catat Ulasan