Ahad, 15 November 2009

Sepotong Senja di Puncak Ledalero

Olu Tefa

LEDALERO !!! Sebuah nama yang menggetarkan sukma, mengulum kelabu hati, serentak memancarkan keteduhan bagi jiwa yang saat nama itu terucap di bibir nan kerontang.
Nama itu, Ledalero, serasa menyemat misteri kekuatan cinta dalam balutan aura kasih yang perlahan menyentuh inti diri manusia-manusia pengembara. Jiwa-jiwa telanjang merasa malu mengumbar nama itu dalam ingatan sekalipun walau secercah harapan tetap terpahat di sudut-sudut hatinya sembari bermimpi di akhir ceritera pilu, nama itu boleh menebar kasih bukan dalam pelukan mimpi-mimpi tapi dalam horison-horison realitas. Tapi mungkinkah nama itu, Ledalero, sungguh menyimpan misteri cinta yang misterius??Ya, barangkali !!
Sepintas telingaku merekam barisan puja-puji para musafir yang menggema bersama celoteh bising anak-anak dunia di sudut-sudut kota Jakarta; nyanyian bagi para malaikat yang bertakhta persis di puncak bukit Ledalero; pujian bagi alam Ledalero yang menebarkan wangi sakura saat mentari mengintip di bibir cakrawala; syair indah bagi Sang Khalik yang telah selipkan sepotong senja lembayung persis di antara dua puncak bukit Ledalero,bukit sandar matahari. Lantas adrenalinku tersentil nyanyian kemuliaan di tengah hiruk pikuk jantung kota metropolitan itu.
“Konon, katanya. . . ,bukit itu adalah bukit sandar matahari karena matahari akan sandar di antara dua bukit itu sebelum mahligai peraduan menjemputnya. . .”desas-desus para pemuja kelana di sela-sela kegalauan hatiku.
“Sumpah man. . .indah banget. . . !! Lho bakalan rugi man kalo ngga’ liat. . .“ seorang temanku membenarkan seolah tempat itu adalah tempat terindah yang pernah dilihatnya seumur hidupnya.
Rasa penasaran sekonyong-konyong menyelubungi seluruh diriku, mengalir di setiap tetes darah, terhembus pada ujung helaan nafasku. Ada hasrat yang jauh terkubur di hati untuk lepas bebas dari muram durja jiwaku, tapi aku takut. Takut pada kesunyian, takut pada kedamaian, takut pada cinta suci, takut pada malaikat kecil, takut pada sepotong senja di puncak Ledalero yang diceriterakan Kevin, temanku.
Aku tengah berdiri tegar di ambang kegelisahan sembari mengulum manisnya kecemasan dan ketakutan. Kugantungkan sebuah asa dalam tanya; ’ Mungkinkah suatu saat nanti aku akan bersua mimpi dan anganku di puncak Ledalero?’
* * *
Semalam kurasa tak ada angin yang menghempasku, mimpi pun enggan menghantarku ke tempat seteduh ini. Memang, angin pasti mendengar jeritan nuraniku semalam tapi tak mungkin aku dihempasnya ke dalam surga yang dikisahkan para pengembara padaku dan didendangkan hawa malam Jakarta ke telingaku. Aku juga mungkin sedang tidak bermimpi. Tapi itu sepertinya tidak penting karena yang terpenting sekarang, mimpi dan asaku menyatu bersama realitas persis di ujung hari ini, di puncak bukit Ledalero.
Wangi sakura yang hangat dan khas perlahan mulai tercium. Aromanya datang dan pergi, timbul-tenggelam seiring tarikan dan hembusan nafasku. Aromanya melebur bersama aroma tubuhku, mengalir dalam darahku, mengurai cita rasa di sekujur tubuhku yang dipasung bayangan ketakutan dan mimpi-mimpi tentang kecemasan. Kugenggam jemari lembut sakura nan wangi dan kurengkuh auranya di jiwaku. Ada ketenangan, kedamaian, kesejukan, keteduhan, kebahagiaan, kepuasan yang terpancar seketika di kalbuku.
Kuncup-kuncup dedaunan muda menyanyikan kidung Hosana in excelcis bersama malaikat-malaikat kecil dalam getaran cinta abadi. Hembusan hawa sejuk meniupkan gemanya pada setiap telinga di puncak bukit itu.
Sejenak kupejam mata ini sembari merasakan sentuhan kelembutan membelai gejolak rasaku, menembus setiap aliran darahku, menrobos hampa hatiku seketika. Aku tersentak dalam keragu-raguanku, tersadar dari lamunan panjang, dan terbuai dalam belaian sang Cinta.
Ternyata benar. Ceritera cinta yang dikisahkan oleh malam kepadaku, kisah yang dibisikkan angin persis di telingaku tentang kedamaian yang dipadukan para malaikat kecil, tentang kesunyian yang menggelantung di pucuk-pucuk pagi, tentang keteduhan yang tersemat dalam pelukan lembayung.
Hingga akhirnya di suatu senja, pada awal November, sendiri, aku berdiri tepat di puncak Ledalero dan persis saat itu mataku terhalau kemilau fajar di antara dua bukit.
Indah sekali. Sorot matanya yang putih kemerah-merahan lembut membentur bola mataku dengan senyuman paling manis dan mempesona yang pernah kulihat seumur hidupku.

Aku terpana di antara belahan bukit Ledalero. Kini, sempurnalah sudah rasa hatiku. Inikah Cinta yang terlukis dalam catatan harian sang hawa tatkala jemari lembutnya tertoreh pada ruang-ruang hampa?
Tapi, mungkinkah aku sedang bermimpi? Mungkinkah khayalku merobek realitas sejatiku? Tidak. . .!! Ini bukan mimpi.
Kulayangkan lagi pandanganku dan kudapati sepotong senja itu masih tersenyum manis padaku. Mungkin sampai ragaku mati di batas hari ini.

* * *

Tiada ulasan:

Catat Ulasan