Khamis, 12 November 2009

KETIKA INDONESIA DITANTANG

Thoy Hale

Persoalan klaim tarian pendet dan beberapa aset kultur lain yang dilakukan oleh saudara serumpun menjadi top topic beberapa waktu terakhir ini. Berbagai lapisan masyarakat Indonesia yang tidak mau ketinggalan untuk mengikuti perkembangan berita demi berita tentang topik ini dan tidak sedikit pula yang melayangkan protes terhadap klaim Malaysia tersebut. Pertanyaan untuk bangsa Indonesia, apa yang ada di balik semua klaim ini?
Kalau kita mengamati problem ini dan bercermin kembali ke dalam diri, pasti kita akan merasa malu. Budaya yang lahir dari rahim Ibu Pertiwi kini diklaim Negara tetangga sebagai produk masyakarat mereka. Ini tentunya menjadi kritik pedas dan pukulan hebat terhadap strukturalisme amburadul Negara Indonesia. Amburadulisme yang terjadi bukan karena Indonesia tidak memiliki sistem pemerintahan yang terstruktur secara baik tetapi bisa dibaca sebagai Negara yang ‘selalu terlambat’. Setelah semuanya terjadi baru bangsa Indonesia sadar kalau memiliki ragam budaya yang khas.
Bangsa Reaktif
‘Mencegah lebih baik daripada mengobati’. Suatu ungkapan yang bagus dari para pendahulu kita. Tetapi kita cenderung untuk membaliknya, Rupanya bangsa Indonesia lebih membudayakan ‘pengobatan’ ketimbang ‘pencegahan’. Karena itu sepatutnya kalau kita juluki bangsa kita ini sebagai bangsa reaktif. Bangsa yang hanya memberi reaksi terhadap aksi dari bangsa lain. Bencana alam, terorisme, dan klaim budaya yang terjadi sekarang ini menjadi alasan mendasar untuk membuat otokritik terhadap bangsa kita sendiri. Kita cenderung untuk ‘menunggu’ bukannya proaktif untuk memulai terlebih dahulu.
Kalau sepenuhnya kita bebankan seluruh persoalan klaim ini sebagai kesalahan struktural, maka sebenarnya sence of belonging (rasa memiliki) budaya kita patut dipertanyakan. Kita adalah pewaris atas apa yang telah dilahirkan oleh nenek moyang kita. Ketika kita saling melempar tanggung jawab penanganan aset budaya lokal yang kita miliki maka sebenarnya kita memamerkan salah satu titik lemah yang kita miliki. Kita membuka peluang untuk bangsa lain ‘mengambil alih’ apa yang kita miliki. Fakta yang membanggakan bahwa Indonesia sangat kaya akan budaya lokal yang indah dan mengesankan. Namun dibalik kekayaan yang membanggakan ini, justru ada satu kelemahan besar yang dilihat sebagai ‘lubang’ yaitu pemerintah dan perangkat bangsa lainnya yang tidak punya komitmen untuk mematenkan apa yang menjadi hak bangsa Indonesia.
Nasionalisme dadakan
Ketika masyarakat Indonesia melayangkan berbagai macam aksi protes, ada satu perasaan yang muncul bersamaan. Nasionalisme muncul serentak di berbagai daerah. Nasionalisme yang muncul secara tiba-tiba ini memang menggegerkan dan sempat membuat Negara tetangga tersebut was-wasan, tetapi kita patut mempertanyakan nasionalisme jenis ini. Tari pendet yang dicuri menjadi puncak kemarahan semua suku bangsa Indonesia. Sebelumnya, sudah terlalu banyak budaya yang diklaim oleh daerah atau Negara lain sebagai milik mereka. Polemik dan kemarahan ini rupanya menjadi klimaks dari semua ketidakharmonisan politis antar kedua Negara serumpun ini. Akumulasi kemarahan ini bukan saja karena masalah tari pendet, tetapi masalah-masalah lain seperti persoalan TKI yang dianiaya, persoalan Ambalat, dan lain sebagainya.
Apabila kita membaca persoalan ini secara lurus, menurut saya kita akan sampai pada satu kesimpulan bahwa kita (Negara Indonesia) terlalu diremehkan. Kita ditelanjangi secara politis atau dalam bahasa Baskara T Wardaya “kita adalah Singa yang tak bergigi. Memang ini sedikit berbau provokatif, tetapi kalau kita mau mengerti secara terbalik sudah sepatutnya kita merasa malu dan segera berbenah diri. Sekiranya kita punya cara untuk membangkitkan rasa nasionalisme yang benar. Hal ini bukan bermaksud untuk menganggap aksi protes yang terjadi ini sebagai suatu sempalan tanpa makna, tetapi semata-mata hanya mau mencari tahu seberapa dalam kualitas semangat nasionalisme yang kita miliki.
Pengalaman klaim tari pendet dan aset budaya Indonesia lainnya ini sudah seharusnya menjadi pelajaran yang sangat berharga untuk kita. Dalam konteks lokal, masyarakat dan pemerinth daerah dituntut untuk menggali kembali apa yang menjadi kekhasan budaya kita. Seandainya kita mau supaya jangan ada pencuri yang menyusup masuk lagi, hemat saya kita perlu membangun suatu sistem yang memberi peluang dilestarikannya budaya bangsa kita. sebut saja sanggar-sanggar lokal yang ada di daerah kita masing-masing.
Nasionalisme yang saya maksudkan adalah membina suatu sikap memiliki apa yang menjadi budaya lokal, apa yang menjadi kekayaan lokal. Saya berani menyalahkan bangsa Indonesia karena kelambanan birokratif yang kita miliki. Kita selalu berkoar-koar tentang pengembangan pariwisata di berbagai daerah, tetapi pelaksanaan lapangan adalah ketidakadilan perhatian. Kalau tidak mau ada pencuri yang menyusup masuk lagi, mari kita bersama-sama membudayakan harta milik masyarakat kita yang telah turun- temurun dihidupi sejak nenek moyang kita.
Th-lee

Tiada ulasan:

Catat Ulasan